Kamis, 01 Desember 2011

Membuka Ruang Toleransi Untuk Orang Lain

Anak kita yang nilainya hanya naik satu poin, adakah ia memberikan kebahagiaan mendalam pada diri kita?
Pembantu yang bekerja ala kadarnya setelah sakit, adakah ia mendatangkan haru yang luar biasa di dada kita?
Semoga tidak ada yang tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tidak ada sedikitpun maksud menghakimi. Yang ada adalah harapan untuk saling mengevaluasi diri.
Sebagian kita memang terbiasa dengan kesempurnaan. Rumah yang bagus, fasilitas yang aman, dan makanan yang enak merupakan hal yang mudah kita nikmati. Di sisi lain, sebagian kita terbiasa dengan segala sesuatu yang serba sederhana. Sehingga, dengan perlahan, kita memiliki ambisi pada kesempurnaan. Kita bertekad bahwa hidup kita di masa depan haruslah sempurna.
Tidak ada maksud untuk menjelekkan cara hidup yang perfesionis. Siapapun boleh berpikir perfeksionis. Masalahnya, apakah hidup ini selalu sempurna?
Bila kita menuntut diri kita sempurna, kita bisa memiliki motivasi yang bagus. Kita bisa memiliki energi yang luar biasa untuk memiliki peningkatan kualitas hidup. Kita insya Allah dapat meraih banyak hal dalam hidup, baik material maupun nonmaterial.
Sementara itu, apabila kita menuntut orang lain untuk selalu sempurna, apa yang akan terjadi? Terkadang kita menemukan orang yang nyaris sempurna. Dia memiliki kepribadian yang baik, kinerja yang baik, serta cara komunikasi yang baik. Tidak jarang pula kita menemukan orang yang biasa saja di semua aspek dirinya. Kepribadian, kinerja, maupun cara komunikasi, semuanya biasa.
Apabila bertemu dengan orang yang hampir sempurna, kita tentu bahagia. Lalu, bagaimana perasaan kita manakala bertemu dengan orang biasa-biasa saja?
Jawaban kita tentu beragam. Yang jelas, bisakah kita sepakat bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT? Adapun makhluk-Nya pasti ada kekurangan dan kesalahan.
Dan, bisakah kita membuka ruang toleransi kepada orang lain? Bukan berarti kita membiarkan orang lain bersalah. Akan tetapi, kita memberikan ruang psikologis yang cukup nyaman untuk orang lain membenahi segala sesuatunya. Kita berharap kenyamanan yang kita berikan dapat berdampak perbaikan berjangka panjang. Meminjam istilah seorang ustadz, ‘Potensi manusia ibarat kuncup bunga. Bila dipaksa dengan cepat untuk mekar, kuncup itu akan hancur. Dengan memberikan cukup waktu dan kenyamanan, kita bisa berharap kuncup itu akan mekar dengan segala keindahannya.’ Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar