Ketika kita marah pada seseorang karena
kesalahannya, sudahkah sebelumnya kita menghargai seluruh kebaikan-kebaikannya?
Sudahkah kita mengucapkan terima kasih, atau memberikan doa barokah? Ataukah
kita menganggap itu semua hal yang wajar?
Bukankah kita telah mengetahui bahwa Allah Ta’ala
melipatgandakan kebaikan seseorang, namun di sisi lain hanya mencatat keburukan
dengan satu keburukan saja? Apakah kita tidak berlebihan bila kita mudah marah
karena kesalahan, tapi mengabaikan kebaikan?
Allah Ta’ala tidak membutuhkan apapun dari manusia.
Akan tetapi, Dia memberikan penghargaan yang luar biasa atas kebaikan manusia.
Dalam sejumlah ayat dalam Al-Qur’an, Dia akan menggandakan 10 bahkan hingga 700
kali lipat. Adapun kesalahan, semua kesalahan tidak akan dilipatgandakan
dosanya. Semuanya tercatat sebagaimana tingkatan dosa itu. Bila dosa itu masuk
dalam derajat dosa besar, maka dosa itu dicatat sebagai dosa besar. Sebaliknya,
bila dosa itu masuk dalam derajat dosa kecil, maka dosa itu tidak akan
dimasukkan dalam derajat dosa besar.
Benar sekali, Allah Ta’ala mengharapkan manusia
agar mengapresiasi segala kebaikan dan potensi kebaikan yang ada. Karena dengan
apresiasi yang banyak, potensi-potensi kebaikan itu diharapakan tumbuh subur
menjadi kebaikan-kebaikan yang tidak terbatas. Ibarat tumbuhan, apresiasi
adalah air sekaligus pupuknya. Tanpa apresiasi, potensi-potensi kebaikan akan
mudah mati –lenyap tanpa bekas.
Di sisi lain, kita perlu memahami manusia juga
cenderung penuntut. Ia ingin agar orang lain memberikan apa yang ia harapkan.
Sehingga, ia mudah marah ketika tuntutannya tidak terpenuhi. Padahal, bisa
jadi, tuntutannya tidak realistis. Dengan demikian, manusia sangat perlu
menahan diri untuk tidak lekas marah. Selain itu, marah ibarat panas yang
menyiram tanaman, dapat mematikan. Sehingga, potensi-potensi kebaikan tidak
akan tumbuh lagi, mungkin hanya untuk sementara waktu, tapi mungkin juga untuk selamanya.
Oleh karena itu, kita –sebagai manusia- sangat
perlu menjaga pikiran dan perasaan. Semuanya diharapkan selalu dalam keadaan
positif. Sehingga, kita selalu bisa melihat setiap kebaikan dan keindahan yang
ditampilkan kepada kita. Di sisi lain, kita pun dapat memaafkan –dan juga
memberikan koreksi- atas kesalahan yang terjadi di depan mata.
Satu hal lain yang juga perlu kita pertimbangkan
bersama adalah kemungkinan perubahan dalam diri manusia. Dengan segala
potensinya, manusia –kita dan orang-orang sekitar kita- dapat mengalami
perubahan seiring waktu. Bila kita memberikan ruang toleransi yang cukup, kita
berharap agar kita semua dapat memproses diri dalam perubahan baik. Adapun marah
dan tuntutan perubahan yang instan, semua itu hanya akan memperburuk masalah.
Inilah tantangan kita. Ada yang tidak mudah di
sini. Apalagi, kita mungkin banyak mengalami caci maki dan kemarahan atas
kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan –meskipun itu adalah kesalahan yang
remeh sekali.
Akan tetapi, demi masa depan generasi anak cucu
kita, dapatkah kita berkorban?
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar