Selasa, 22 November 2011

Akar Konflik di Tempat Kerja

Tempat kerja merupakan satu sumber konflik yang sangat sulit diabaikan. Beberapa studi memberikan perhatian yang cukup serius tentangnya. Paling waktu, setiap orang menghabiskan sepertiga hari, bahkan lebih, di tempat kerjanya. Selain itu, konflik di tempat kerja juga memberikan pengaruh yang tidak ringan pada kehidupan individu secara keseluruhan. Seorang individu bisa begitu percaya diri ketika bisa berprestasi di tempat kerjanya. Sebaliknya, ia juga dapat begitu minder karena tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan di tempat kerja.
Hal ini diperparah dengan adanya anggapan bahwa kualitas seseorang diukur dari kualitas kinerjanya. Adapun kualitas personal, seperti kebaikan, keluruhan nilai hidup, dan yang sejenisnya, tidaklah begitu diperhatikan.
Sudut pandang kapitalistis memang mendorong setiap orang untuk mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya. Semakin banyak kapital (modal) yang dimiliki seseorang, semakin aman dan baik kondisi seseorang dalam kehidupan. Paling tidak, ia memiliki kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya.
Sudut pandang hedonisme juga mendorong hal yang sama. Hedonisme mengajarkan setiap orang untuk bersenang-senang. Tanpa kapital, bagaimana mungkin kesenangan bisa didapatkan?
Kita, paling tidak untuk sementara ini, dapat menyimpulkan bahwa sudut pandang hidup yang salah menjadikan tempat kerja –dan juga tempat-tempat hidup lainnya- sebagai sumber konflik. Bagaimana mungkin manusia dipacu untuk terus bekerja tanpa memperhatikan kebutuhan fundamental kemanusiaannya?
Sedikit agak dalam, kita perlu membincangkan kebutuhan fundamental manusia. Hal ini diperlukan untuk mengurai masalah-masalah praktis di kehidupan sehari-hari.
Manusia memiliki sejumlah aspek, paling tidak aspek biologis dan psikologis. Aspek biologis merujuk pada kebutuhan fisiknya. Sementara aspek psikologis merujuk pada aspek spiritualitas (mencakup nilai hidup dan amalan religious), emosional, dan juga mentalitas positif.
Manusia yang baik akan memberikan perhatian yang imbang terhadap kedua aspek tersebut. Tidak ada yang boleh diabaikan. Pengabaian salah satunya dapat mengantarkan manusia pada kondisi hidup yang kurang menyenangkan.
Apabila kerja ditempatkan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan biologis semata, hampir dapat dipastikan akan muncul sekian banyak konflik. Ada kompetisi meraih jabatan dan sumber-sumber pendapatan baru di tempat kerja. Dampaknya, ini membuat orang saling bersaing, tidak bekerja sama. Tidak ada kebersamaan di situ. Bahkan, bisa jadi, ada saling menghancurkan karir.
Dengan demikian, ada baiknya menempatkan kerja sebagai kegiatan multidimensional. Kita tidak lagi memandang pekerjaan sebagai kegiatan mencari uang semata, tetapi lebih dari itu. Kita dapat memandangnya sebagai upaya mencari persahabatan, mengaktualisasikan nilai-nilai positif diri, sekaligus tempat membaktikan hidup kepada-Nya.
Mungkin ada ketidaksepakatan di antara kita, bagaimana mungkin kegiatan kerja dijadikan sarana pengabdian kepada-Nya?
Berbuat baik akan menghasilkan ganjaran dari Allah SWT, kapanpun dan di manapun. Bila memang kita berbuat baik di tempat kerja, maka Allah SWT akan pahala-Nya. Bukankah begitu?
Tidak ada larangan untuk menyatukan sejumlah dimensi hidup dalam satu kegiatan. Bila itu mungkin, kenapa tidak?
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar