Rabu, 30 November 2011

Memperhatikan 'Isi' Diri Kita Secara Seimbang

Bendanya kecil dan ringan. Akan tetapi, perannya sangat besar. Kita membutuhkannya untuk membuka pintu atau apapun yang terkunci. Ya, itu adalah anak kunci.
Benda ini, secara umum, dimanjakan oleh pemiliknya. Paling tidak, aksesoris yang berkaitan dengannya terus membanjir di pasaran. Ada yang berukuran mungil, besar, halus, kasar, berwarna lembut, ataupun berwarna mencolok. Ada juga yang mirip boneka –bentuk dan juga bahannya. 
Seseorang bisa stres manakala kunci tidak diketemukan, padahal ada kepentingan mendesak. Tidak jarang, seseorang stres sebelum berangkat aktivitas, karena kunci kendaraan tidak kunjung diketemukan.
Peran kunci yang penting membuatnya memiliki tempat khusus. Paling tidak, ada sebagian orang yang memberikan tempat khusus, bisa berupa paku di dinding, kotak di meja, ataupun laci di lemari. Pemiliknya juga cenderung berdisiplin ketat tentang penyimpanan kunci ini, dan juga memberikan pengetatan kepada orang lain. Selesai pakai, kunci bisa disimpan di tempatnya kembali.
Peranan kunci yang begitu penting ini memberikan satu inspirasi kepada kita: Sesuatu itu tidak hanya dilihat dari wujud fisiknya, tapi lebih pada fungsinya. Ada hal yang lebih mendasar ketimbang hanya tampilan luarnya.
Dengan demikian, bagaimana jika kita mulai memperhatikan ‘isi’ dan ‘fungsi’ diri kita? Apakah sudah baik?
Biasanya, isi diri seseorang dikaitkan dengan intelektualitasnya. Dia cerdas dan terus mengikuti perkembangan zaman. Anggapan ini mendorong banyak orang untuk membaca buku dan media massa.
Di sisi lain, ada yang menyatakan bahwa isi diri seseorang dilihat dari emosionalnya. Ia orang yang tenang dalam kondisi apapun, termasuk dalam situasi yang genting.
Ada juga yang menyatakan bahwa isi diri seseorang dilihat dari konsistensi beribadah. Ia juga memperhatikan ajaran-ajaran agama, perintah dan larangannya. Ia kokoh memegang prinsip-prinsip agamanya.
Kalau kita dalami, isi diri manusia terdiri dari banyak aspek. Ibaratnya, aspek-aspek kedirian ini adalah bata untuk sebuah bangunan yang bernama ‘manusia’. Jika satu aspek kedirian ini hilang atau kurang berkualitas, seluruh bangunan kemanusiaan kita juga kurang baik.
Jika membangun kesempurnaan diri adalah mustahil, maka kita masih memiliki peluang untuk membangun keseimbangan. Karena bila fokus kita adalah keseimbangan, kita dapat terus menjalani hidup dengan stabil. Kita dapat memperbaiki aspek diri yang kurang, seiring dengan peningkatan aspek diri yang lain. Sebagai misal, kita dapat terus memperbaiki emosional kita, seiring dengan peningkatan spiritual kita. Bahkan kita yakin bahwa perbaikan spiritual akan memberikan dampak yang cukup besar kepada emosional.
Baiklah, bagaimana jika kita mulai hidup seimbang?
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Selasa, 29 November 2011

Asahlah Gergaji, Lakukan Pengembangan Diri

Hiduplah seorang penebang pohon. Setiap harinya, ia menebang pohon dengan gergaji. Hingga pada suatu hari, pohon yang ditebangnya tidak juga runtuh. Ia pun pantang menyerah. Ia terus menjalankan gergajinya. Akan tetapi, pohon itu tidak juga tumbang.
Ia pun berhenti. Ia memeriksa gergajinya. Apa yang kemudian disadari olehnya? Gergajinya tumpul. Pantas saja, pohon yang digergaji tidak mau tumbang.
Ia pun mengasah gergajinya. Meskipun perlahan, ia terus melakukannya. Hingga, gergajinya sudah siap digunakan.
Inilah satu permisalan yang dibuat oleh Stephen Covey, seorang ahli manajemen SDM, dalam hal pengembangan diri. Manusia, menurutnya, membutuhkan waktu sejenak untuk berhenti dari aktivitas harian. Waktu sejenak ini tentu tidak diisi dengan hal sia-sia, tapi diisi dengan evaluasi dan peningkatan kapasitas diri. Dengan demikian, masalah yang muncul di masa datang dapat dihadapi dengan mudah.
Ada sejumlah orang yang mengabaikan pentingnya pengembangan diri. Menurut mereka, masalah-masalah yang dihadapi adalah masalah yang sama. Ada pengulangan masalah setiap harinya.
Sementara itu, sejumlah orang menyatakan bahwa masalah yang sama tidak dapat dihadapi dengan cara yang sama, bila kita menginginkan kualitas yang lebih baik. Menurut mereka, munculnya masalah yang sama sudah menunjukkan ketidakmampuan antisipatif. Apalagi, bila masalah yang sama memiliki bobot yang lebih berat.
Oleh karena itu, masih menurut mereka yang pro-pengembangan diri aktif, pengembangan diri mutlak dibutuhkan. Dengan demikian, hidup tidak akan berkutat pada masalah yang itu-itu saja, tapi masalah baru yang jauh lebih menantang. Inilah, menurut mereka, hidup yang progresif.
Pengembangan diri memang butuh dana dan waktu yang banyak. Selain itu, terkadang, hasilnya tidak langsung nampak. Ada waktu yang diperlukan untuk ‘mendialogkan’ hasil latihan pengembangan diri dengan realitas harian. Selain itu, perlu juga ‘dialog’ antara hasil latihan pengembangan diri saat ini dengan yang dulu.
Inilah yang membuat banyak orang tidak sabar. Mereka menganggap hasil latihan pengembangan diri dapat mengubah hidup secara instan. Apalagi, bila berbicara modal dana, mereka lebih tidak sabar lagi.
Yang membuat kondisi lebih buruk adalah janji yang ditawarkan oleh kegiatan-kegiatan latihan pengembangan diri. Banyak sekali yang menawarkan hasil instan. Padahal, segala sesuatu dalam hidup ini membutuhkan proses bertahap.
Permasalahan waktu dan dana dalam pengembangan diri dapat dijawab dengan sejumlah langkah. Pertama, ada skema pengembangan diri yang baik. Tahapannya tertata rapih. Setiap tahapan memiliki deskripsi yang jelas. Kedua, ada struktur waktu yang juga jelas. Satu tahapan mungkin butuh waktu relatif sebentar, sementara tahapan yang lain butuh waktu relatif lama. Hal ini tergantung pada bobot sebuah tahapan. Ketiga, ada evaluasi yang rinci berbasis indikator yang juga rinci.
Ketiga langkah ini diharapkan dapat menghasilkan pengembangan diri yang berdampak besar. Bukan hanya berdampak pada keuangan saja, tapi lebih jauh, pada kualitas kehidupan secara keseluruhan. Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Senin, 28 November 2011

Rinci Menilai Diri

Apa yang akan kita rasakan bila ada yang mengomentari kita, “Dia itu jelek. Pokoknya jelek.”
Mungkin di antara kita yang bertanya, “Benarkah tidak ada kebaikan sedikitpun dalam diri kita?”
Lalu, kita mungkin akan mengutip sebuah pepatah terkenal, “Tidak ada orang yang sempurna di dunia ini.”
Memang benar, tidak ada satupun manusia yang benar-benar sempurna di dunia ini. Selalu ada sisi diri yang baik, yang berarti pula selau ada sisi diri yang buruk –atau belum baik.
Dengan demikian, ada baiknya kita menilai diri –baik diri kita maupun orang lain- dengan penilaian yang rinci. Ada sejumlah aspek yang perlu diperhatikan.
Sejumlah aspek tersebut antara lain:
1.   Spiritual
2.   Emosional
3.   Intelektual
4.   Sosial
5.   Finansial
6.   Profesional
7.   Fisik

Guna melengkapi aspek-aspek tersebut, kita perlu memiliki indikator-indikator penilaian. Kita bisa menyusunnya seperti ini:
1.      Spiritual
a.   Memiliki kesadaran akan adanya kekuasaan Allah SWT terhadap kehidupan ini.
b.   Memiliki nilai-nilai moral yang dipegang dengan sangat teguh.
c.    Memiliki sejumlah amalan ibadah tambahan yang dijaga, seperti shalat dhuha dan sejenisnya.
d.   Memiliki motivasi ukhrawi yang baik.
2.      Emosional
a.   Memiliki kestabilan diri.
b.   Memiliki kendali diri dalam menghadapi amarah dan masalah.
c.    Mampu memberikan pengaruh ketenangan kepada teman-temannya.
d.   Mampu memimpin teman-temannya dengan baik.
3.      Intelektual
a. Memiliki sejumlah konsep yang konsisten terhadap alam dan berbagai fenomenanya (termasuk fenomena sosial).
b.   Memiliki sistematika berpikir yang baik.
c.    Biasanya memiliki keterampilan membaca dan menulis dengan baik.
d.   Mampu menghasilkan pemikiran yang solutif.
4.      Sosial
a.   Memiliki kepedulian sosial yang baik.
b.   Mudah meminta dan memberikan maaf kepada orang lain.
c.    Lebih memilih jalan damai ketimbang konflik.
d.   Mempertimbangkan aspek sosial kemanusiaan dalam penyelesaian berbagai masalah.
5.      Finansial
a.   Memiliki pengaturan keuangan yang baik.
b.   Memiliki hasrat investasi.
c.    Memiliki pengembangan keuangan yang baik.
d.   Mengatur sirkulasi hutang dengan baik.
6.      Profesional
a.   Memiliki kinerja yang baik.
b.   Memiliki pengembangan kinerja dan produktivitas yang baik.
c.    Berinvestasi pada profesinya.
d.   Mengikuti wacana yang berkembang di bidang profesinya.
7.      Fisik
a.   Ada inner-beauty yang benar-benar alami.
b.   Memiliki fisik proporsional.
c.    Tidak sering sakit.
d.   Tidak mudah lelah dan stres.

Apa untungnya menilai diri dengan rinci?
Pertama, kita dapat lebih obyektif, walaupun tidak 100% obyektif. Kita lebih bisa bertanggung jawab terhadap penilaian kita. Sebagai misal, kita menilai teman kita sebagai ‘orang yang memiliki emosional yang baik, tapi kurang baik secara finansial’. Kita tentu bisa menerangkan penilaian kita dengan baik.
Kedua, kita tidak terjebak pada vonis. Ini karena vonis sangat berbahaya. Vonis bahkan dapat menutup perkembangan diri seseorang di masa depan. Orang akan cenderung ‘terkurung’ pada vonis yang diberikan. Ketiga, pijakan untuk melakukan pengembangan diri kurang akurat. Apa yang akan dikembangkan, bila data yang ada hanya ‘baik sekali’? Bukankah lebih baik, ‘dia baik secara sosial, tapi perlu pengembangan pada aspek intelektual’?

Bisakah kita menciptakan aspek penilaian sendiri?
Aspek-aspek penilaian yang diberikan merupakan satu contoh. Masing-masing kita dapat membuat rincian penilaian sendiri. Yang terpenting adalah adanya rincian.
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman) 

Minggu, 27 November 2011

Lebih Aktif-Produktif Paska Menikah

Ada orang yang takut dengan pernikahan. Ia menganggap pernikahan sebagai penghambat aktivitas produktif. Sebagian orang menikah, tapi menunda memiliki anak. Landasan pemikirannya dapat dikatakan sama.
Kita tidak ingin menghakimi landasan pemikiran ini. Yang kita inginkan adalah mencari gambaran pernikahan yang realistis dan baik. Sehingga, pernikahan tidak disudutkan. Hal ini dikarenakan pernikahan adalah salah satu ajaran agama. Apabila pernikahan dipersalahkan, maka Allah SWT juga dipersalahkan, karena Allah SWT-lah yang memerintahkan adanya pernikahan.
Pertama, marilah kita membahas kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Salah satunya adalah kebutuhan berpasangan. Dengan berpasangan, kebutuhan biologis dan psikologis dapat terpenuhi sekaligus. Hasrat seksualnya terpenuhi, demikian pula hasrat mencinta-dicinta.
Selain memenuhi kedua kebutuhan itu, berpasangan memenuhi kebutuhan manusia untuk menyambung jembatan generasi. Dari berpasangan inilah, anak keturunan dihasilkan. Tanpa berpasangan, manusia akan punah.
Kedua, kita membahas manajemen waktu. Ada dua orang, waktu mereka sama, tapi hasil kegiatan keduanya berbeda. Mengapa demikian? Ada efektivitas penggunaan waktu yang berbeda. Yang satu menggunakan waktu sedemikian rupa. Ada sistematika kerja yang benar-benar tertata sekaligus disiplin yang kuat. Adapun yang lain, fokus pengelolaan waktunya mungkin belum baik.
Ketiga, faktor pemikiran kita tentang pasangan. Sebagian orang menganggap pasangannya tidak lebih sekedar pelengkap hidup. Sebagian lainnya menganggap pasangannya sebagai ayah / ibu dari anak-anaknya. Sebagian lagi menganggap pasangannya sebagai pelayannya. Sementara sebagian orang menganggap pasangannya sebagai mitra menuju kebaikan.
Kita tidak ingin membahas –atau bahkan menghakimi- berbagai cara pandang tersebut. Kita hanya perlu merasakan, betapa bahagianya bila kita dan pasangan dapat terus berkembang. Berkembang di aspek apa saja? Kita dan pasangan berkembang di semua aspek. Kita dan pasangan semakin religius, sabar, stabil, cerdas, kaya, profesional, dan sehat.
Satu hal lagi, kita tentu bahagia apabila kita dan pasangan dapat berpartisipasi di masyarakat. Tentu saja, kita dan pasangan tidak melupakan keluarga. Yang kita maksudkan adalah seluruh keluarga memberikan partisipasinya ke masyarakat. Ini diawali kita dan pasangan, baru anak-anak kita.
Dengan demikian, kita berharap tidak ada lagi pandangan miring terhadap pernikahan. Kita berharap pernikahan menjadi pijakan yang suportif –memberikan dukungan positif terhadap kehidupan manusia. Kita berharap pernikahan tidak hanya mampu meneruskan generasi manusia, tapi juga meneruskan tradisi pengabdian. Setelah menikah, setiap orang mengabdikan diri untuk membantu pasangannya beramal sholeh. Sehingga, terciptalah pasangan suportif, dan peradaban indah akan segera lahir dari pernikahan. Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Selasa, 22 November 2011

Akar Konflik di Tempat Kerja

Tempat kerja merupakan satu sumber konflik yang sangat sulit diabaikan. Beberapa studi memberikan perhatian yang cukup serius tentangnya. Paling waktu, setiap orang menghabiskan sepertiga hari, bahkan lebih, di tempat kerjanya. Selain itu, konflik di tempat kerja juga memberikan pengaruh yang tidak ringan pada kehidupan individu secara keseluruhan. Seorang individu bisa begitu percaya diri ketika bisa berprestasi di tempat kerjanya. Sebaliknya, ia juga dapat begitu minder karena tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan di tempat kerja.
Hal ini diperparah dengan adanya anggapan bahwa kualitas seseorang diukur dari kualitas kinerjanya. Adapun kualitas personal, seperti kebaikan, keluruhan nilai hidup, dan yang sejenisnya, tidaklah begitu diperhatikan.
Sudut pandang kapitalistis memang mendorong setiap orang untuk mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya. Semakin banyak kapital (modal) yang dimiliki seseorang, semakin aman dan baik kondisi seseorang dalam kehidupan. Paling tidak, ia memiliki kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya.
Sudut pandang hedonisme juga mendorong hal yang sama. Hedonisme mengajarkan setiap orang untuk bersenang-senang. Tanpa kapital, bagaimana mungkin kesenangan bisa didapatkan?
Kita, paling tidak untuk sementara ini, dapat menyimpulkan bahwa sudut pandang hidup yang salah menjadikan tempat kerja –dan juga tempat-tempat hidup lainnya- sebagai sumber konflik. Bagaimana mungkin manusia dipacu untuk terus bekerja tanpa memperhatikan kebutuhan fundamental kemanusiaannya?
Sedikit agak dalam, kita perlu membincangkan kebutuhan fundamental manusia. Hal ini diperlukan untuk mengurai masalah-masalah praktis di kehidupan sehari-hari.
Manusia memiliki sejumlah aspek, paling tidak aspek biologis dan psikologis. Aspek biologis merujuk pada kebutuhan fisiknya. Sementara aspek psikologis merujuk pada aspek spiritualitas (mencakup nilai hidup dan amalan religious), emosional, dan juga mentalitas positif.
Manusia yang baik akan memberikan perhatian yang imbang terhadap kedua aspek tersebut. Tidak ada yang boleh diabaikan. Pengabaian salah satunya dapat mengantarkan manusia pada kondisi hidup yang kurang menyenangkan.
Apabila kerja ditempatkan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan biologis semata, hampir dapat dipastikan akan muncul sekian banyak konflik. Ada kompetisi meraih jabatan dan sumber-sumber pendapatan baru di tempat kerja. Dampaknya, ini membuat orang saling bersaing, tidak bekerja sama. Tidak ada kebersamaan di situ. Bahkan, bisa jadi, ada saling menghancurkan karir.
Dengan demikian, ada baiknya menempatkan kerja sebagai kegiatan multidimensional. Kita tidak lagi memandang pekerjaan sebagai kegiatan mencari uang semata, tetapi lebih dari itu. Kita dapat memandangnya sebagai upaya mencari persahabatan, mengaktualisasikan nilai-nilai positif diri, sekaligus tempat membaktikan hidup kepada-Nya.
Mungkin ada ketidaksepakatan di antara kita, bagaimana mungkin kegiatan kerja dijadikan sarana pengabdian kepada-Nya?
Berbuat baik akan menghasilkan ganjaran dari Allah SWT, kapanpun dan di manapun. Bila memang kita berbuat baik di tempat kerja, maka Allah SWT akan pahala-Nya. Bukankah begitu?
Tidak ada larangan untuk menyatukan sejumlah dimensi hidup dalam satu kegiatan. Bila itu mungkin, kenapa tidak?
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Senin, 21 November 2011

Mengenali Konflik Intrapersonal

Konflik bisa dibedakan menjadi beberapa jenis. Pertama, konflik intrapersonal, konflik yang terjadi di dalam diri seseorang. Istilah sehari-harinya, konflik batin. Kedua, konflik interpersonal, konflik yang terjadi antardua orang atau lebih. Ketiga, konflik antarkelompok, konflik yang terjadi antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Soliditas, solidaritas, dan juga kohesi kelompok sangat kuat. Ini dilakukan untuk menandingin superioritas kelompok lain.
Konflik intrapersonal merupakan satu konflik yang sangat perlu diwaspadai. Pertama, penyebabnya bisa beraneka ragam. Yang ringan, contohnya kehilangan kaos kaki kesayangan. Adapun yang berat, contohnya tidak dapat memenuhi target pribadi, padahal seluruh upaya telah dikerahkan. Kedua, gejala-gejala konflik intrapersonal sangat halus. Banyak orang tidak menyadarinya. Terutama, gejala ringan. Banyak orang terkaget-kaget manakala tingkat konflik intrapersonal sudah sedemikian parah. Ketiga, banyak orang mengabaikan gejala konflik intrapersonal pada teman atau saudaranya. Alhasil, ketika mereka menemukan orang terdekatnya mengalami konflik intrapersonal yang hebat, meraka sangat menyesal.
Dengan demikian, setiap orang dianjurkan memiliki pengetahuan tentang gejala-gejala konflik intrapersonal. Paling tidak, setiap orang perlu memastikan bahwa dirinya selalu memiliki pandangan hidup ke depan, sekaligus keterikatan dengannya. Tanpa itu, setiap orang dimungkinkan mengalami masa-masa hampa, tidak tahu jalan hidup yang ditempuh.
Dalam pandangan psikologi modern, kehampaan membuat manusia tidak dapat berhubungan dengan kehidupan luarnya. Bisa jadi, seseorang sadar ia ada di mana, tapi dia sangat enggan untuk melakukan kontak dengan lingkungan sekitarnya. Ia terisolasi. bila ini terjadi dalam waktu lama, maka dimungkinkan ada halunisasi buruk berdaya dorong kuat. Akibatnya, sangat fatal.
Sementara itu, psikologi Islam memandang kehampaan membuat manusia mudah disusupi setan. Akibatnya, hatinya menjadi was-was, penuh guncangan. Kemudian, yang terjadi bisa jadi histeria (karena kesurupan), ataupun tindakan-tindakan buruk di luar akal sehat.
Yang tidak kalah penting adalah sikap realistis. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pemaksaan di luar kesanggupan akan menimbulkan citra buruk pada diri sendiri. Contoh citra buruk adalah tidak kompeten. Bila sudah tidak percaya pada diri sendiri, kepada siapa lagi?
Lingkungan yang nyaman merupakan satu kunci pencegahan konflik intrapersonal. Apabila selalu lingkungan menuntut kesempurnaan, maka konflik intrapersonal mudah sekali muncul. Karena manusia memiliki tabiat untuk salah, sekecil apapun, kapanpun, dan di manapun.
Lingkungan yang penuh toleransi dan suportif dapat dikatakan sebagai lingkungan yang baik. Di lingkungan ini, setiap orang diberi ruang untuk berbuat salah dan menjadikan kesalahan sebagai pengalaman pembelajaran. Ada juga waktu yang realistis dalam penyelesaian masalah. Prinsip pentahapan sangat diperhatikan.
Studi tentang lingkungan toleransi dan suportif cukup diperhatikan akhir-akhir ini, baik di lingkungan pendidikan maupun kerja. Hal ini dilandasi oleh keprihatian terhadap tingginya angka konflik intrapersonal.
Beberapa perusahaan dan organisasi sudah menerapkan sejumlah hasil studi tersebut. Hasilnya, angka turn-over karyawan relatif lebih rendah. Wallahu a’lam (dufo abdurrohman)

Minggu, 20 November 2011

Berani Menghadapi Konflik

Konflik sangat sering terjadi di sekitar kita. Hampir tiap hari, bahkan, kita menemui konflik. Kita juga bisa terlibat dalam konflik.
Tidak menyenangkan memang ketika kita terlibat dalam konflik. Energi kita terkuras, baik energi pikiran, mental, maupun spiritual.
Meskipun demikian, para pakar pengembangan manusia menyatakan bahwa konflik memiliki sisi positif. Paling tidak, ada satu tahap ketika konflik dapat mendukung produktivitas kita. Ibarat grafik, konflik yang terlalu rendah membuat kita terlena. Manja, mungkin itu istilahnya. Sementara konflik yang terlalu tinggi dapat membuat hidup kita stres. Di tengah-tengahnya ada konflik yang pas, itulah konflik yang kita maksudkan tadi.
Dengan demikian, tidak mengapa jika kita menetapkan target tertentu atas hidup kita. Dalam berapa tahun, kita akan mencapai target ini, misalnya. Asalkan realistis, ini akan membuat kita produktif.
Yang sangat perlu diperhatikan adalah kapasitas kita dalam menghadapi konflik. Apabila kita tumbuh dan berkembang di rumah yang penuh pemanjaan, dapat dipastikan kapasitas kita menghadapi konflik dan stres sangat rendah. Kita menjadi penakut. Kita akan merasa gemetar mendengar suara keras. Kita juga gelagapan manakala tugas atau masalah yang kita hadapi sangat sulit. Apalagi bila kita jarang bertemu dengan orang-orang yang beraneka ragam latar budayanya.
Kapasitas yang baik dapat dilihat lewat ketenangan menghadapi masalah. Semakin tenang seseorang menghadapi masalah, dapat dipastikan semakin besar kapasitasnya.
Kapasitas diri seseorang didapatkan dari berbagai macam faktor. Ada faktor pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan juga keyakinan. Campuran yang melahirkan kapasitas sedemikian banyak, sehingga dapat dikatakan, kapasitas adalah sesuatu yang mahal. Perlu perjuangan dan waktu untuk membangun kapasitas yang baik.
Ada sejumlah metode mutakhir untuk meningkatkan kapasitas. Yang sedang tren –dan sepertinya akan tetap menjadi tren beberapa tahun ke depan- adalah outbound. Salah satu tujuan intinya adalah menghilangkan rasa takut untuk mengambil resiko. Ada keberanian yang tumbuh. Selain itu, pengalaman mampu menyelesaikan masalah di arena outbound diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan diri.
Meskipun kapasitas dapat ditingkatkan melalui berbagai metode cepat, satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah siklus pembelajaran.
Siklus pembelajaran hidup ini berlaku umum dan terjadi terus menerus dalam kehidupan kita. Siklus ini harus terus berputar atau dijalankan manakala seseorang ingin terus meningkatkan kapasitasnya.
Dalam siklus tersebut, setelah menyelesaikan masalah, kita iharapkan mampu memgambil hikmah dan pengetahuan sebagai bekal menghadapi masalah di masa depan. Bila ini dilakukan, insya Allah, masalah di masa depan tidaklah menjadi masalah yang terlalu rumit.
So, masih takut dengan konflik? Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Rabu, 16 November 2011

Benturan Sudut Pandang


Setiap orang mempunyai sudut pandang kehidupan. Basis / dasar sudut pandangnya juga berbeda-beda. Ada yang berbasis keimanan, kemanusiaan, persaudaraan darah, ataupun keuntungan ekonomis.
Di tataran praktisnya, terkadang, sudut pandang yang dimiliki merupakan campuran. Ada sudut pandang kemanusiaan bercampur dengan persaudaraan darah, ataupun kemanusiaan bercampur ekonomi. Tinggal pertanyaannya, sudut pandang mana yang dominan.
Setiap sudut pandang memiliki karakteristiknya masing-masing. Sudut pandang keimanan, misalnya, memiliki karakteristik yang tidak boleh bercampur dengan sudut pandang yang lain. Bila terpaksa bercampur (dengan sudut padang ekonomi, misalnya), maka bingkai besarnya tetaplah sudut pandang iman.
Sudut pandang persaudaraan darah, sebagai misal yang lain, memberikan pengaruh pada kedekatan hati –walaupun jarak tidaklah dekat. Persaudaraan darah juga membuat kita selalu rindu. Karakteristik persaudaraan yang kita ketahui adalah mengutamakan sambungnya rasa antarsaudara. Perbedaan yang ada diabaikan, paling tidak dibuat seminimal mungkin.
Sudut pandang yang berbeda-beda, di tataran praktisnya akan membuat benturan. Sekecil apapun, benturan itu akan ada.
Sudut pandang keimanan akan berbenturan dengan sudut pandang hedonisme. Karena sudut pandang keimanan menjadikan seseorang berusaha hidup sebaik mungkin. Standarnya adalah standar hidup yang telah ditetapkan Allah SWT. Sementara hedonisme mengantarkan seseorang pada keinginan suka-suka tiada batas. Tidak standar kualitas hidup, apalagi tunduk pada standar yang telah ditetapkan Allah SWT.
Dikarenakan benturan sudut pandang pasti terjadi, setiap orang perlu menyadari dan bersiap-siap terhadapnya. Walaupun sesama saudara, bila sudut pandangnya berbeda, cepat atau lambat benturan-benturan pasti akan terjadi.
Tidak ada cara menghilangkannya. Yang ada mungkin pengelolaannya, bagaimana sebuah benturan dapat diselesaikan dengan baik. Dimungkinkan ada saling eksplorasi, ataupun kompromi.
Terkadang, benturan sudut pandang berujung pada benturan fisik. Dapat dikatakan ini adalah bentuk finalnya. Ini juga ujian terhadap keluhuran sudut pandang. Dalam sudut pandang keimanan, misalnya, ada sejumlah aturan ketat dalam benturan fisik. Contohya, tidak melukai orang-orang yang tidak terlibat (seperti wanita dan anak-anak).
Dengan demikian, sebelum menentukan sudut pandang, setiap orang perlu mempelajari nilai-nilai yang dikandungnya. Setiap orang juga perlu belajar konsekuensinya. Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)