Kamis, 02 Februari 2012

Keterikatan Yang Mendua


Tangisan anak itu belum juga berhenti. Ia juga terus berteriak. Ia memanggil-manggil nama neneknya.
Anak itu tinggal bersama neneknya sejak bayi. Ibunya, yang tadinya juga ikut tinggal, akhirnya pergi meninggalkannya. Ayahnya, sosok itu tidak dikenalnya sama sekali. Entah apa penyebabnya, sang ayah tidak pernah sekalipun menengoknya.
Keterikatan itu akhirnya terbentuk. Perpisahan adalah selintas pengalaman yang menakutkan. Ia takut, sangat takut. Hingga, tangisan dan teriakannya tidak kunjung berhenti.
Keterikatan memang mendua. Satu sisi, keterikatan membuat kita aman dan nyaman. Kita menjadi orang yang siap menghadapi berbagai rintangan dan masalah kehidupan. Akan tetapi, di sisi lain, keterikatan juga menimbulkan rasa takut dalam hati kita –rasa yang membuat kita terkadang meradang, cemburu, dan tidak rela. Ya, rasa takut itu adalah rasa takut untuk berpisah.
Dalam keterikatan ini, pada akhirnya, kita didorong belajar untuk seimbang pada perasaan. Kita diharapkan tidak terlalu ekstrem pada satu kutub perasaan, baik itu terlalu nyaman ataupun terlalu takut.
Kita diharapkan mampu memahami bahwa hidup ini memiliki awal dan akhir. Ini adalah sunnatullah. Dengan demikian, kita perlu siap bertemu dan berpisah. Kita selalu memiliki proporsionalitas dalam hidup. Ketika kita bertemu, ada baiknya untuk senang secara proporsional –senyum lebar dan tetap tenang. Demikian pula, dalam perpisahan, kitapun diharapkan sedih secara proporsional –air mata yang berlinang dengan suara yang tetap lembut.
Kita semua memahami bahwa pengendalian emosi tidak selalu mudah. Apalagi, bila emosi itu tertanam begitu dalam dan berakar dengan sangat kuat. Waktu yang telah dilaluipun sudah sangat lama. Di sisi lain, kita juga memahami bahwa pengendalian emosi merupakan hal penting. Apakah mungkin kita merobek-robek baju kita di hadapan orang lain ketika kita sedang bersedih? Ataukah kita melompat-lompat seperti anak-anak yang sedang berlatih olahraga ketika kita sedang senang?
Kesenangan dan kesedihan –dan juga berbagai perasaan lainnya- memiliki kebutuhannya. Ini mirip dengan kebutuhan-kebutuhan yang lain. Semuanya perlu dipenuhi, tapi tetap memperhatikan etika yang proporsional.
Pada akhirnya, ada baiknya kita mulai belajar mengendalikan hasrat dan pikiran kita. Kita pasrahkan segala sesuatu kepada-Nya. Kita nyatakan bahwa kita hanyalah hamba-Nya yang lemah. Kita hanya bisa berjalan di jalan yang dibuat-Nya. Semuanya kita lakukan dengan berbagai tuntunan yang telah ditetapkan-Nya.
Ataukah kita memiliki pendapat lain?
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar