Rabu, 29 Februari 2012

Menjaga Hati, Menjaga Diri, Menjaga Sesama


Seringkali, bisikan dalam hati kita berhembus begitu samar. Sehingga, kita membiarkannya. Lama kelamaan, bisikan hati itu menguat. Akhirnya, tanpa kita sadari, bisikan hati itu telah mewujud menjadi tindakan.
Dalam prosesnya, bisikan hati itu menguat menjadi suara hati. Lalu, suara hati menjadi keinginan. Bila waktu dan kondisinya sesuai, keinginan itu akan menjadi tindakan.
Oleh karena itu, orang yang senantiasa waspada sangat berhati-hati menjaga hati. Ia tidak akan membiarkan bisikan-bisikan hati yang liar terus berkeliaran, menyusup di antara berbagai celah yang ada. Begitu bisikan-bisikan itu datang, ia langsung bertindak mengamankan hatinya. Ia segera beristighfar, memohon ampun kepada Allah Ta’ala, sekaligus memohon perlindungan-Nya.
Ia melakukan ini semua karena istighfar bisa menjernihkan kembali hati dari noda-noda. Sementara, perlindungan Allah Ta’ala diperlukan agar terhindar dari bisikan-bisikan lain yang jauh lebih halus –yang sedikit demi sedikit, membangun kekuatannya, menghancurkan pertahanan hati dengan serentak.
Orang yang waspada senantiasa berusaha kuat membangun hubungan-Nya dengan Allah Ta’ala, kapanpun dan dimanapun. Ia sangat paham karena setan selalu mengintai. Kelengahan sekejap akan dimanfaatkan betul oleh setan. Ibarat domba yang asyik makan rumput, terlambat baginya untuk menyadari, cakar harimau sudah menghujam kuat pada tubuhnya.
Salah satu perilaku yang dicintai oleh orang yang waspada adalah diam. Jika perlu, ia juga menepi sejenak dari pergaulan. Ia meraba kedalaman hatinya. Ia cek dengan sungguh-sungguh, seberapa virus hati telah jauh menelusup hatinya. Ia susuri hatinya dengan seksama seakan-akan menyusuri gang-gang kampung, dengan harapan ia menemukan kebersihan di sana.
Jeda sosialisasi ini dilakukannya setiap saat yang mungkin. Ia tidak menunggu malam hari. Kapanpun bila mungkin, jeda itu pasti ada. Ini pula yang membuatnya merasakan kembali kesegaran jiwa.
Orang yang waspada sangat menghormati orang-orang di sekitarnya. Cara yang ditempuhnya adalah hati-hati. Karena iapun tidak ingin orang lain terluka olehnya. Bila kesalahan itu terjadi, ia langsung meminta maaf.
Ia juga berusaha keras menjaga diri dari berbagai virus hati dalam pergaulan. Iri, topeng palsu, dan dusta merupakan sejumlah contoh perilaku hati yang benar-benar ia hindari. Karena perilaku-perilaku hati merupakan awal terjadinya perilaku buruk lainnya.
Hiburan yang berlebihan pun berusaha dikurangi. Bahkan, ada yang sangat sensitif dengan hiburan. Begitu terdengar, hiburan itu langsung dijauhinya. Bila memungkinkan, ia menghentikannya.
Sebagian hiburan memang halal. Setiap muslim boleh melakukannya. Batasan hiburan inilah yang sangat perlu diperhatikan. Bila keluar sedikit saja dari batasnya, hiburan ini dapat menimbulkan mudharat. Mati hati itulah akhirnya, demikian Rasulullah SAW mengabarkan.
Orang yang senantiasa waspada memang terlihat aneh di zaman gila ini. Akan tetapi, mereka yakin bahwa mereka tidak aneh di hadapan Allah Ta’ala. Karena ini juga ditujukan untuk Allah Ta’ala.
Bagaimana dengan kita?
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Senin, 27 Februari 2012

Menumbuhkan Alasan Positif


Cerahnya matahari tidak selalu mengawali hari kita, bukan? Mendung dan hujanlah yang terkadang menutupinya. Apalagi, bila hujan dalam kondisi deras. Langit akan berwarna gelap, hampir segelap malam.
Dalam kondisi seperti itu, seperti apakah hati kita? Adakah kita merasakan jengkel yang luar biasa? Ataukah kita tetap biasa?
Kita memang selalu berharap -dan juga diharapkan orang lain- untuk selalu positif. Minimal, kita masih dapat tersenyum. Sehingga, kita masih dapat mencari cara untuk menikmati hidup kita sepanjang hari itu.
Kita mungkin memiliki banyak alasan untuk cemberut. Hujan deras, jalanan licin, sedikit basah, pandangan terbatas, dan hawa dingin merupakan beberapa contohnya. Ini diperparah dengan situasi yang mungkin akan kita hadapi di tempat kerja, seperti terlambat, tidak nyaman bekerja dengan baju basah, hingga kemungkinan mati listrik –yang otomatis akan sedikit banyak menghambat pekerjaan.
Dalam hal ini, kita memiliki satu pembenaran. Ya, kita adalah manusia. Sebagai manusia, tentu ada keinginan-keinginan yang ingin kita capai secara sempurna. Kita menginginkan matahari yang cerah, kendaraan yang berjalan lancar, hingga jalanan yang cukup lengang.
Di sisi lain, kita memiliki satu negasi. Kita adalah hamba Allah Ta’ala. Sebagai hamba, kita tentu perlu bersyukur dalam setiap kondisi. Ini dikarenakan kita yakin bahwa segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya adalah hal baik. Bila terlihat buruk, maka hal itu belum dipahami secara benar. Seiring waktu, dengan tetap mempertahankan rasa syukur, kita mungkin akan menemukan makna positifnya.
Dalam tarikan dua sisi inilah, kita perlu cerdas mengolah sikap dan hidup kita. Dua sisi yang berbeda tidak selalu bermakna bertentangan, bukan?
Allah Ta’ala tentu memiliki hikmah yang mendalam dalam segala hal, termasuk dalam pengolahan dua sisi manusia ini. Minimal, kita memahami bahwa sisi manusiawi mendorong kita untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sementara itu, sisi kehambaan mendorong kita untuk menjaga batas-batas dalam pemenuhan berbagai kebutuhan hidup.
Dengan demikian, bila kita cerdas mengolah dua sisi ini, kita akan mampu terus memenuhi kebutuhan hidup kita dalam jalan yang baik dan benar. Kita akan terbebas dari berbagai perasaan bersalah yang kerapkali tumbuh manakala kesalahan kita perbuat. Muaranya, kita dapat merasakan kebahagiaan yang penuh makna –sebuah kebahagiaan yang benar-benar tumbuh dari dalam, dan akan selalu mendorong kita untuk memiliki sebuah alasan positif terhadap apapun yang kita lakukan.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Kamis, 16 Februari 2012

Setiap Pertumbuhan Pasti Butuh Waktu


Sekuntum bunga membutuhkan waktu untuk mekar. Ini disebabkan tahapan-tahapan yang perlu dilaluinya. Minimal, ada tahapan kuncup, mulai membuka, dan diakhiri dengan mekar sempurna.
Anak ayam juga begitu. Awalnya adalah telur, lalu dierami beberapa waktu, dan akhirnya menjadi anak ayam sempurna. Bahkan, proses pemecahan cangkang telur harus dilakukan oleh anak ayam itu sendiri. Bantuan yang diberikan, atas alasan apapun, hanya memperburuk kondisi anak ayam. Dalam sejumlah kasus, anak ayam mengalami kematian.
Hikmah yang bisa kita ambil antara lain pentingnya kesabaran dalam menumbuhkan kapasitas. Waktu yang dibutuhkan terkadang sangat lama. Akan tetapi, waktu yang diperlukan untuk berkembang seringkali seimbang dengan kekuatan / kebaikan yang dihasilkan. Bila waktu yang diperlukan sangat lama, biasanya kekuatan yang dimiliki juga berumur panjang. Sebaliknya, bila waktu yang diperlukan relatif pendek, kekuatannya pun relatif berumur pendek.
Bila kita menginginkan sesuatu berusia panjang, ada baiknya lebih bersabar. Bahkan, kita harus sangat sabar. Kita juga dituntut telaten dalam perawatan. Sedikit saja penyakit terlihat, kita tidak bisa membiarkan. Kita langsung bertindak –walaupun kemudian, terkadang, perawatannya butuh waktu yang lama.
Oleh karena itu, sebelum kita menanam atau bertindak terhadap sesuatu, ada baiknya, kita menelaah aspek waktu. Bila apa yang kita tanam harus berusia panjang, maka tindakan perawatan jangka panjanglah yang kita pilih. Bisa jadi, kita berkorban banyak hal saat ini. Tetapi, kita bisa optimis, insya Allah, yang dihasilkan akan jauh lebih banyak dari yang dikorbankan.
Inilah yang selalu diusahakan oleh para visioner sejati. Mereka lebih dari sekedar petani. Mereka tidak hanya menanam dan membersihkan, tapi juga menguatkan bagian-bagian tumbuhan yang lemah.
Kita semua sepakat bahwa masa depan akan lebih berat ketimbang saat ini. Ada begitu banyak tantangan yang harus ditaklukkan. Dengan demikian, tidakkah kita perlu visi dan kesabaran yang kuat untuk mulai membangun kekuatan?
Bila ini kita lakukan, insya Allah, tantangan-tantangan yang ada akan berubah menjadi peluang. Selanjutnya, peluang yang dimanfaatkan dapat menjadi batu pijakan menuju lompatan yang lebih tinggi. Semoga kita bisa seperti itu. Amin.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Rabu, 15 Februari 2012

Saling Mendukung dalam Kebaikan


Perempuan itu tidak kunjung menyelesaikan laporan akhir kuliahnya. Akibatnya, ia tidak segera lulus. Ketertundaan ini hampir mencapai satu tahun.
Di tengah-tengah masa ketertundaan ini, seorang pria melamarnya. Sang pria juga ingin segera melangsungkan pernikahan dengannya. Walaupun dirinya telah berkali-kali menolak untuk segera menikah, sang pria tetap teguh pada pendiriannya.
Pernikahan pun terjadi. Tak lama kemudian, dirinya hamil. Tak lama juga, laporan akhirnya rampung dan diujikan. Dia lulus dengan baik.  
Di awal pernikahannya, begitu sang suami tahu bahwa laporan akhirnya tertunda, ia segera mendapat bantuan. Sang suami tidak sekedar membantu teknis, tapi benar-benar menjadi rekan diskusi yang intensif. Waktu penyelesaian laporan akhir pun terbilang cukup cepat.
Inilah salah satu gambaran mutual supportive. Setiap pasangan saling mendukung dalam kebaikan. Sehingga, keduanya dapat berkembang bersama-sama. Tidak ada yang maju sendirian, sementara yang satu tertinggal jauh sendirian.
Mutual supportive juga dapat diwujudkan pada keluarga secara umum –bahkan dalam satu komunitas. Tidak hanya satu anggota keluarga saja yang didukung dan mendukung kebaikan, misalnya ayah atau ibu, tapi semuanya. Ayah, ibu, serta anak-anak, semuanya bergerak memberi dan, secara bersamaan, juga menerima.
Apa yang terjadi bila yang mengalami kemajuan hanya satu orang? Bila yang mengalami kemajuan hanya ayah, maka ayah tidak akan mendapatkan lawan bicara yang seimbang dalam pemikiran. Sehingga, ayah dapat bosan dan bahkan merasakan kesendirian.
Selain itu, ibu dan anak-anak –secara sadar atau tidak- juga dapat mempermalukan ayah. Hal ini karena anggapan orang bahwa ibu dan anak-anak pasti memiliki tingkat pemikiran setingkat ayah. Dalam interaksi sosial, ketika ini diketahui, bukankah sedikit banyak dapat menimbulkan komentar yang kurang sedap?
Bila yang mengalami kemajuan hanya ibu, bisa jadi keluarga akan terlantar. Bukankah ibu dapat menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga dan profesional hanya dengan bantuan ayah dan anak-anak?
Adapun bila hanya anak yang mengalami kemajuan, maka anak bisa jadi terhambat  atau kurang laju kemajuannya. Ini terutama karena orang tua tidak memahami detail kemajuan anak. Dalam beberapa kasus, kemajuan anak bahkan terhenti.
Oleh karena itulah, ada baiknya, setiap orang dalam keluarga berinisiatif untuk terus belajar. Apalagi, bila ada saling belajar –memberi dan menerima ilmu, memancing dan dipancing untuk berkembang, mendorong dan didorong untuk lebih baik.
Inisiatif tidak pelu menunggu dari ayah atau ibu saja. Inisiatif anak-anak pun diapresiasi. Karena kebaikan bisa datang dari mana saja, bukan?
Cinta belajar, kemajuan, dan kebaikan adalah awalnya. Akhirnya, setiap orang dapat selalu menampilkan hal-hal terbaiknya dalam kehidupan ini. Tentu saja, ini tidak dilandasi pamer, tapi kesyukuran kepada Allah Ta’ala.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Selasa, 14 Februari 2012

Mewariskan Kemandirian dan Ketegaran Hidup


Mereka dulu kaya, kini jauh berubah. Mereka dulu terbiasa hidup mewah, kini hidup dalam keprihatian. Yang lebih memberatkan adalah penyakit berat yang menggerogoti tubuh salah seorang anggota keluarga.
Perubahan yang terjadi, sebenarnya, tidak langsung drastis. Setahap demi setahap, perubahan itu terjadi. Setiap orang yang memiliki kepekaan dapat merasakannya.
Tahapan pertama adalah berkurangnya kapasitas bisnis sang ayah. Omset bisnis yang tadinya bernilai puluhan juta perbulan, saat itu sudah mulai menurun hingga jutaan saja. Bahkan, lama kelamaan, semakin menipis.
Tahapan kedua adalah bekerjanya anak-anak keluarga itu di berbagai sektor. Akan tetapi, anak-anak itu bekerja tanpa rintisan karier. Keluar-masuk pekerjaan merupakan berita yang sering terdengar dari anak-anak itu.
Tahapan ketiga adalah wafatnya sang ayah. Ini merupakan momentum penutup. Hampir tidak ada harta warisan tersisa, sementara kemandirian karir anak-anak dalam keluarga itu pun belum terbentuk. Kepiluan, perasaan inilah yang terasa diwariskan.
Mengapa ini semua terjadi? Kebanyakan kita pasti sudah tahu jawabannya. Karena fenomena semacam ini sangat sering terjadi di masyarakat. Anak-anak dimanjakan, dihindarkan dari tanggung jawab dan kepahitan hidup, sekaligus dibuat bergantung sepenuhnya pada orang tua. Mereka hampir tidak pernah belajar kemandirian. Sehingga, mereka, di kala dewasa, tergagap. Hasilnya, mereka tak mampu meraih apa yang telah diraih oleh orang tua mereka.
Hal inilah yang sangat penting untuk direnungkan. Kemandirian dan ketegaran menjalani hidup merupakan dua hal yang sangat penting untuk diajarkan serta dilatihkan kepada anak-anak. Mereka perlu memahami bahwa kehidupan mereka adalah tanggung jawab mereka. Bila ada bantuan dari orang lain, itu bukanlah sesuatu yang permanen. Pada suatu saat, bila bantuan itu tidak diberikan, mereka tidak bisa bersikap negatif. Mereka harus tetap menyelesaikan segala sesuatu yang menjadi tugas mereka.
Memang, anak-anak perlu waktu yang panjang dan bantuan yang besar dari orang tua untuk menjadi mandiri dan tegar. Ini berarti orang tua perlu terus membantu, sembari perlahan-lahan melepas bantuan tersebut. Dengan demikian, secara bertahap kemandirian dan ketegaran anak-anak dapat tumbuh dengan baik. Anak-anak pun tidak merasakan perubahan yang ekstrem dalam kehidupan mereka. Insya Allah, kehidupan emosional mereka pun terjaga –bahkan berkembang dengan sangat baik.
Dapat dikatakan, orang tua adalah profesi yang paling berat di dunia ini. Visi yang kuat, pengendalian emosi yang baik, serta pengetahuan yang terus bertambah, merupakan syarat mutlak. Ketiganya bukanlah hal yang mudah. Apalagi, kesibukan kerja dan karir sering mempersempit kesempatan menambah bekal sebagai orang tua.
Di titik inilah, setiap orang tua perlu berhenti sejenak, sembari bertanya, “Mampukah setiap anggota keluarga terus berkembang dengan penuh kemandirian, sepanjang mereka hidup, sepanjang mereka berkemampuan?”
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)