Rabu, 30 November 2011

Memperhatikan 'Isi' Diri Kita Secara Seimbang

Bendanya kecil dan ringan. Akan tetapi, perannya sangat besar. Kita membutuhkannya untuk membuka pintu atau apapun yang terkunci. Ya, itu adalah anak kunci.
Benda ini, secara umum, dimanjakan oleh pemiliknya. Paling tidak, aksesoris yang berkaitan dengannya terus membanjir di pasaran. Ada yang berukuran mungil, besar, halus, kasar, berwarna lembut, ataupun berwarna mencolok. Ada juga yang mirip boneka –bentuk dan juga bahannya. 
Seseorang bisa stres manakala kunci tidak diketemukan, padahal ada kepentingan mendesak. Tidak jarang, seseorang stres sebelum berangkat aktivitas, karena kunci kendaraan tidak kunjung diketemukan.
Peran kunci yang penting membuatnya memiliki tempat khusus. Paling tidak, ada sebagian orang yang memberikan tempat khusus, bisa berupa paku di dinding, kotak di meja, ataupun laci di lemari. Pemiliknya juga cenderung berdisiplin ketat tentang penyimpanan kunci ini, dan juga memberikan pengetatan kepada orang lain. Selesai pakai, kunci bisa disimpan di tempatnya kembali.
Peranan kunci yang begitu penting ini memberikan satu inspirasi kepada kita: Sesuatu itu tidak hanya dilihat dari wujud fisiknya, tapi lebih pada fungsinya. Ada hal yang lebih mendasar ketimbang hanya tampilan luarnya.
Dengan demikian, bagaimana jika kita mulai memperhatikan ‘isi’ dan ‘fungsi’ diri kita? Apakah sudah baik?
Biasanya, isi diri seseorang dikaitkan dengan intelektualitasnya. Dia cerdas dan terus mengikuti perkembangan zaman. Anggapan ini mendorong banyak orang untuk membaca buku dan media massa.
Di sisi lain, ada yang menyatakan bahwa isi diri seseorang dilihat dari emosionalnya. Ia orang yang tenang dalam kondisi apapun, termasuk dalam situasi yang genting.
Ada juga yang menyatakan bahwa isi diri seseorang dilihat dari konsistensi beribadah. Ia juga memperhatikan ajaran-ajaran agama, perintah dan larangannya. Ia kokoh memegang prinsip-prinsip agamanya.
Kalau kita dalami, isi diri manusia terdiri dari banyak aspek. Ibaratnya, aspek-aspek kedirian ini adalah bata untuk sebuah bangunan yang bernama ‘manusia’. Jika satu aspek kedirian ini hilang atau kurang berkualitas, seluruh bangunan kemanusiaan kita juga kurang baik.
Jika membangun kesempurnaan diri adalah mustahil, maka kita masih memiliki peluang untuk membangun keseimbangan. Karena bila fokus kita adalah keseimbangan, kita dapat terus menjalani hidup dengan stabil. Kita dapat memperbaiki aspek diri yang kurang, seiring dengan peningkatan aspek diri yang lain. Sebagai misal, kita dapat terus memperbaiki emosional kita, seiring dengan peningkatan spiritual kita. Bahkan kita yakin bahwa perbaikan spiritual akan memberikan dampak yang cukup besar kepada emosional.
Baiklah, bagaimana jika kita mulai hidup seimbang?
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar