Dalam kepiluan yang mendera, Rasulullah SAW berdoa.
Akan tetapi, doa yang dipanjatkan bukan doa agar penduduk Thaif disiksa.
Padahal, darah telah mengucur dari wajah dan tubuhnya. Bahkan, cemoohan
anak-anak kecil mengiringinya langkahnya. Bagaimana mungkin, beliau yang
dimuliakan penduduk langit dikatakan gila oleh anak-anak kecil itu?
Sungguh, malaikat pun telah menawarkan kepada
beliau agar gunung ditimpakan ke penduduk Thaif. Akan tetapi, beliau menolak.
Beliau malah berharap agar Allah Ta’ala memberikan ampunan. “Mereka tidak tahu
(tentang Islam saja),” demikianlah beliau bersabda.
Kita tidak bisa mengelak bahwa akhlak beliau sangat
mulia. Hatinya lembut, kasihnya tulus, dan visi akan kebaikannya sangat kuat.
Sehingga, kita hanya akan mendengar kata-kata dan doa-doa yang baik darinya.
Kita pun setuju bahwa ada korelasi kuat antara
kondisi jiwa dengan kata ataupun doa yang terucap. Jiwa yang penuh kebaikan
hanya mengeluarkan kebaikan. Sebaliknya, jiwa yang penuh keburukan tidak bisa
banyak diharapkan untuk menghasilkan yang baik.
Oleh karena itu, setiap kita perlu memperbaiki
jiwanya. Sehingga, kita dapat berharap yang baik-baik akan keluar dengan
refleks, otomatis. Kapanpun dan dimanapun, hanya ada kebaikan, entah itu
inisiatif atau tanggapan.
Bukan berarti kita tidak boleh berdoa sampai jiwa
kita benar-benar baik. Karena doa juga dapat memperbaiki jiwa. Akan tetapi,
kita perlu memahami bersama bahwa inisiatif memperbaiki jiwa diharapkan lahir
dari kita sendiri.
Ini juga berarti terkabulnya doa diawali oleh diri
kita. Bukankah ketulusan doa itu tergantung pada ketulusan jiwa kita?
Dengan demikian, ada benarnya bila perubahan itu
dimulai dari diri kita, bukan dari pihak lain. Bila Allah Ta’ala memberikan
hidayah-Nya, itu berarti Allah Ta’ala benar-benar memposisikan kita sebagai
hamba yang spesial –sesuatu yang sangat jarang dan sangat penting untuk
disyukuri.
Persoalan yang kemudian mengemuka adalah
membangkitkan inisiatif itu sendiri. Kita banyak menemukan orang yang kesulitan
dalam membangkitkan inisiatif. Ada kecenderungan untuk mengikuti arus
kebanyakan. Padahal, kita sama-sama paham, arus kebanyakan lebih cenderung pada
pemenuhan hasrat hewaniyah belaka.
Dalam hal ini, kita dapat melihat kembali kepada
Sang Guru Agung, Rasulullah SAW. Beliau selalu berkata-kata baik. Sehingga,
beliau dapat menyemai jiwa-jiwa yang baik. Selanjutnya, jiwa-jiwa yang baik ini
kemudian mengajak yang lain agar memiliki jiwa yang baik pula.
Akan tetapi, bagaimana bila belum ada model dan
inisiator di sekitar kita?
Pertanyaannya dapat dibalik, dapatkah kita menjadi
model dan inisiator? Bukankah tidak ada larangan untuk itu? Siapapun bisa.
Apalagi, bila kita berada dalam posisi kepala keluarga atau pimpinan di
lingkungan –lingkungan kerja ataupun masyarakat.
Intinya, siapapun perlu untuk membangkitkan
inisiatif untuk mengembangkan jiwa yang baik. Bila setiap orang memiliki
inisiatif baik yang sama, dunia pun akan bersama-sama baik. Hidup di dunia,
pada akhirnya, dapat diharapkan menjadi ‘serambi surga’, atau sesuatu yang
mirip dengannya.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar