Selasa, 01 November 2011

RUMAH YANG PENUH MAAF

Seorang anak memecahkan jendela rumahnya tanpa sengaja. Ia takut, tapi tetap terkendali. Ketika ditanya, ia langsung menangis, tapi masih dapat diajak berkomunikasi dengan baik. Ia juga mudah mengakui kesalahannya, sekaligus menyampaikan permintaan maaf berkali-kali. Ia sadar bahwa dirinya salah dan telah mengganggu kenyamanan orang lain.
Anak ini dididik oleh orang tua yang penuh maaf. Setiap kali sang anak bersalah, setiap kali itu pula orang tuanya memaafkan. Tidak ada kata-kata kasar, memaki, ataupun membentak.
Alih-alih memaki, orang tua sang anak lebih cenderung menenangkan sekaligus membantu anak bertanggung jawab dengan kesalahannya. Terkadang, orang tua sang anak membantu dengan mengarahkan. Terkadang, orang tua sang anak membantu dengan solusi-solusi yang bisa dipilih oleh sang anak sendiri. Yang penting, sang anaklah yang bekerja menyelesaikan masalah yang telah dibuat.
Yang sering terjadi, sebagaimana sering terlihat, adalah kebalikan dari ilustrasi tersebut. Orang tua cenderung memarahi anak yang telah berbuat salah. Tidak jarang, kata-kata kasar keluar pula. Yang lebih parah, orang tua kemudian mengambil alih tanggung jawab anak untuk menyelesaikan masalah yang dibuat. Orang tua cenderung berpikir bahwa anak tidak bisa diandalkan; jangankan menyelesaikan masalah, tidak membuat masalah saja sudah untung.
Bila demikian pemikiran banyak orang tua, ada baiknya mereka membaca sebuah hadits,
“Setiap anak Adam adalah orang yang bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat.” (H.R. Bukhari Muslim)

Jangankan anak kecil, orang dewasa pun tidak jarang berbuat salah. Tidak hanya orang dewasa yang memang cenderung sembrono, orang dewasa yang suka berhati-hatipun tidak akan luput dari kesalahan. Dengan demikian, apakah layak menyikapi kesalahan dengan berlebih-lebihan? Bukankah yang paling penting adalah perbaikan masalah yang timbul dari kesalahan?
Harus diakui, ada niat baik dalam kemarahan orang tua atas kesalahan anak. Niat baik inilah yang kemudian perlu dikelola dengan emosi baik. Tetap tenang, bertutur kata dengan lembut, sekaligus berpikir cepat untuk mencari soluasi merupakan langkah-langkah yang perlu dilakukan orang tua agar kesalahan anak menjadi pembelajarannya. Karena dalam situasi yang tenanglah, anak mampu menjaga fokusnya. Bila fokus terjaga, anak lebih mudah melalui tahapan-tahapan penyelesaian sekaligus mengendapkannya di memori yang dimilikinya. Dalam jangka panjang, memori ini akan muncul sebagai ide-ide solutif manakala masalah muncul.
Harus diakui pula, anak belum sempurna nalarnya. Terkadang, cara menyelesaikan masalahnya tidak pas. Ini akan lebih parah ketika anak tidak pernah diberi kesempatan yang leluasa. Ibarat pesilat, diperlukan beberapa kali lawan tanding. Dengan demikian, penilaian dan pengembangan dapat lebih mudah. Bukankah begitu?
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar