Jumat, 30 Desember 2011

Untaian Doa nah Indah dari Tokoh-Tokoh Sejarah


Wahai Tuhan,
Engkaulah Tuhanku
Tiada tuhan selain Engkau
Telah Kau ciptakan aku
Dan aku adalah hamba-Mu
Terhadap janjiku, aku akan menjalankan semampuku
Aku mengakui semua nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku
Dan aku mengakui semua dosa yang telah kuperbuat
Maka, ampunilah aku
Karena tidak ada yang bisa mengampuni dosa
Kecuali Engkau
(Terjemahan dari Dzikir / Doa Sayyidul Istighfar, dibaca Rasulullah SAW tiap pagi dan sore)

Tuhan…
Seandainya aku beribadah karena takut neraka,
Masukkanlah aku ke dalamnya
Tuhan…
Seandainya aku beribadah karena mengharapkan surga,
Jangan masukkan aku ke dalamnya
Akan tetapi, Tuhan…
Seandainya aku beribadah karena cinta kepada-Mu,
Maka dekatkanlah aku kepada-Mu
Dan terimalah ibadahku
(Doa dari Rabiah Al-Adawiyah, tokoh sufi perempuan dari Irak)

Wahai Tuhan,
Ku tak layak ke surga-Mu
Namun tak pula aku sanggup ke neraka-Mu
Ampunkan dosaku
Terimalah taubatku
Sesungguhnya Engkau-lah Pengampun
Dosa-dosa hamba
(Doa dari Abu Nawas, penyair dari Irak)

Jumat, 16 Desember 2011

Mempersegar Kehidupan


Seorang keponakan datang kepada pamannya. Di a mengadukan keinginannya untuk kuliah. Dia juga mengajukan permohonan agar sang paman mau membiayai kuliahnya. Itupun tidak semua biaya kuliah. Dia sangat senang jika sang paman menyanggupi sebagian saja biaya kuliah. Karena dia tahu, sang paman juga masih memiliki tanggungan anak-anak yang juga masih butuh pembiayaan.
Akan tetapi, permintaannya ditolak. Sang paman tidak mau mengabulkannya. Bahkan, sang paman mencemoohnya. Sang paman menyatakan bahwa kuliah adalah khayalan di keluarga besar mereka. Selain karena mahal, tanpa kuliahpun, sang paman dan sejumlah paman lainnya dapat hidup dengan layak.
Waktu bergulir. Roda nasib juga dipergilirkan oleh Allah SWT. Sang paman mengalami kemunduran usaha. Di sisi lain, dirinya mengalami kelebihan harta yang cukup.
Lalu, sang paman mendatangi dirinya. Hampir mirip dengan dirinya dulu, sang paman memintanya agar mau membantu sepupunya –anak sang paman- untuk menyelesaikan pendidikan di SMA.
Apa yang terjadi? Responnya sama dengan respon sang paman dulu. Hampir tidak ada perbedaan yang signifikan.
Terjadilah ‘lingkaran setan respon’. Sang paman sendiri dimungkinkan belajar respon tersebut dari orang tua atau paman-pamannya. Minimal, sang paman pernah melihat respon tersebut dari orang yang sangat dikenalnya.
‘Lingkaran setan respon tersebut’ akan terus menguat tanpa upaya pemutusan yang sungguh-sungguh. Dalam kasus tersebut, baik sang paman maupun keponakan, diharapkan dapat memulai upaya itu. Dengan demikian, di keluarga besar, respon yang sama tidak akan terulang kembali. Sebaliknya, sebuah respon yang baiklah yang akan muncul. Paling tidak, cemoohan dapat dihindari. Ini insya Allah akan mengekalkan rasa sayang di dalam keluarga besar.
Bisa jadi, baik sang paman maupun keponakan, keduanya memahami perlunya memutus ‘lingkaran setan repon tersebut’. Mereka berdua dimungkinkan sangat ingin membantu orang-orang di keluarga besar mereka. Akan tetapi, merubah kebiasaan –yang berarti juga merubah mindset- ternyata tidaklah sangat mudah. Ada sakit hati, gengsi, iri hati, dan sejuta perasaan negatif lainnya yang benar-benar menghambat. Akhirnya, mereka berdua membiarkan diri terlarut dalam lingkaran yang sama.
Bagaimana dengan kita? Siapkah kita memulai sebuah respon baru, yang itu berarti memulai sebuah tradisi baru?
Siapkah kita memaafkan segenap rasa sakit di masa lalu? Siapkah kita berdamai dengan gejolak hati yang selalu menarik kita untuk tidak berubah –status quo? Dan siapkah kita berdamai dengan orang-orang dekat kita yang mungkin sekali tidak setuju dengan apa yang kita lakukan?
Sejumlah pertanyaan ini akan kita jalani dalam perubahan yang kita lakukan. Mungkin tidak semua. Akan tetapi, satu atau dua pertanyaan saja membutuhkan jawaban lisan dan perbuatan yang berat. Sehingga, sama saja, perubahan akan menjadi berat.
Inilah tantangan kehidupan manusia secara keseluruhan, yakni kesanggupan manusia untuk selalu menampilkan kebaruan dalam merespon. Sehingga, ibarat dedaunan, yang baru akan memberikan kesegaran yang lebih segar. Secara keseluruhan, nantinya, pohon kehidupan ini akan selalu segar dan memberikan kesegaran kepada siapapun.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Kamis, 15 Desember 2011

Agar Persahabatan Kita Selalu Indah


Dua orang itu dulu saling berteman. Mereka sangat akrab. Banyak orang menyangka bahwa mereka adik dan kakak.
Akan tetapi, kini, persahabatan itu telah berakhir. Ada perbedaan yang tidak bisa disatukan di antara keduanya. Berbagai solusi telah ditempuh. Namun, semuanya tidak membuahkan hasil.
Kini, mereka jarang saling sapa. Penghalang mental itu sangat besar. Tanda-tanda berakhirnya masa diam pun belum terlihat. Bahkan, masa diam sepertinya akan berumur panjang.
Persahabatan memang menyisakan begitu banyak cerita. Ada cerita bahagia, ada juga cerita duka. Masing-masing cerita membawa dampaknya sendiri-sendiri. Yang pasti, selalu ada hikmah di balik semua cerita itu, bukan?
Bisa jadi, cerita dan pengalaman persahabatan kita juga cukup banyak. Yang kemudian kita ajukan adalah sejumlah pertanyaan, “Apa yang paling berpengaruh dalam persahabatan kita? Seberapa kuatkah pengarunya?”
Pertama, marilah kita membincangkan motif. Persahabatan, disadari atau tidak, memiliki sejumlah motif. Ada motif sekedar berteman, mencari teman curahan hati, hingga motif finansial.
Motif-motif tersebut memiliki pengaruh dalam persahabatan. Motif sekedar berteman, misalnya, menjadikan hubungan tidak terlalu dekat. Hampir tidak ada curahan hati di sana, hanya sekedar ‘say hello’.
Kedua, ada juga harapan dalam persahabatan. Dampaknya juga cukup besar. Bukankah kita sama-sama pernah meletakkan sebuah harapan pada sebuah persahabatan. Apa yang kemudian kita rasakan manakala harapan kita tidak pernah tercapai?
Seorang ustadz pernah berujar, “Ada baiknya tidak menaruh terlalu banyak harapan dalam sebuah hubungan. Karena semakin banyak harapan, maka secara tidak sadar, kita semakin banyak menuntut. Bila semua tuntutan itu tidak dipenuhi, sakit hati sangat mungkin bisa kita rasakan.”  
Ketiga, kita menemukan sejumlah perasaan melankolis. Cinta, sayang, benci, adalah sejumlah perasaan melankolis yang kerapkali mewarnai persahabatan. Terkadang, perasaan melankolis ini mendominasi perasaan kita. Kita juga kurang memberikan kendali pada perasaan-perasaan melankolis ini. Akhirnya, tanpa sadar, kita terhanyut dalam perasaan kita. Kita menjadi sulit membedakan persepsi dengan realitas.
Berbagai hal dalam persahabatan inilah yang kerapkali diabaikan tanpa kendali. Akal ditumpulkan. Daya kritis dimatisurikan. Kepercayaan dimaksimalkan. Semuanya dianggap dalam kondisi benar.
Selain itu, dalam persahabatan, segala sesuatunya dianggap dapat berjalan secara alami. Tidak ada yang perlu dikelola dengan usaha. Bahkan, keterampilan bersosialisasi dianggap akan muncul dengan sendirinya. Pembelajaran untuk membangun keterampilan bersosialisasi dianggap mengada-ngada.
Muaranya, ketika persahabatan telah berada di ujung tanduk, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Semunya berakhir begitu saja.
Pokok yang kita bicarakan adalah pentingnya berbagai bekal dalam persahabatan. Dengan demikian, persahabatan kita yang indah insya Allah akan selalu indah. Persahabatan kita juga bisa memberikan inspirasi bagi siapapun yang ingin merasakan indahnya persahabatan. Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Selasa, 13 Desember 2011

Kita dan Keaslian Kita


Siang itu, cuaca tidak terlalu terik. Kipas angin menyala dengan baik. Apalagi pergerakan kereta dengan kecepatan sedang menghembuskan angin yang semilir. Rasanya benar-benar nyaman.
Para penumpang di kereta terlihat asyik berbincang. Siapapun akan menikmati situasi itu bukan? Termasuk dua wanita di salah satu kursi penumpang. Mereka asyik bicara, padahal baru saja berjumpa.
Entah karena benar-benar ingin bicara atau hanya basa-basi, mereka terus asyik berbincang sepanjang jalan. Senyum sering mengembang di wajah keduanya. Terkadang, mimik serius juga terlihat. Sebuah perbincangan yang komunikatif?
Bila komunikatif hanya diartikan dengan sampainya pesan, perbincangan kedua wanita itu dapat dikategorikan komunikatif. Ada ketersambungan perbincangan. Akan tetapi, bila komunikatif diartikan lebih jauh, yakni tersambungnya perasaan antarindividu secara mendalam, perbincangan keduanya perlu ditinjau lagi sebelum dinyatakan komunikatif. Indikator tersambungnya hati tidak terlihat di sana. Tidak ada sama sekali kontak mata, apalagi kontak fisik. Padahal, antarkeduanya tidak ada penghalang berarti.
Ah, sebenarnya, apa yang dilakukan kedua wanita itu sama dengan apa yang sering kita lakukan. Bahkan, yang kita –atau sebagian dari kita- lakukan bisa lebih buruk lagi. Bukankah sering ada komentar buruk setelah perbincangan yang terlihat manis?
Mimik manis memang sering dijadikan topeng. Sehingga, perbincangan menjadi terasa hangat. Padahal, dalam hati, ada sejuta keinginan untuk mengakhiri kalam perbincangan.
Inilah salah satu problem serius komunikasi. Perasaan terdalam sering tertutupi oleh mimik yang sangat berbeda. Dengan demikian, tidak ada ketersambungan. Dalam kata lain, tidak ada keaslian –untuk tidak menyebut ‘tidak ada kejujuran’.
Keaslian yang hilang pada waktu singkat mungkin cukup ringan. Senyum selama 15 menitan masih dapat dilakukan dengan baik. Akan tetapi, adakah yang sanggup lebih dari itu?
Keaslian yang hilang membuat banyak pihak tidak nyaman. Yang bicara dan yang diajak bicara, keduanya sama-sama tidak nyaman. Hal ini wajar saja, karena manusia mempunyai kebutuhan untuk mengekspresikan dirinya secara lugas, apa adanya. Pengekangan ekspresi berarti pengekangan keinginan. Bila keinginan makan hanya dapat diselesaikan dengan makan, demikian pula dengan keinginan ekspresi. Tanpa kebebasan ekspresi, yang ada hanya tumpukan rasa frustasi dan marah.
Inilah tantangan komunikasi. Kita semua dituntut untuk selalu menampilkan keaslian kita. Apapun yang kita rasakan, itu pulalah yang kita ekpresikan, dan kita melakukannya dengan sangat nyaman. Kita pun siap bertanggung jawab dengan ekspresi kita. Hal ini dikarenakan kita selalu mengukur diri dan lingkungan kita sebelum menampilkan ekspresi, tidak sembarangan dan lepas tanggung jawab.
Hilangnya keaslian dapat berakibat fatal bila kita biarkan. Paling tidak, kebohongan akan terus kita lakukan. Parahnya, kita tahu dan paham bahwa kita sedang berbohong. Ada perilaku bohong yang dibudayakan.
Kalau sudah demikian, kepada siapakah kita akan memberikan kepercayaan? Kepada diri kita? Bukankah kita sudah tahu dan paham bahwa kita sering berbohong?
Bila daftar pertanyaannya diteruskan, kita akan mendapat pertanyaan, bagaimanakah rasanya hidup tanpa percaya kepada siapapun?
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Senin, 12 Desember 2011

Mengembangkan Mental Pembelajar

Seorang bayi telah lahir. Segenap keluarga besar menyambut dengan gembira. Mereka bersyukur kelahiran dapat berlangsung dengan baik. “Semoga menjadi awal yang baik”, demikian doa mereka.
Bayi itu lalu tumbuh. Ia melalui sejumlah tahapan hidup sebelum dapat disebut ‘anak kecil’. Ada tahapan tengkurap, merayap, merangkak, berdiri, dan juga berjalan.
Semuanya dilalui dengan upaya yang besar dari si bayi mungil. Ia juga pantang menyerah.  Apalagi, ketika melalui masa berdiri. Ia jatuh berkali-kali, tapi terus mencoba berdiri.
Sejumlah motivator sering menjadikan bayi sebagai contoh pantang menyerah. Mereka sering menyampaikan pertanyaan, “Apa yang terjadi bila si bayi mungil menyerah untuk berdiri?”
Tanpa bermaksud ikut-ikutan, mari kita ajukan kembali pertanyaan itu, “Apa yang terjadi bila si bayi mungil menyerah untuk berdiri? Akankah ia bisa berdiri ketika dewasa?”
Inilah mungkin yang disebut dengan mental pembelajar. Ada keinginan keras, sikap pantang menyerah, dan sekaligus keyakinan akan tercapainya tujuan. Rasa sakit yang ada tidak menjadi kendala berarti. Apalagi, bila ia menerima motivasi, ia akan segera bangkit dan berupaya lagi.
Mental pembelajar juga menumbuhkan evaluasi diri. Setiap kesalahan akan dipelajari dengan baik. Apa yang menyebabkannya, itu yang akan dihindari. Dengan demikian, tidak akan lagi kesalahan yang sama.
Masalahnya, mental pembelajar bisa hilang. Tidak langsung hilang, memang, tapi mental pembelajar berkurang sedikit demi sedikit. Padahal, bila modal penting dari Yang Kuasa ini berkurang, keinginan untuk terus meningkatkan kualitas hidup juga akan berkurang.
Mungkinkah kita masih ingat bentakan orang dewasa ketika kita –yang masih kecil waktu itu- melakukan kesalahan? Bagaimana rasanya?
Ketakutan, kegelisahan, rasa tertekan, adalah sejumlah perasaan negatif yang dapat mengikis mental pembelajar. Apalagi, bila semua perasaan negatif itu dirasakan setiap saat oleh seorang anak manusia –baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa.
Bagi yang masih kecil, mental pembelajar ditumbuhkan dengan penciptaan lingkungan yang aman dan nyaman. Hal ini dikarenakan anak kecil belum memiliki sejumlah kemampuan untuk mengolah mentalitas dirinya.
Sementara bagi yang sudah besar, mental pembelajar ditumbuhkan dengan penumbuhan rasa aman dan nyaman dalam dirinya. Bahkan, dapat dikatakan, setiap orang dewasa wajib menciptakan lingkaran aman dan nyaman dalam dirinya. Sehingga, seberat apapun tekanan yang ada, dia tetap dapat melaluinya.
Kewajiban bagi orang dewasa ini dilandasi pemahaman bahwa orang dewasa sudah memiliki kemampuan –minimal kemampuan dasar- untuk menciptakan rasa aman dan nyaman dalam dirinya. Ia dianggap telah melalui sejumlah pengalaman hidup yang memungkinkan untuk itu.
Rasa aman dan nyaman ini agak berbeda dengan keberanian. Rasa aman dan nyaman diawali dengan penerimaan akan diri sendiri, dan diekspresikan dengan sikap tenang. Adapun keberanian diawali dengan penaklukan rasa takut, dan diekspresikan dengan kesiapan berhadapan dengan suasana yang penuh ketakutan.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Jumat, 09 Desember 2011

Membangun Mental Belajar, Bersiap Menghadapi Masalah


Seorang istri mengalami kecelakaan. Ia terluka, dan juga ketakutan. Badannya gemetar. Ia semakin ketakutan karena sang suami sedang berada di tempat lain.
Tak lama berselang, sang suami datang. Sang suami lalu berusaha menenangkan dirinya. Tangannya digenggam lembut. Akan tetapi, alih-alih merasakan ketenangan, ia malah meringis kesakitan.
Ternyata tangan sang istri terluka. Sang suami pun merasa sedikit bersalah. Seharusnya, ia bertanya dan menelusuri kondisi istrinya secara komprehensif. Dengan demikian, ia tidak salah mengambil tindakan.
Sebagian kita sering begitu –paling tidak penulis, kurang memberikan perhatian dan waktu yang cukup untuk mengumpulkan seluruh informasi kondisional sebelum bertindak. Sebagian Kita sering menyamakan setiap kondisi, bahkan mengandalkan insting dan pengalaman-pengalaman yang tidak matang. Dengan cerobohnya, sebagian kita berpendirian bahwa yang dilakukan pasti benar –atau mendekati kebenaran.
Sebagian kita sering lupa bahwa sebuah kondisi terkadang memiliki unsur-unsur yang berbeda dengan kejadian yang hampir mirip. Sebagai misal, ada dua kecelakaan dengan akibat luka yang sama. Satu terjadi di pegunungan, sementara satunya di daerah perkotaan. Pasti berbeda, bukan?
Pengetahuan dan kesabaran, mungkin itulah dua kata kunci dalam memperoleh informasi akurat sebelum bertindak. Pengetahuan mengantarkan kita untuk memahami unsur-unsur / faktor-faktor apa sajakah yang perlu diteliti dalam sebuah kondisi. Sementara kesabaran memberikan kita jaminan untuk lebih teliti dalam melakukan pengamatan.
Dalam hal ini, tidak ada salahnya seseorang mempersiapkan diri sebelum datang kondisi yang sulit. ia bisa menambah berbagai referensi pengetahuan, plus persiapan sabar.
Di antara keduanya, manakah yang paling sulit? Mungkin kita sepakat, sabar itulah yang paling sulit. Meskipun demikian, kalau kita kaji lebih dalam, sabar dan sedikitnya pengetahuan memiliki satu akar yang sama. Yakni, adanya perasaan cukup dengan pengetahuan yang sedikit.
Tanpa adanya pengembangan ilmu pengetahuan, kita cenderung statis dalam menghadapi masalah. Setiap masalah, solusinya itu-itu saja. Akhirnya, masalah tidak selesai, dan kita semakin gusar. Akhirnya, kesabaran pudar. Dan untuk menutupi kekurangan kita, kita sering bersikap negatif terhadap masukan orang lain. Bahkan, kita sering memperlakukan orang yang solutif dengan cara yang buruk.
Tanpa sadar, karakter kita ikut-ikutan statis. Pengetahuan dan mentalitas kita mandeg. Kita pun terhambat dalam pengembangan kemampuan menyelesaikan masalah, sekaligus dapat menghambat orang lain yang juga ikut menyelesaikan masalah.
Inilah tantangan kita untuk terus belajar. Istilah keren-nya, mentalitas belajar. Adakah mentalitas ini terus ada dalam diri kita sepanjang hayat? Ataukah berhenti seketika bersamaan berhentinya kita belajar di bangku pendidikan formal?
Mmm…kapan-kapan, kita berdiskusi tentang mentalitas belajar ya?
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)