Ketika nafasnya tersengal-sengal, ia baru menyadari
bahwa dirinya tetap manusia biasa. Kebanggaan akan kekuasaannya sudah tidak
berarti lagi. Akan tetapi, semuanya telah terlambat.
Ombak laut sudah siap menggulung dirinya. Malaikat
Izrail juga sudah siap mencabut nyawanya. Kematiannya akan segera tiba, hanya
menghitung detik demi detiknya.
Dialah Fir’aun. Kebesaran kekuasaan menjadikannya
buta hati. Sehingga, akal persepsinya pun kacau. Ia lalu menantang Allah
Ta’ala.
Dengan berbagai peringatan, Allah Ta’ala ingin
Fir’aun sadar. Akan tetapi, kebutaan hati terlanjur parah. Tak ada lagi cahaya
yang bisa menembusnya.
Sesungguhnya, bila direnungkan sedikit lebih dalam,
Allah Ta’ala tidak akan serta merta mengirimkan hukuman berat. Ada
hukuman-hukuman ringan yang dikirim terlebih dahulu. Ini adalah peringatan. Diharapkan
manusia sadar dan segera kembali pada kehambaan.
Bila manusia sadar, maka hukuman berat tidak jadi
ditimpakan. Sebaliknya, bila kesadaran tidak segera muncul, hukuman berat hanya
menunggu waktu. Jika ini terlanjur terjadi, pintu taubat sangat sulit dibuka.
Dalam konteks yang agak berbeda, kita pun menemukan
ketuaan sebagai peringatan. Badan yang tadinya kuat, kini mulai melemah. Angin
malam yang biasa dihadapi, kini mulai dihindari. Pencernaan yang dulu selalu
kuat, kini mulai pilih-pilih.
Bila semua peringatan ini diabaikan, pertanyaan
yang mengemuka, seberapa kuat tubuh yang sudah ringkih menerima siksa Allah
Ta’ala? Bukankah dengan cabutan kuku saja, seluruh tubuh sudah terasa tidak
karuan, apatah lagi cabutan nyawa oleh Malaikat Izrail?
Rasa malu mungkin menghalangi seseorang dalam
memperbaiki diri. Ini manusiawi. Sesuatu yang melekat kuat tidak mungkin diurai
sekejap saja.
Dalam hal ini, masih terbentang waktu yang cukup
lama untuk berubah. Pintu taubat selalu terbuka. Apakah kaki mau beranjak atau
tidak, itu saja pertanyaannya.
Selain itu, ada orang-orang baik yang siap membantu
perbaikan diri. Mereka insya Allah mendamaikan hati. Mereka ikut membimbing dan
menuntun, tanpa ada caci maki atau celaan yang sinis.
Rasa gengsi merupakan penghalang lain yang mungkin
juga muncul. Ini lebih tidak mudah. Karena ini sudah masuk pada area
kesombongan. Kebenaran tidak lagi penting. Yang hanya penting adalah citra baik
dan penghormatan.
Dalam hal ini, maka waktu yang akan menjawab.
Karena waktu, dengan perintah Allah Ta’ala, akan menunjukkan tanda-tanda
kuasanya. Semuanya akan menjadi yakin –yakin bahwa hanya Allah Ta’ala saja yang
patut ditaati.
Kita semuanya berharap ketuaan dapat menyadarkan,
baik kita sendiri maupun orang-orang di sekitar kita. Sehingga, semakin tua,
seseorang semakin dapat menjadi contoh. Dengan demikian, yang muda semakin mudah
diberikan nasehat. Mereka tidak mengelak dengan mencontohkan keburukan
orang-orang tua.
Dengan kesadaran yang terbangun seiring ketuaan,
kita berharap dunia semakin teduh. Karena ada semakin banyak orang yang menjadi
pembimbing. Dengan demikian, tidak akan ada lagi perkataan bahwa orang tua
hanya merepotkan saja.
Kita berharap demikian, dan selalu berharap.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar