Senin, 30 April 2012

Selalu Kuat dan Jernih dalam Hidup


Seseorang yang terbiasa hidup sederhana akan bersikap biasa saja bila harus makan seadanya. Bahkan, ia akan tetap sabar manakala hanya makan sekali dua kali setiap harinya. Baginya, sesedikit apapun makanan yang ada, itu haruslah disyukuri.
Ini tentu saja berbeda bila terjadi pada orang yang terbiasa hidup enak dan serba berlebih. Penyikapannya akan cenderung negatif. Hanya orang-orang khusus saja –dengan karunia Allah Ta’ala- yang akan berlapang dada dengan situasi yang ada.
Kita bukannya dilarang hidup enak dan berkecukupan, bahkan berlebihan sekalipun. Kita diperbolehkan untuk meraih itu semua. Yang perlu digarisbawahi adalah pentingnya kekuatan jiwa dan kebeningan hati kita, sehingga kita santun dalam kenikmatan dan sekaligus percaya diri dalam kesengsaraan yang ada.
Kita perlu mengangkat hal ini. Karena ada begitu banyak fenomena buruk terpampang di depan mata kita. Sebagian fenomena itu lahir dari kekalahan menghadapi kenikmatan, sebagian lainnya karena kemiskinan dan kesengsaraan yang mendera.
Kenikmatan dan kesengsaraan adalah dua arus yang siap menghayutkan siapapun dalam kehidupan ini. Mereka yang belum pernah merasakan kenikmatan, lalu mendadak mendapat kenikmatan, biasanya mengalami keterkejutan yang luar biasa. Alhasil, mereka ingin menunjukkan dan memamerkan seluruh kenikmatannya kepada orang lain. Mereka sangat berhasrat untuk dianggap ada / eksis. Di sisi lain, orang-orang yang terbiasa dengan kenikmatan akan mengalami kesulitan yang luar biasa manakala terjerembab dalam kesengsaraan. Alhasil, mereka mencela hidup, bahkan mencela Allah Ta’ala.
Bila kita memiliki kekuatan jiwa dan hati yang bersih, semua fenomena yang ada tentu disikapi biasa saja. Kekayaan akan disikapi dengan syukur yang diwujudkan dengan banyak memberi. Sementara kesengsaraan akan disikapi dengan sabar yang diwujudkan dengan banyak istighfar.
Selain itu, dengan semua bekal yang ada, kita akan senantiasa siap menerima berbagai perubahan hidup. Kita tahu, paham, dan meyakini bahwa hidup ini diatur oleh-Nya. Kita hanya berjalan di jalan yang dibuatkan oleh-Nya. Manakala ada situasi yang berbeda dengan yang kita bayangkan, kita pasrahkan segalanya pada-Nya. Karena kita juga berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala hanya memberikan yang terbaik untuk kita semua.
Kesabaran selalu dibutuhkan dalam membangun kekuatan jiwa dan kebeningan hati. Karena waktu yang ditempuh sangat panjang. Pilihannya ada pada diri kita: Akankah kita mengayunkan kaki kita sekarang agar tujuan segera tercapai, ataukah kita selalu menggerutu atas panjangnya perjalanan yang harus ditempuh?
Wallaahu a’lam bishshawaab. (dufo abdurrohman)

Selasa, 24 April 2012

Sederhana dalam Kata, Kaya dalam Amal


Ia begitu dihormati dan disegani. Setiap orang yang mengenalnya, memang, meragukan dirinya di awal perjumpaan. Akan tetapi, setelah sekian waktu berlalu, keraguan itu berubah.
Ia memang begitu sederhana. Wajah, postur tubuh, penampilan, dan juga kata-katanya standar-standar saja. Sebagian orang bahkan menganggap dirinya begitu polos.
Lalu apakah yang membuatnya begitu istimewa? Hanya satu saja yang membuatnya istimewa. Ia selalu menghindari banyak berbicara dan berkomentar tentang orang lain. Di depan maupun di belakang yang bersangkutan, ia lebih banyak diam. Jikalau mungkin, ia lebih banyak memberikan pujian.
Ia sadar bahwa setiap komentar tentang orang lain dapat memberikan dampak yang besar. Dampak itu berimbas pada dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Pada dirinya, lama-kelamaan, ia menjadi kurang mawas diri. Kepekaan terhadap diri sendiri menjadi berkurang. Pada akhirnya, ia dapat menjadi sombong, takjub pada dirinya sendiri. Adapun pada orang lain di sekitarnya, dampak yang nyata adalah rasa tidak aman. Orang-orang di sekitarnya takut bahwa mereka akan menjadi obyek gunjingan suatu saat nanti. Bukankah selalu ada peluang untuk itu?
Ia pun jarang memberikan komentar atas ucapan-ucapan orang lain. Akan tetapi, sungguh, ia sangat kritis dan cerdas. Ia hanya menghindari mempermalukan orang lain. Apabila benar-benar diperlukan, kritik yang ia sampaikan sangat cerdas dan mengandung humor. Orang yang dikritik pun merasakan bahagia.
Di sisi lain, ia sangat kuat dalam tindakan. Ia mengusahakan disiplin yang keras pada dirinya. Berbagai perilaku dan upaya baik dilakukan secara konsisten. Ia juga berusaha membantu orang lain –tentu saja, dengan kemampuan yang ada.
Maaf merupakan kata yang selalu ia ucapkan. Ia juga rajin mengucapkan terima kasih atas kebaikan orang lain. Ia sadar bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang membutuhkan banyak bantuan orang lain. Sedikit saja ia terlupa akan kesalahan dan hutang budinya, ia merasakan kegalauan yang sangat berat.
Adapun kepada orang lain, ia begitu sabar. Maafnya begitu luas. Sekali orang lain menyampaikan maaf kepadanya, ia langsung memaafkan. Ia sadar bahwa dirinya hanyalah manusia biasa. Bila Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa saja memberikan maaf yang luas, bagaimana dengan dirinya yang penuh ketergantungan pada pihak selain dirinya?
Ia begitu khusyu’ dalam shalatnya. Iapun begitu serius dalam tafakkurnya. Ia senatiasa berdoa agar Allah Ta’ala menjadikan dirinya sebagai hamba yang banyak bekerja. Adapun berkata-kata, ia lebih banyak menyerahkan pada ahlinya.
Ia adalah hamba yang senantiasa merendahkan diri di hadapan Tuhannya. Mungkin, ia adalah salah satu dari kita. 
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Kamis, 12 April 2012

Senantiasa Merawat Jiwa


Besi perlu dijaga dan dirawat terus menerus. Ini dilakukan untuk mencegah karat. Biayanya relatif lebih murah ketimbang mengembalikan besi ke sedia kala, jika besi telah berkarat. Ini sesuai sekali dengan motto, ‘mencegah lebih baik daripada mengobati’.
Sebagian orang memang cenderung abai pada perawatan. Bila belum terlihat tanda-tanda kerusakan, biasanya mereka diam tanpa tindakan. Padahal, bila tanda-tanda sudah terlihat, upaya perbaikan cenderung lebih berat. Sekali lagi, energi dan biaya yang diperlukan jauh lebih banyak.
Kesibukan harian sering menjadi alasan. Ini mengalahkan pengetahuan dan pemahaman mereka akan pentingnya perawatan. Praktek memang sering berbeda dengan pengetahuan.
Kita juga tahu bahwa perawatan jiwa jauh lebih rumit ketimbang merawat benda. Minimal, benda dapat diindera dengan mudah. Kulit bisa meraba, mata bisa melihat, dan hidung bisa mencium. Ada juga lidah yang bisa merasa dan telinga yang bisa mendengar. Sementara itu, jiwa memiliki sinyal-sinyal halus. Getarannya sangat lembut. Setiap orang perlu kepekaan yang luar biasa guna merasakannya.
Begitu tingginya kepekaan yang diperlukan guna merasakan getaran jiwa, banyak orang yang abai. Mereka baru terkaget ketika kondisi jiwa telah jauh berubah, jauh dari yang mereka bayangkan. Merekapun hampir kehilangan daya dan harapan untuk membenarkan jiwa yang telah melenceng jauh.
Inilah yang membuat orang-orang terpilih begitu waspada pada getaran jiwa. kepekaan senantiasa dijaga. Berbagai amalan dilakukan. Meski berat, mereka tetap bersemangat. Karena mereka yakin inilah jalan terbaik agar getaran jiwa dapat senantiasa dideteksi. Sehingga, bila ada sedikit saja penyelewengan, jiwa bisa dibenarkan dengan segera.
Amalan-amalan yang dilakukan mencakup berbagai aspek kedirian. Akal, emosi, dan fisik, semuanya diarahkan. Akal diarahkan pada pemikiran yang benar. Sedikit saja ada pemikiran salah, akal langsung diluruskan. Emosi juga diasah, minimal kesabarannya. Segala sesuatu yang memancing amarah disikapi dengan penuh kedewasaan. Terkadang, ada kegagalan. Akan tetapi, pengulangan terus diupayakan. Demikian juga dengan fisik, terkadang kebutuhannya ditahan. Lapar dijalani dengan penuh keikhlasan. Libido dikelola dengan penuh kesadaran. Sakit disikapi dengan penuh ikhtiar.
Orang-orang terpilih ini senantiasa melakukan ini semua. Mereka proaktif, tidak menunggu tanda-tanda rusaknya jiwa. Karena mereka sangat sadar bahwa mereka hamba yang lemah. Sementara itu, setan senantiasa menunggu saat lengahnya hamba.
Seluruh alam ini akan teratur dan tenang selama dalam ketentuan-Nya. Penyelewengan sedikit saja akan melahirkan sejumlah masalah sistemik. Bukankah akan merepotkan bila matahari bergeser 1 km saja dari tempatnya semula?
Manusia adalah wakil Allah Ta’ala di muka bumi. Sedikit saja ia bergeser dari ketentuan-Nya, dengan membiarkan jiwa dalam kesesatan, berarti membiarkan masalah muncul dan mempengaruhi bumi dan seisinya ini. Masalahnya kemudian, berapa banyakkah manusia yang senantiasa waspada dengan jiwanya? Dan, apakah kita termasuk di dalamnya?
Wallaahu a’lam bishshawaab. (dufo abdurrohman)

Rabu, 11 April 2012

Memupus Iri Dengki


Kesenangan yang digenggam orang lain kerapkali melahirkan iri dengki. Sedikit atau banyak, rasa itu menyelinap. Pada sebagian orang yang lalai, rasa itu membesar. Ada yang membutuhkan waktu yang perlahan, dan ada pula yang cepat.
Dalam suasana penuh iri dengki, hidup terasa semakin berat. Bagaimana tidak, bila dalam rasa dengki ada kufur nikmat kepada-Nya? Ya, seseorang yang dengki memiliki perasaan bahwa Allah Ta’ala tidak adil. Ia merasa bahwa dirinya juga pantas menerima nikmat yang digenggam orang lain tersebut.
Kondisi hidup akan bertambah berat ketika orang-orang dalam satu lingkungan terjangkiti penyakit hati yang satu ini. Masing-masing merasa dirinya paling layak menerima kebaikan. Dalam pemahaman yang lain, ada perasaan bahwa orang lain seharusnya merasakan beban berat dirasakan. Ada perasaan yang begitu menyiksa manakala orang lain terlihat bahagia dengan senyum yang mengembang.
Lingkungan yang terjangkiti iri dengki akan melahirkan orang-orang yang berperilaku saling menyerang dan menjatuhkan. Di sisi lain, guna mempertahankan diri, perilaku-perilaku mempertahankan diri bermunculan. Ada perilaku menjaga imej, membentuk kubu-kubu / kelompok, dan sekaligus hipokrit (mencari muka).
Siapapun yang memiliki mata hati tentu resah dengan kondisi ini. Hal ini dikarenakan iri dengki menutup pintu-pintu kebaikan hakiki. Bahkan, sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW, iri dengki dapat memakan semua kebaikan –layaknya api memakan kayu bakar.
Lalu, bagaimanakah bila iri dengki sudah terlanjur mewabah? Pertama, di tingkat individu, seseorang seharusnya mempertahankan kejernihan mata hatinya. Ia perlu menguatkan pertahanan diri agar terus kokoh dalam ‘arus deras’ iri dengki. Berbagai ibadah dan kajian merupakan contoh upaya nyatanya.  Kedua, di tingkat lingkungan, sangat baik bila orang-orang dalam lingkungan itu menyadari bahwa iri dengki telah mewabah. Sehingga, setiap orang perlu menguatkan pertahanan diri sekaligus berpartisipasi aktif dalam menjernihkan lingkungannya.
Sebenarnya, jika ditelaah lebih mendalam, iri dengki berawal dari hilangnya rasa syukur. Nikmat Allah Ta’ala yang sangat banyak itu disikapi dengan pengabaian. Semuanya dianggap rendah. Akibatnya, yang dilihat di mana-mana adalah kekurangan saja. Kebaikan hampir menguap.
Selanjutnya, muncullah perasaan tidak disayang oleh Allah Ta’ala –perasaan yang membuat seseorang tidak merasakan kebaikan Allah Ta’ala sedikitpun. Ia pun mulai melirik kanan kirinya, mencari tahu apakah orang lain sama dengan dirinya. Apabila orang lain sama, diam-diam, ia bersyukur. Apabila orang lain lebih baik, diam-diam, ia mulai terbakar cemburu. Tanpa penyucian jiwa, perasaan ini pun menggunung dan mengobarkan hawa tidak nyaman ke sekitarnya.
Penyucian jiwa memang perkara yang berat. Ada cukup banyak amalan guna mencapainya. Wajar saja, sedikit sekali orang yang mau menjalaninya. Mereka yang abai atau enggan kerapkali mencari pembenaran.
Meskipun demikian, sebagaimana berulang-ulang disampaikan dalam sejumlah firman-Nya dalam Al-Qur’an, kebaikan itu untuk pemiliknya, bukan orang lain. Siapa saja yang menjalankan amalan kebaikan, dialah yang merasakan nikmatnya.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Selasa, 10 April 2012

Berkata Benar, Membangun Jiwa


Penolakan kerapkali bermuara pada perasaan negatif. Ada sesuatu yang sangat mengganjal dan menyesakkan dada. Beberapa orang bahkan merasakan pandangan yang kabur.
Penolakan yang terjadi satu atau dua kali mungkin hanya menyisakan sedikit guratan luka dalam hati. Hilang atau sembuhnya butuh waktu yang relatif sebentar. Dalam hitungan minggu, bahkan hari, guratan luka itu hampir tak berbekas.
Ini tentu saja berbeda dengan penolakan berkali-kali. Dampaknya jauh lebih dalam. Selain menimbulkan luka yang lebih sakit, penolakan berkali-kali ini dapat menimbulkan citra diri yang cenderung negatif. Bila diabaikan, citra diri negatif ini dapat berkembang pada kewaspadaan yang berlebihan dalam bersosialisasi.
Masalahnya kemudian, dunia ini penuh dengan penolakan. Dalam sehari, kita mungkin merasakan penolakan yang berkali-kali. Kita pun merasakan sakit yang amat sangat.
Meskipun demikian, sebagian orang menyatakan perasaan yang biasa saja bila ditolak. Sakit hati sudah terasa menguap. Semuanya berjalan seperti biasa.
Orang-orang ini memiliki ketahanan emosi yang luar biasa. Bagi mereka, penolakan bukanlah akhir, tapi sebuah awal yang baru. Sehingga, mereka senantiasa memulai –dan tentu saja penuh energi.
Di sisi lain, orang-orang tipe ini cenderung biasa saja ketika diterima. Mereka terlihat stabil. Kegembiraan nampak proporsional. Ada senyum dan mungkin tawa, tapi semuanya tidak terlihat norak.
Orang-orang yang berketahanan emosi ini memang terlatih dalam hidup. Sejumlah pengalaman telah membentuk mereka sedemikian rupa. Sehingga, dalam satu fase puncak hidupnya, ia sangat kokoh. Berbagai hal, buruk atau baik, semuanya terasa biasa saja.
Jauh lebih dalam, kita akan menemukan sesuatu yang lebih fundamental pada diri mereka. Dapat dikatakan inilah fondasi utama. Semakin kokoh fondasi ini, dalam keseharian, mereka semakin kuat.
Sebelumnya, marilah kita melihat masa lalu kita. Bukankah orangtua kita senantiasa memberikan nasehat dan pandangan-pandangannya terhadap kehidupan ini? Dan sadar atau tidak, bukankah kita hidup dengan pandangan-pandangan mereka?
Ya, pandangan orang tua yang benar terhadap hidup adalah fondasi utama dalam pembentukan kekuatan emosi anak. Apalagi, bila orangtua dapat menyampaikannya dengan cara komunikasi yang baik. Hasilnya tentu lebih dahsyat.
Orangtua memang dilarang keras untuk berbohong. Sekecil apapun, kebohongan dapat memperlemah jiwa anak. Sebagai misal, seringkali terdengar ungkapan, “Mejanya nakal,” padahal meja benda mati. Bagaimana meja bisa nakal? Bukankah ini akan memunculkan sikap melemparkan kesalahan pada pihak lain?
Maka, marilah kita berhenti sejenak. Bila kita terlanjur salah terdidik, mari kita menerima kenyataan guna membenahi diri. Adapun bila kita salah mendidik, mari kita mohon ampun kepada Allah Ta’ala sambil berdoa agar diberi kekuatan, sehingga kita bisa memperbaiki semuanya.
Allah Ta’ala pun berfirman,
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S. An-Nisa: 9)  

Wallaahu a’lam bishshawaab. (dufo abdurrohman)

Memulai Yang Kecil, Mempertahankan Konsistensi


Kita sering bertemu atau menemukan orang-orang yang sudah berusia lanjut. Dalam ketuaan yang sama-sama mereka jalani, mereka memiliki jalan yang berbeda-beda. Minimal, di aspek ibadah, ada yang tambah taat kepada ajaran agama dan ada pula yang  tambah jauh.
Menilik masa lalu, kita akan mendapatkan data bahwa sebagian mereka memang sudah taat selagi muda. Kini, mereka tinggal melanjutkan. Bahkan, ada yang semakin baik ketaatannya.
Ada pula yang masa lalunya buruk, tapi kini bertaubat. Mereka menjadi insan yang baik. Kebaikannya tidak hanya di masjid, tapi pula di rumah dan tempat-tempat publik. Mereka menyebarkan kebaikan di mana-mana.
Ada pula orang tua yang dari dulu hingga sekarang memiliki catatan perilaku yang buruk. Ada saja keburukan mereka. Bisa jadi, keburukan itu mewujud dalam emosi yang meluap-luap, ataupun nafsu yang terarahkan sembarangan.
Mungkin, yang paling menyedihkan adalah masa lalu baik yang diakhiri dengan buruk. Di masa lalu, seseorang begitu baik. Ya, ia baik dalam banyak aspek. Akan tetapi, seiring waktu, dengan berbagai faktor, ia terjebak dalam keburukan perilaku.
Inilah tantangan konsistensi: mempertahankan segala sesuatu yang baik dari awal hingga akhir. Inipun berat, sebagaimana diakui dan dinyatakan banyak orang. Ini jugalah yang sering dikeluhkan. Minimal, ada perkataan, “Mendapatkan lebih mudah ketimbang mempertahankan.”
Lalu, bagaimanakah kita mempertahankan konsistensi?
Ada satu resep dari Rasulullah SAW. Dalam salah satu haditsnya, sebagaimana diriwayatkan Bukhari Muslim, beliau bersabda, “Amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten, walaupun sedikit.”
Nah, kita menemukan kata-kata ‘walaupun sedikit.’ Maknanya, ada baiknya kita memulai segala sesuatu dari kecil. Lalu, kita merawatnya. Sehingga, yang kita rawat akan terus dan terus membesar. Seiring waktu, tanpa terasa, yang kita rawat telah kokoh –bahkan menyatu dengan diri kita.
Ini juga memberikan satu arahan kepada kita. Ya, hasrat terburu-buru untuk langsung besar memang sangat menggoda. Bila kita terhanyut dalam hasrat ini, kita perlu siap-siap terhanyut dalam ketidakkonsistenan. Bukankah sangat berat mengatur arus air yang besar, ketimbang memperbesar arus air perlahan-lahan?
Di titik ini, kitapun menyadari satu hal: pengendalian diri. Berbagai keinginan yang menghantui pikiran perlu diatur, ditata, dan diprioritaskan. Kita bisa saja meraih banyak hal. Insya Allah, ini hanyalah masalah waktu. Seiring waktu berjalan, dengan pengaturan yang baik, kita dapat meraih segalanya.
Sungguh, akan ada kesedihan manakala konsistensi kita kalah, runtuh pula yang dipertahankan. Sebelum itu terjadi, bisakah kita lebih mengendalikan diri?
Wallaahu a’lam bishshawaab. (dufo abdurrohman)