Selasa, 15 Mei 2012

Merancang Liburan Yang Penuh Makna


Sebagian kita memiliki waktu luang yang cukup. Di liburan mingguan, misalnya, ada cukup banyak waktu untuk menenangkan pikiran. Apalagi, bila di sela-sela hari aktif bekerja, ada hari libur nasional. Kita tentu merasakan waktu luang yang lebih banyak lagi.
Yang lebih menghebohkan lagi adalah liburan tahunan. Benar sekali, ini dikarenakan liburan tahunan relatif lebih panjang dari liburan biasa. Bahkan, sejumlah liburan tahunan, seperti liburan Idul Fitri, dijalani serempak di seluruh nusantara.
Tentang liburan inilah, kita perlu memahami betul ilmunya. Apabila liburan hanya diisi leha-leha saja, tentu kurang baik. Mengapakah kita melupakan aktivitas lainnya yang bermanfaat?
Aktivitas-aktivitas tersebut tentu saja aktivitas hemat energi, penuh kesenangan, dan dilakukan bersamaan dengan aktivitas rekreatif liburan. Bila kita mengambil liburan Idul Fitri sebagai contoh, kita bisa rileks sambil silaturahmi ke beberapa saudara yang lama terpisah. Kita juga bisa mengenalkan konsep keluarga besar kepada anak-anak kita. Sehingga, mereka mengerti sekali konsep-konsep pohon keluarga, seperti buyut dan sepupu jauh.
Yang sangat penting untuk diperhatikan adalah kesiapan beraktivitas paska liburan. Kita tentu sangat senang bukan, setelah liburan kita bisa beraktivitas dengan segar dan penuh energi?
Dengan demikian, kita bisa membagi kegiatan liburan menjadi tiga fase. Pertama, fase persiapan. Kedua, fase senang-senang. Ketiga, fase penenangan diri dan persiapan aktivitas. Kita pun sepakat bahwa pembagian waktu untuk ketiga fase tersebut merupakan sesuatu yang fleksibel.
Yang juga sangat penting diperhatikan adalah konsistensi ibadah. Bukankah ibadah adalah nikmat besar, sehingga perlu dijaga?
Sebagian orang, bahkan, menganggap ibadah sebagai sarana liburan –relaksasi. Setiap kali selesai shalat, misalnya, mereka merasakan ketenangan dan sekaligus kebugaran yang luar biasa. Mereka seakan-akan telah pergi ke tempat yang indah, sekaligus mendapatkan perawatan tubuh. Orang-orang yang melihat yang mereka pun takjub.
Sedekah juga dapat menjadi sarana liburan dan relaksasi. Minimal, kita dapat menepiskan kegalauan kita terhadap kemiskinan yang terus bergelayut di mata kita. Kita pasrahkan saja kepada Allah Ta’ala. Ibarat balon udara, kita serahkan diri kita kepada angin yang telah diperintah Allah Ta’ala. Angin itu berhembus ke timur, kita ikut. Angin itu berhembus ke barat, kita ikut, dan seterusnya. Kita kuatkan keyakinan bahwa Allah Ta’ala hanya akan menakdirkan yang baik. Mungkin awalnya sulit, tapi kita akan segera merasakan nikmatnya berkeyakinan kepada Allah Ta’ala.
Dunia ini memang dipenuhi kelelahan. Liburan dan relaksasi merupakan satu jawaban penting. Masalahnya, bisakah kita merancang liburan dan relaksasi yang menghembuskan kedamaian jiwa dan raga?
Wallaahu a’lam bishshawab. Selamat berlibur! (dufo abdurrohman)

Senin, 14 Mei 2012

Mengendalikan Diri dalam Bersosialisasi


Kita sepakat bahwa kita hidup bersama orang lain. Kita pun sepakat bahwa orang lain memiliki pikiran dan keinginan yang perlu dihormati. Pernyataan ini memiliki implikasi bahwa kita akan senantiasa memberikan ruang ekspresi bagi orang lain.
Di sisi lain, kita pun perlu meyakinkan diri kita bahwa dalam sebuah lingkungan, kendali sosial menjadi sesuatu yang amat penting. Ini berarti kebebasan seseorang akan dibatasi oleh kebebasan orang lain. Sebagai contoh, kita bebas bersuara, tapi orang lain pun memiliki kebebasan untuk menikmati keheningan.
Oleh karena itu, kesadaran individu merupakan kunci penting dalam kehidupan sosial. Minimal, ia sadar bahwa orang lain memiliki perasaan dan keinginan yang hampir sama dengan dirinya. Bila ia ingin bahagia, orang lain juga begitu. Bila ingin santai di rumahnya dengan kebisiangan suara yang proporsional, orang lain juga begitu. Bila daftar keinginan dideret lebih, mungkin butuh halaman yang sangat banyak.
Sementara itu, terkadang seseorang atau segolongan orang hidup dalam situasi yang spesifik. Tentu saja, ini membutuhkan kesadaran pada aspek yang lebih spesifik. Sebagai misal, situasi yang membutuhkan kecepatan seringkali melahirkan kata-kata yang sangat lugas –hampir mirip dengan kata-kata perintah. Kita, apabila hidup di dalam situasi tersebut, tentu membutuhkan toleransi yang lebih luas.
Dalam kesadaran individu ini, kita pun perlu menahan diri untuk menuntut orang lain melakukan hal yang kita inginkan. Ada kalanya, orang lain belum memiliki kesanggupan, atau bisa jadi dia menolak. Alasan penolakan pun terkadang sangat logis. Bila kita memiliki pikiran untuk memaksa, adakah kita suka dipaksa melakukan yang kita benci?
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)