Tangisan
anak itu belum juga berhenti. Ia juga terus berteriak. Ia memanggil-manggil
nama neneknya.
Anak
itu tinggal bersama neneknya sejak bayi. Ibunya, yang tadinya juga ikut
tinggal, akhirnya pergi meninggalkannya. Ayahnya, sosok itu tidak dikenalnya
sama sekali. Entah apa penyebabnya, sang ayah tidak pernah sekalipun
menengoknya.
Keterikatan
itu akhirnya terbentuk. Perpisahan adalah selintas pengalaman yang menakutkan.
Ia takut, sangat takut. Hingga, tangisan dan teriakannya tidak kunjung
berhenti.
Keterikatan
memang mendua. Satu sisi, keterikatan membuat kita aman dan nyaman. Kita
menjadi orang yang siap menghadapi berbagai rintangan dan masalah kehidupan.
Akan tetapi, di sisi lain, keterikatan juga menimbulkan rasa takut dalam hati
kita –rasa yang membuat kita terkadang meradang, cemburu, dan tidak rela. Ya,
rasa takut itu adalah rasa takut untuk berpisah.
Dalam
keterikatan ini, pada akhirnya, kita didorong belajar untuk seimbang pada
perasaan. Kita diharapkan tidak terlalu ekstrem pada satu kutub perasaan, baik
itu terlalu nyaman ataupun terlalu takut.
Kita
diharapkan mampu memahami bahwa hidup ini memiliki awal dan akhir. Ini adalah
sunnatullah. Dengan demikian, kita perlu siap bertemu dan berpisah. Kita selalu
memiliki proporsionalitas dalam hidup. Ketika kita bertemu, ada baiknya untuk
senang secara proporsional –senyum lebar dan tetap tenang. Demikian pula, dalam
perpisahan, kitapun diharapkan sedih secara proporsional –air mata yang
berlinang dengan suara yang tetap lembut.
Kita
semua memahami bahwa pengendalian emosi tidak selalu mudah. Apalagi, bila emosi
itu tertanam begitu dalam dan berakar dengan sangat kuat. Waktu yang telah
dilaluipun sudah sangat lama. Di sisi lain, kita juga memahami bahwa
pengendalian emosi merupakan hal penting. Apakah mungkin kita merobek-robek
baju kita di hadapan orang lain ketika kita sedang bersedih? Ataukah kita
melompat-lompat seperti anak-anak yang sedang berlatih olahraga ketika kita
sedang senang?
Kesenangan
dan kesedihan –dan juga berbagai perasaan lainnya- memiliki kebutuhannya. Ini
mirip dengan kebutuhan-kebutuhan yang lain. Semuanya perlu dipenuhi, tapi tetap
memperhatikan etika yang proporsional.
Pada
akhirnya, ada baiknya kita mulai belajar mengendalikan hasrat dan pikiran kita.
Kita pasrahkan segala sesuatu kepada-Nya. Kita nyatakan bahwa kita hanyalah
hamba-Nya yang lemah. Kita hanya bisa berjalan di jalan yang dibuat-Nya.
Semuanya kita lakukan dengan berbagai tuntunan yang telah ditetapkan-Nya.
Ataukah
kita memiliki pendapat lain?
Wallaahu
a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar