Selasa, 13 Maret 2012

Menghargai Pendahulu


Seorang anak yang tumbuh menuju keremajaan biasanya mengalami tekanan psikologis yang cukup berat. Badan yang tadinya kecil mulai membesar. Tekanan sosial yang tadinya hampir tiada, kini semakin menguat. Tadinya, mungkin, ia dibiarkan bermain-main. Akan tetapi, beranjak remaja, ia dituntut untuk lebih berpikir matang dan berkontribusi pada kehidupan sosial.
Begitu pula ketika seorang remaja menuju kedewasaan. Ia akan menemukan begitu banyak hal baru, dan juga tuntutan baru. Saat ini, ia dituntut lebih berkontribusi lagi dalam kehidupan sosial. Bahkan, mungkin memimpin sebuah perkumpulan / komunitas. Paling tidak, bagi seorang lelaki, ia diharapkan mampu memimpin perkumpulan yang bernama keluarga.
Hidup memang terus melaju kea rah depan. Kecil menjadi besar, muda menjadi tua, dan yang sejenisnya. Demikian Allah Ta’ala telah membuat ketetapan.
Satu hal yang sangat perlu digarisbawahi adalah menjaga keseimbangan hidup dalam fase kehidupan yang baru. Seorang anak kecil memiliki batasan yang longgar berkaitan dengan lawan jenis. Akan tetapi, ini sangat berbeda dengan seorang remaja yang memiliki batasan cukup ketat berkaitan dengan lawan jenis. Pada contoh yang lain, seorang bujang yang telah menikah tentu memiliki batasan-batasan yang lebih berat setelah menikah.
Pengetahuan dan pemahaman terhadap peran-peran  dan tugas-tugas sosial pada fase kehidupan berikutnya merupakan bekal yang sangat penting untuk dimiliki. Ibarat hutan belantara, tanpa kompas, tentu kita akan tersesat dengan mudah.
Selain itu, ada satu hal lagi yang sangat penting, yakni penghargaan pada orang yang lebih dulu menjalani fase kehidupan berikut. Anak muda perlu menghargai orang tua, bujang perlu menghargai orang yang sudah menikah, staf perlu menghargai pimpinan, dan lain sejenisnya. Sekilas, penghargaan tidak memberikan efek apapun. Bahkan, penghargaan dapat dianggap sebagai upaya pengekalan budaya senioritas –yang lebih bawah tingkatannya mengutamakan yang lebih tinggi.
Akan tetapi, bila direnungkan lebih dalam, sesuatu yang bernilai dapat menjadi pembenaran. Bukankah mereka yang lebih dulu menapaki jalan telah memiliki kesan? Lalu, bukankah kesan dapat berubah atau meningkat menjadi pelajaran mental?
Memang, mereka yang lebih dulu menempuh jalan tidak selalu benar. Ada kesalahan-kesalahan yang dilakukan. Akan tetapi, bukankah ada baiknya bila kesalahan-kesalahan itu diambil hikmahnya guna menjadi pedoman?
Ya, perlu diakui, ada sesuatu yang sulit diterima: senioritas belum tentu benar. Dan satu pertanyaan yang bisa ditanyakan: akankah kesalahan yang sama akan diulang kembali?
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman) 

Senin, 05 Maret 2012

Menyelami Hidup, Menyeimbangkan Hidup


Para penceramah sering menyampaikan sindiran, “Betapa banyak orang yang memiliki harta, tapi tidak bisa merasakan nikmatnya. Mereka memiliki rumah, tapi yang tinggal di situ adalah pembantu. Begitu pula dengan kendaraan, para supirlah yang lebih sering menggunakannya. Kepergian ke luar kota atau luar negeri membuat orang-orang kaya ini meninggalkan dan menitipkan hartanya kepada para pembantu dan supir ... dan yang lebih tragis lagi, mereka mampu membeli makanan-makanan lezat, tapi mereka dilarang dokter untuk merasakan makanan-makanan tersebut.”
Memang, sindiran dan sekaligus nasehat itu klasik. Selain itu, pengulangannya sangat sering terjadi. Sehingga, beberapa orang yang bosan menimpali, “Kalau begitu, mari kita jadi orang kaya dan bisa menikmatinya.”
Menjadi orang kaya dan sekaligus bisa menikmati kekayaan merupakan harapan orang kebanyakan. Sedikit sekali orang yang menolak ini sebagai mimpinya. Apalagi, agama memperbolehkannya. Bahkan, menurut sejumlah pendapat, menjadi kaya merupakan anjuran. Bagaimana mungkin kita bisa bersedekah bila kita miskin?
Kita bisa setuju ataupun tidak setuju dengan pemahaman tersebut. Yang jelas, insya Allah, kita sepakat bahwa hidup seimbang merupakan sesuatu yang baik. Kita memiliki iman yang bisa menguatkan dan memandu kehidupan, harta yang bisa mensejahterakan, serta perilaku baik yang bisa membuat orang lain aman dan nyaman.
Lalu, kita menemukan dua pertanyaan: Bagaimanakah cara meraih dan cara merawatnya? Bukankah harta lebih sering membuat kita lalai terhadap urusan spiritual, sementara urusan spiritual sering membuat kita enggan memikirkan harta? Intinya, bukankah keduanya saling bertentangan, tidak mungkin bersatu?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu menelaah satu pertanyaan retoris: Bukankah sebelum mati, seseorang hidup terlebih dahulu?
Maknanya, ada begitu banyak hal yang sebenarnya menyatu secara hakiki. Kitalah yang masih perlu belajar untuk memahami hakikat semua ini, sehingga mampu membuat hubungan-hubungan yang tersambung. Sekali saja, kita mampu membuat ketersambungan, insya Allah, kita akan mampu hidup dengan seimbang.
Dengan demikian, belajar dan menyelami hakikat hidup merupakan langkah awal. Inipun perlu dilakukan terus menerus, dan sekaligus membutuhkan waktu yang lama. Berbagai momen atau peristiwa yang dijalani merupakan mozaik-mozaik yang butuh dibingkai untuk mendapatkan satu gambaran besar yang utuh –yang dengan gambaran utuh itu, kita benar-benar mendapatkan hakikatnya.
Di sinilah, ketekunan dan ketahanan kita diuji. Seberapa kuat jiwa kita bertahan atas serangan hidup yang terus menerus?
Kerendahan hati kita pun diuji. Karena terkadang pelajaran datang dari orang yang remehkan. Dengan kerendahan hati, tentu kita dapat meraih semua yang bermanfaat itu.
Maka, sudahkah kita memetik pelajaran hari ini?
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Kamis, 01 Maret 2012

Agar Keburukan Tidak Semakin Buruk


Ketika kaki kita tertusuk paku tiba-tiba, perkataan apakah yang kita ucapkan? Kita memahami bahwa perkataan baik yang disampaikan tiba-tiba dapat menjadi indikator kebaikan jiwa seseorang. Semakin cepat ucapan yang dikeluarkan dan semakin dalam penghayatan akan ucapan itu, dapat dipastikan semakin kuat keyakinannya terhadap nilai-nilai kebaikan.
Kejadian tiba-tiba merupakan satu ujian berat. Karena jiwa kita terkadang dalam kondisi lalai. Apalagi, bila segala sesuatunya berlangsung lancar.
Kondisi lalai ini akan semakin parah bila sikap kufur nikmat telah meresap dalam jiwa kita. Nikmat-nikmat Allah Ta’ala kita abaikan begitu saja. Motor yang tidak bocor di pagi hari sebelum berangkat kerja, jalanan lancar tanpa kendala, cuaca cerah tanpa rintik hujan, dan yang sejenis itu sangat jarang kita syukuri secara mendalam. Bukankah orang bisa stres berat bila kunci motor tidak kunjung diketemukan, padahal pada saat itu, motor tersebut sangat dibutuhkan?
Di kehidupan sekitar kita, kita menemukan banyak sekali kejadian tiba-tiba ini. Bendungan yang tiba-tiba hancur, jembatan yang tiba-tiba runtuh, dan bukit yang tiba-tiba longsor merupakan beberapa contoh. Tentu saja, contoh lainnya masih bisa disebutkan.
Benar sekali, seringkali sebuah ujian diawali oleh gejala-gejala, terutama gejala perilaku orang-orangnya. Bukankah gejala perilaku berbohong dapat berlanjut pada pengurangan kualitas kerja, yang berakhir pada hancurnya hasil kerja dengan cepat?
Ini berarti penguatan mental spiritual masyarakat sangat perlu dilakukan. Tidak hanya sesaat saja, tapi ini dilakukan terus menerus. Karena waktu yang diperlukan sangat lama. Apalagi, tahapan-tahapannya membutuhkan kesabaran yang luas.   
Pembangunan mental spiritual perlu dilakukan secara proaktif. Bila pembangunan mental spiritual ini dilakukan ketika atau paska adanya suatu kasus, hampir dapat dipastikan itu semua telah terlambat.
Edukasi dan penyebaran informasi perlu terus dilakukan. Sehingga, internalisasi dapat terus terjadi. Ini selain mencegah pada gejala-gejala perilaku yang merusak, juga penting dalam menguatkan jiwa ketika musibah datang. Potensi stres dan akibat-akibat destruktifnya dapat berkurang.
Sungguh, kita selalu memiliki keterbatasan. Allah Ta’ala sering menyimpan rahasia-Nya, dan sering pula membuka rahasia tersebut dengan tiba-tiba. Maka, apakah kita telah bersiap?
Semoga, dengan persiapan itu, sebagaimana telah disebutkan, kita dapat melakukan dua hal sekaligus: mencegah kerusakan yang sangat mungkin kita lakukan serta respon buruk suatu keadaan. Amin, amin, amin yaa rabbal ‘alamin.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)