Minggu, 12 Februari 2012

Ketika Ketuaan Tidak Menyadarkan


Ketika nafasnya tersengal-sengal, ia baru menyadari bahwa dirinya tetap manusia biasa. Kebanggaan akan kekuasaannya sudah tidak berarti lagi. Akan tetapi, semuanya telah terlambat.
Ombak laut sudah siap menggulung dirinya. Malaikat Izrail juga sudah siap mencabut nyawanya. Kematiannya akan segera tiba, hanya menghitung detik demi detiknya.
Dialah Fir’aun. Kebesaran kekuasaan menjadikannya buta hati. Sehingga, akal persepsinya pun kacau. Ia lalu menantang Allah Ta’ala.
Dengan berbagai peringatan, Allah Ta’ala ingin Fir’aun sadar. Akan tetapi, kebutaan hati terlanjur parah. Tak ada lagi cahaya yang bisa menembusnya.
Sesungguhnya, bila direnungkan sedikit lebih dalam, Allah Ta’ala tidak akan serta merta mengirimkan hukuman berat. Ada hukuman-hukuman ringan yang dikirim terlebih dahulu. Ini adalah peringatan. Diharapkan manusia sadar dan segera kembali pada kehambaan.
Bila manusia sadar, maka hukuman berat tidak jadi ditimpakan. Sebaliknya, bila kesadaran tidak segera muncul, hukuman berat hanya menunggu waktu. Jika ini terlanjur terjadi, pintu taubat sangat sulit dibuka.
Dalam konteks yang agak berbeda, kita pun menemukan ketuaan sebagai peringatan. Badan yang tadinya kuat, kini mulai melemah. Angin malam yang biasa dihadapi, kini mulai dihindari. Pencernaan yang dulu selalu kuat, kini mulai pilih-pilih.
Bila semua peringatan ini diabaikan, pertanyaan yang mengemuka, seberapa kuat tubuh yang sudah ringkih menerima siksa Allah Ta’ala? Bukankah dengan cabutan kuku saja, seluruh tubuh sudah terasa tidak karuan, apatah lagi cabutan nyawa oleh Malaikat Izrail?
Rasa malu mungkin menghalangi seseorang dalam memperbaiki diri. Ini manusiawi. Sesuatu yang melekat kuat tidak mungkin diurai sekejap saja.
Dalam hal ini, masih terbentang waktu yang cukup lama untuk berubah. Pintu taubat selalu terbuka. Apakah kaki mau beranjak atau tidak, itu saja pertanyaannya.
Selain itu, ada orang-orang baik yang siap membantu perbaikan diri. Mereka insya Allah mendamaikan hati. Mereka ikut membimbing dan menuntun, tanpa ada caci maki atau celaan yang sinis.
Rasa gengsi merupakan penghalang lain yang mungkin juga muncul. Ini lebih tidak mudah. Karena ini sudah masuk pada area kesombongan. Kebenaran tidak lagi penting. Yang hanya penting adalah citra baik dan penghormatan.
Dalam hal ini, maka waktu yang akan menjawab. Karena waktu, dengan perintah Allah Ta’ala, akan menunjukkan tanda-tanda kuasanya. Semuanya akan menjadi yakin –yakin bahwa hanya Allah Ta’ala saja yang patut ditaati.
Kita semuanya berharap ketuaan dapat menyadarkan, baik kita sendiri maupun orang-orang di sekitar kita. Sehingga, semakin tua, seseorang semakin dapat menjadi contoh. Dengan demikian, yang muda semakin mudah diberikan nasehat. Mereka tidak mengelak dengan mencontohkan keburukan orang-orang tua.
Dengan kesadaran yang terbangun seiring ketuaan, kita berharap dunia semakin teduh. Karena ada semakin banyak orang yang menjadi pembimbing. Dengan demikian, tidak akan ada lagi perkataan bahwa orang tua hanya merepotkan saja.
Kita berharap demikian, dan selalu berharap.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar