Kamis, 09 Februari 2012

Menyeimbangkan Sikap Kritis dengan Rasa Sayang


Ternyata, usul teman kita memiliki sejumlah kekurangan dan kelemahan. Hampir tidak ada orang yang menyadarinya. Hanya kita yang menyadarinya.
Apa yang akan kita lakukan dalam posisi seperti ini? Menegurnya terbuka atau tertutup?
Sebuah pendapat dikemukakan Imam Syafi’i rahimahullah. Beliau berpendapat bahwa sebaiknya nasehat disampaikan secara tertutup. Hal ini dilakukan guna menghindari sakit hati.
Sebagian kita mungkin berpendapat sama dengan beliau. Sebagian lainnya mungkin berpendapat bahwa memberi masukan secara tertutup merupakan hal baik. Akan tetapi, bila tidak memungkinkan, kita akan menyampaikan masukan secara terbuka. Yang penting, kita melakukan dengan cara sebaik-baiknya.
Dalam sikap kritis, memang diperlukan rasa sayang. Bahkan, jika bisa, rasa sayang itu merupakan rasa sayang yang tebal, dalam, dan kuat. Mengapa? Ada dua jawaban. Pertama, saran, masukan, dan kritik merupakan perwujudan rasa sayang. Sehingga, tanpa sayang, masukan dan sebagainya dapat menimbulkan rasa marah. Kedua, rasa sayang dapat membantu kita dalam mengatur diri, sehingga cara kita menyampaikan masukan dan sejenisnya diterima dengan baik.
Apa yang terjadi bila yang berkembang hanya salah satu saja? Ketidakseimbangan dapat terjadi. Bukankah sikap kritis cenderung menyingkap, sementara sikap sayang cenderung menutup?
Kita tahu bahwa sikap kritis, selain menjadikan seseorang jeli mengamati setiap fenomena, juga mendorong seseorang menyampaikan hasil pengamatannya. Sehingga, orang yang kritis cenderung blak-blakan. Apapun yang dianggapnya perlu ditanggapi, semuanya disampaikan.
Sementara rasa sayang, selain cenderung menyetujui apapun yang diusulkan atau diperlihatkan, juga cenderung menutupi segala keburukan. Sehingga, tidak ada sedikitpun keburukan yang bocor ke telinga atau pandangan orang lain. Orang yang disayangi harus ditampilkan sebaik mungkin.
Guna mengembangkan kedua hal ini bersamaan, ada beberapa jalan yang bisa ditempuh. Pertama, kita perlu mengembangkan pemikiran yang terpadu, yakni bahwa segala sesuatu yang baik pasti bisa bersatu dan bersinergi untuk kebaikan yang lebih tinggi. Kedua, kita perlu mengembangkan pemikiran bahwa setiap orang memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Ada orang yang cenderung halus, biasa-biasa saja, ataupun blak-blakan. Setiap orang memerlukan interaksi yang berbeda. Ketiga, bahwa akherat adalah tujuan utama. Sehingga, sikap atau rasa apapun yang kita kembangkan sangat perlu ditujukan ke akherat. Bila ada pertentangan antara sikap atau rasa tersebut atas dengan akherat, maka semuanya perlu ditinjau kembali: diluruskan atau diolah kembali.
Inilah salah satu keterpaduan dan keseimbangan hidup. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan dalam mencapainya, amin.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar