Selasa, 31 Januari 2012

A Boy with Tears Every Afternoon


 A boy walks with tears
every afternoon
He wishes the sun stay
in the sky
He loves the sun
very much,
limitless

The sun is big lamp
That is the boy’s mind

Lamp gives light
Without lamp, night is dark
The boy hate dark

Dark is scared
Dark is empty
Dark is voiceless
Dark is bad dream

A boy always walks with tears
every afternoon
He never meets his mother

Rabu, 25 Januari 2012

Kesadaran Spiritualitas


Ada gurat penyesalan yang jelas di wajahnya. Semangat dan ambisi yang tinggi terlihat meredup. Sakit yang menimpanya memang mengejutkan. Bukan hanya dirinya saja, orang-orang di sekitarnya juga merasakan hal yang sama.
Dia memang dikenal sebagai pimpinan yang penuh semangat dan ambisi. Seluruh gerak aktivitasnya diakui banyak orang sebagai langkah-langkah berani dan penuh energi. Penghormatan dan rasa segan pun disematkan padanya. Ketenaran juga melekat pada dirinya.
Akan tetapi, dirinya kini memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Perubahan itu hampir seratus delapan puluh derajat. Karena saat ini, ia sangat memperhatikan sesuatu yang dulunya dianggap biasa –sesuatu yang sebenarnya sangat fundamental dalam kehidupan ini.
Dia memang sedikit melalaikan kegiatan-kegiatan spiritual. Ibadah-ibadah yang seharusnya diperhatikan, diletakkan dalam prioritas yang cukup rendah. Adapun di prioritas pertama, ia meletakkan kegiatan-kegiatan profesionalnya –dan juga mimpi-mimpinya.
Kepada orang muda yang menengoknya, ia menyampaikan satu pesan. “Ingatlah kegiatan-kegiatan spiritual,” katanya. “Seringkali kita mengagungkan rasionalitas, dan mengabaikan kegiatan-kegiatan spiritual. Tapi, kita baru tersadar, manakala maut mulai terasa dekat.”
Kita mungkin setuju, dan mungkin juga tidak setuju dengan beliau. Karena ini urusan perasaan dan keyakinan. Pengalaman orang berbeda-beda. Kesimpulan yang dihasilkan pun dapat berbeda-beda.
Satu hal yang dapat kita sepakati adalah kepastian kematian dalam kehidupan manusia. Setiap orang pasti mati. Tidak ada satupun yang dapat menghindarinya.
Yang menjadi PR kita masing-masing adalah penyikapan yang tepat terhadap kematian. Disebutkan ‘penyikapan yang tepat’, karena ada penyikapan yang sangat salah. Sebagai misal, kita bisa mengajukan anggapan salah pada orang-orang yang bunuh diri. Bagi mereka, kematian adalah akhir dari segalanya. Tidak ada lagi rasa sakit, kecewa, dan hal-hal buruk lainnya. Tutup buku, mungkin itu anggapan mereka.
Padahal, kita tahu bahwa kematian bukan akhir segalanya. Bukan saja bagi yang mati, kematian juga bisa menjadi awal bagi yang hidup –yakni keluarga yang ditinggalkan. Bila kematian seseorang adalah kematian yang baik, maka nama keluarga dapat terangkat. Sebaliknya, bila kematiannya buruk, nama keluarga tentu akan tercoreng.
Sekarang ini, bagaimana bila kita fokus untuk mengingat orang-orang di sekitar kita? Mari membayangkan wajah-wajah mereka! Dapatkah kita membedakan orang-orang yang positif dan negatif? Bagaimana pandangan orang-orang positif terhadap kematian, dan bagaimana pandangan orang-orang negatif terhadap kematian?
Kita tentu memiliki gambaran. Kita pun dapat menyimpulkan bahwa orang-orang positif, –seperti apapun perbedaan pandangan di antara mereka, cenderung memiliki pandangan yang relatif positif terhadap kematian. Di sisi lain, pandangan positif terhadap kematian ini juga memberikan imbas yang cukup signifikan pada kehidupan mereka. Minimal, ada imbas pada kehidupan pribadinya.
Pada akhirnya, kitalah yang memilih, apakah kita akan meningkatkan spiritualitas kita ataukah hanya cukup dengan apa yang sudah ada. Yang pasti, kitalah yang akan menanggung semua konsekuensinya, dan kita pulalah yang akan mempertanggungjawabkannya.
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Kamis, 19 Januari 2012

Niat Yang Baik, Cara Yang Baik


Seorang pria terburu-buru menuju shaf depan. Ia terlambat mendatangi majelis Shalat Jum’at. Entah karena tidak tahu atau tidak sengaja, ia melewati orang yang sedang shalat.
Kita yakin dia memiliki niat baik. Dia tentu ingin shalat di shaf sedepan mungkin. Bahkan, jikalau bisa, ia shalat di belakang imam.
Di sisi lain, kita prihatin dengan perilakunya yang kurang hati-hati. Larangan seorang muslim melewati muslim lain yang sedang shalat seharusnya diketahui dan dilaksanakan. Hal ini dikarenakan larangan ini termasuk larangan yang keras. Rasulullah SAW lewat sabdanya sangat menekankan hal ini.
Niat yang baik, dapat kita simpulkan, tidak otomatis membebaskan berbagai cara. Selalu ada bingkai aturan pada caranya. Jika memang tidak memungkinkan mencapai tujuan dari sebuah niat, ada baiknya mengubah niat –sembari berharap bahwa tujuan yang diniatkan ini akan terwujud di kemudian hari.
Kita bisa bayangkan peristiwa apa saja yang akan terjadi bila tujuan baik membebaskan berbagai cara. Hasilnya mungkin tercapai, tetapi peristiwa-peristiwa buruk bisa sangat mudah ditemukan pada prosesnya.
Alhasil, cara kita mencapai sesuatu perlu ditinjau. Selama ini, tanpa disadari, kita mungkin telah melakukan banyak hal yang salah meskipun niat kita sangat mulia. Bila kita berniat baik, tetapi banyak hal buruk yang terjadi bersama dengan pelaksanaan niat kita ini, bisa jadi cara kita telah salah –sekecil apapun kesalahannya.
Kita bisa mengakui hal ini dengan besar hati. Kita berharap ada perbaikan di tahap selanjutnya. Kita bisa belajar kembali, merenungkan kembali, lalu menemukan cara-cara baru yang lebih benar dan proporsional.
Mengubah kebiasaan memang sulit. Akan tetapi, selalu ada jalan dalam niat yang kuat. Kita bisa memilih dan memilah cara baik yang bisa kita tempuh. Selanjutnya, kita bisa menetapi jalan perubahan setahap demi setahap.
Mengapa setahap demi setahap? Karena hidup ini penuh dengan tahapan. Anak kecil perlu sejumlah tahapan sebelum mencapai kedewasaan. Biji yang kecil dan kelihatan tidak berarti perlu waktu bertahun-tahun untuk tumbuh menjadi pohon yang kokoh.
Allah SWT juga mengajarkan kita untuk menjalani hidup ini dengan tahapan-tahapannya. Minimal, kita mengetahui bahwa Allah SWT menciptakan langit dan bumi dalam waktu beberapa hari. Tentu saja, Allah SWT bisa menciptakan dalam waktu sekejap. Akan tetapi, manusia mungkin perlu diajari langsung lewat peristiwa, sehingga lebih meresap.
Pada akhirnya, kita bisa membuka mata dan telinga kita lebar-lebar. Sehingga, kita bisa mendengar dan melihat cara-cara baru dalam kehidupan kita. Lalu, kita bisa memilahnya dan menjalankan yang terbaik. Dengan demikian, kita bisa berharap, hidup kita akan semakin baik, dan akan berakhir pula dengan baik.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Selasa, 17 Januari 2012

Anak Kita, Bagaimanakah Kita Bicara Kepadanya?


Jika anak dibesarkan dengan celaan,
ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,
ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,
ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian,
ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan,
ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,
ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan,
ia belajar menyenangi dirinya
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan
ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan 

(Sebuah puisi dari Dorothy Law Nolte, dikutip dari "Psikologi Komunikasi", Jalaludin Rakhmat)

Senin, 16 Januari 2012

Dusta demi Citra


Ada dua orang membawa makanan yang berbeda. Orang pertama membawa makanan basi, sementara orang kedua membawa makanan yang baru dimasak dengan bahan yang terlihat segar dan sehat. Makanan mana yang akan kita pilih?
Akan tetapi, orang yang membawa makanan basi tersebut adalah orang yang selalu bermuka dan berkata manis kepada kita. Muka masam hampir tidak pernah terlihat di wajahnya. Bagaimana, apakah ini layak jadi pertimbangan?
Sebagian kita mungkin tidak akan mempertimbangkan muka manis. Bahkan, bisa jadi, cap munafik segera tertempel pada dirinya. Bagaimana mungkin kata dan perbuatan berbeda?
Sebagian kita mungkin akan menimbang lebih jauh. Dia mungkin lupa atau tidak sengaja. Penelurusan lebih dalam mungkin akan dilakukan.
Yang jelas, kita akan sama-sama sepakat bahwa kesatuan kata dan perbuatan adalah hal esensial dan fundamental dalam hidup. Tanpa kesatuan dua hal ini, kejujuran menjadi tiada. Yang ada adalah kebohongan belaka –sesuatu yang sangat menjengkelkan, bahkan bagi sebagian orang, sangat menjijikkan.
Dalam hal ini, ada sebagian orang berpendapat bahwa berkata sedikit merupakan hal baik. Karena setiap kata akan dimintai pertanggungjawabannya. Bila kita tidak dapat membuktikannya, maka stempel pembohong –bahkan munafik- dapat mudah tertempel pada diri kita.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa tidak ada batasan pada perkataan. Yang penting adalah kesadaran akan tanggung jawab dari setiap kata yang kita keluarkan. Semboyan yang perlu diperhatikan, “Berpikirlah sebelum berkata, agar kata tidak jadi penyesalan di kemudian hari.”
Ya, benar sekali. Kedua pendapat tersebut memiliki kesamaan dan penekanan yang sama pada aspek tanggung jawab. Yang kita katakan akan kita realisasikan. Bila yang kita katakan merupakan hal yang berat, ada baiknya disimpan saja dalam hati.
Satu halangan terbesar untuk menyimpan kata-kata dalam hati adalah rasa takut: takut dianggap tidak intelek, takut dianggap tidak visioner, takut dianggap tidak patuh, takut dicap tidak setia kawan, dan takut-takut lainnya.
Bila dibiarkan liar, rasa takut negatif ini akan menghancurkan rasa takut terhadap perhitungan Hari Akhir. Selanjutnya, pembicaraan menjadi bebas lepas, tanpa ada rasa khawatir terhadap gunungan tuntutan ukhrawi yang semakin besar.
Dalih pembenaran juga terus meluncur. Logika yang berantakan diabaikan. Sesekali, jalinan pertemanan dengan orang baik dilakukan, tapi sarat kepentingan. Bila kepentingan selesai, jalinan pertemanan juga selesai.
Di titik ini, semakin banyak orang yang sadar tentang semua kebohongan yang sudah terjadi. Akhirnya, hanya ada dua pilihan yang bisa dilakukan: bertaubat dari perilaku berbohong ataukah membiarkan perilaku berbohong menjadi watak yang paling kentara? 
Wallahu a'lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Minggu, 15 Januari 2012

Bersiap Menghadapi Badai Rumah Tangga


Suami istri itu menemui orang tua sang istri. Ada wajah sendu tergambar. Beban berat jelas terlihat. Semua itu mengawali perbincangan tentang kehidupan keluarga yang sedang terkena badai.
Setiap orang menyetujui bahwa badai rumah tangga akan datang sekali waktu. Meskipun tidak diharapkan, badai rumah tangga telah ditetapkan sebagai salah satu sunnatullah. Yang perlu dilakukan adalah pengelolaan yang baik agar rumah tangga tetap stabil.
Badai rumah tangga memang selalu berat. Ibarat berdiri di pinggir pantai dengan hembusan angin yang kencang, ada dua ancaman sekaligus di sana. Angin yang bisa merobohkan tubuh kita, sekaligus ombak laut yang mampu menyeret kita ke lautan lepas.
Itu jugalah yang mengguncang rumah tangga kita. Ada dua hal yang biasanya menyertai konflik rumah tangga. Yang pertama adalah masalah awal yang memicu konflik, sementara yang kedua adalah masalah lain yang lebih dalam sebagai rentetan dari masalah awal.
Sebagai misal, masalah yang menjadi pemicu bisa jadi hanyalah perbedaan selera makanan. Akan tetapi, merembet menjadi masalah perbedaan dalam selera interior dan liburan. Bila dibiarkan, kita tentu bisa menebak ke arah mana rumah tangga itu akan meluncur.
Inilah salah satu penyebab pentingnya evaluasi diri di setiap fase kehidupan rumah tangga. Ada penilaian yang terus menerus. Penilaian ini diharapkan objektif. Bisa saja, setiap pasangan menilai dirinya sendiri, saling menilai, ataupun menilai rumah tangga mereka secara keseluruhan. Alternatif lainnya, meminta pihak ketiga yang lebih kompeten untuk memberikan nasehat. Semuanya diharapkan bermuara pada diketemukannya titik lemah rumah tangga yang bisa diperbaiki sebelum terlambat.
Bila kita tarik mundur lagi, maka kita menemukan kebutuhan setiap orang untuk bersiap sebelum membangun rumah tangga. Ada persiapan spiritual, emosional, intelektual, dan juga material. Dengan demikian, semuanya sudah siap sebelum badai rumah tangga itu menderu. Lebih baik lagi, apabila bekal-bekal antisipasi badai rumah tangga telah cukup dimiliki.
Apakah badai rumah tangga dapat diantisipasi? Guna menjawabnya, kita dapat mengamati fenomena badai di bumi ini. Memang, kedua jenis badai itu tidaklah sama persis. Minimal, kita memiliki pijakan yang cukup kokoh.
Badai di bumi dapat diramalkan. Ada sejumlah indikasi cuaca yang bisa digunakan. Memang, ramalan ini tidak selalu tepat. Akan tetapi, persiapan yang baik dapat mengurangi bencana besar, kan?
Badai rumah tangga juga memiliki gejala awal. Ada berkurangnya intensitas komunikasi. Ada bahasa-bahasa sindiran –yang lahir dari berkurangnya minat terhadap komunikasi terbuka. Ada juga berkurangnya intensitas pelayanan setiap pasangan kepada pasangannya.
Bila didaftar, gejala awal badai rumah tanggi bisa lebih panjang. Yang paling pokok adalah kegesitan setiap pasangan untuk menghindarinya. Tentu saja, usaha penghindaran ini dilakukan proaktif oleh dua belah pihak, istri dan suami. Dengan demikian, upaya penghindarannya menjadi semakin efektif dan efisien.
Semoga Allah Ta’ala memudahkan setiap rumah tangga dalam mengelola badai rumah tangganya, amin.
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)