Senin, 13 Februari 2012

Sebelum Kebaikan Itu Lenyap


Ketika kita marah pada seseorang karena kesalahannya, sudahkah sebelumnya kita menghargai seluruh kebaikan-kebaikannya? Sudahkah kita mengucapkan terima kasih, atau memberikan doa barokah? Ataukah kita menganggap itu semua hal yang wajar?
Bukankah kita telah mengetahui bahwa Allah Ta’ala melipatgandakan kebaikan seseorang, namun di sisi lain hanya mencatat keburukan dengan satu keburukan saja? Apakah kita tidak berlebihan bila kita mudah marah karena kesalahan, tapi mengabaikan kebaikan?
Allah Ta’ala tidak membutuhkan apapun dari manusia. Akan tetapi, Dia memberikan penghargaan yang luar biasa atas kebaikan manusia. Dalam sejumlah ayat dalam Al-Qur’an, Dia akan menggandakan 10 bahkan hingga 700 kali lipat. Adapun kesalahan, semua kesalahan tidak akan dilipatgandakan dosanya. Semuanya tercatat sebagaimana tingkatan dosa itu. Bila dosa itu masuk dalam derajat dosa besar, maka dosa itu dicatat sebagai dosa besar. Sebaliknya, bila dosa itu masuk dalam derajat dosa kecil, maka dosa itu tidak akan dimasukkan dalam derajat dosa besar.
Benar sekali, Allah Ta’ala mengharapkan manusia agar mengapresiasi segala kebaikan dan potensi kebaikan yang ada. Karena dengan apresiasi yang banyak, potensi-potensi kebaikan itu diharapakan tumbuh subur menjadi kebaikan-kebaikan yang tidak terbatas. Ibarat tumbuhan, apresiasi adalah air sekaligus pupuknya. Tanpa apresiasi, potensi-potensi kebaikan akan mudah mati –lenyap tanpa bekas.
Di sisi lain, kita perlu memahami manusia juga cenderung penuntut. Ia ingin agar orang lain memberikan apa yang ia harapkan. Sehingga, ia mudah marah ketika tuntutannya tidak terpenuhi. Padahal, bisa jadi, tuntutannya tidak realistis. Dengan demikian, manusia sangat perlu menahan diri untuk tidak lekas marah. Selain itu, marah ibarat panas yang menyiram tanaman, dapat mematikan. Sehingga, potensi-potensi kebaikan tidak akan tumbuh lagi, mungkin hanya untuk sementara waktu, tapi  mungkin juga untuk selamanya.
Oleh karena itu, kita –sebagai manusia- sangat perlu menjaga pikiran dan perasaan. Semuanya diharapkan selalu dalam keadaan positif. Sehingga, kita selalu bisa melihat setiap kebaikan dan keindahan yang ditampilkan kepada kita. Di sisi lain, kita pun dapat memaafkan –dan juga memberikan koreksi- atas kesalahan yang terjadi di depan mata.
Satu hal lain yang juga perlu kita pertimbangkan bersama adalah kemungkinan perubahan dalam diri manusia. Dengan segala potensinya, manusia –kita dan orang-orang sekitar kita- dapat mengalami perubahan seiring waktu. Bila kita memberikan ruang toleransi yang cukup, kita berharap agar kita semua dapat memproses diri dalam perubahan baik. Adapun marah dan tuntutan perubahan yang instan, semua itu hanya akan memperburuk masalah.
Inilah tantangan kita. Ada yang tidak mudah di sini. Apalagi, kita mungkin banyak mengalami caci maki dan kemarahan atas kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan –meskipun itu adalah kesalahan yang remeh sekali.
Akan tetapi, demi masa depan generasi anak cucu kita, dapatkah kita berkorban?
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar