Perempuan itu tidak kunjung menyelesaikan laporan
akhir kuliahnya. Akibatnya, ia tidak segera lulus. Ketertundaan ini hampir
mencapai satu tahun.
Di tengah-tengah masa ketertundaan ini, seorang
pria melamarnya. Sang pria juga ingin segera melangsungkan pernikahan
dengannya. Walaupun dirinya telah berkali-kali menolak untuk segera menikah,
sang pria tetap teguh pada pendiriannya.
Pernikahan pun terjadi. Tak lama kemudian, dirinya
hamil. Tak lama juga, laporan akhirnya rampung dan diujikan. Dia lulus dengan
baik.
Di awal pernikahannya, begitu sang suami tahu bahwa
laporan akhirnya tertunda, ia segera mendapat bantuan. Sang suami tidak sekedar
membantu teknis, tapi benar-benar menjadi rekan diskusi yang intensif. Waktu
penyelesaian laporan akhir pun terbilang cukup cepat.
Inilah salah satu gambaran mutual supportive.
Setiap pasangan saling mendukung dalam kebaikan. Sehingga, keduanya dapat
berkembang bersama-sama. Tidak ada yang maju sendirian, sementara yang satu
tertinggal jauh sendirian.
Mutual supportive juga dapat diwujudkan pada
keluarga secara umum –bahkan dalam satu komunitas. Tidak hanya satu anggota
keluarga saja yang didukung dan mendukung kebaikan, misalnya ayah atau ibu,
tapi semuanya. Ayah, ibu, serta anak-anak, semuanya bergerak memberi dan, secara
bersamaan, juga menerima.
Apa yang terjadi bila yang mengalami kemajuan hanya
satu orang? Bila yang mengalami kemajuan hanya ayah, maka ayah tidak akan mendapatkan
lawan bicara yang seimbang dalam pemikiran. Sehingga, ayah dapat bosan dan
bahkan merasakan kesendirian.
Selain itu, ibu dan anak-anak –secara sadar atau
tidak- juga dapat mempermalukan ayah. Hal ini karena anggapan orang bahwa ibu
dan anak-anak pasti memiliki tingkat pemikiran setingkat ayah. Dalam interaksi
sosial, ketika ini diketahui, bukankah sedikit banyak dapat menimbulkan
komentar yang kurang sedap?
Bila yang mengalami kemajuan hanya ibu, bisa jadi
keluarga akan terlantar. Bukankah ibu dapat menyelesaikan tugas-tugas rumah
tangga dan profesional hanya dengan bantuan ayah dan anak-anak?
Adapun bila hanya anak yang mengalami kemajuan,
maka anak bisa jadi terhambat atau
kurang laju kemajuannya. Ini terutama karena orang tua tidak memahami detail
kemajuan anak. Dalam beberapa kasus, kemajuan anak bahkan terhenti.
Oleh karena itulah, ada baiknya, setiap orang dalam
keluarga berinisiatif untuk terus belajar. Apalagi, bila ada saling belajar
–memberi dan menerima ilmu, memancing dan dipancing untuk berkembang, mendorong
dan didorong untuk lebih baik.
Inisiatif tidak pelu menunggu dari ayah atau ibu
saja. Inisiatif anak-anak pun diapresiasi. Karena kebaikan bisa datang dari
mana saja, bukan?
Cinta belajar, kemajuan, dan kebaikan adalah
awalnya. Akhirnya, setiap orang dapat selalu menampilkan hal-hal terbaiknya
dalam kehidupan ini. Tentu saja, ini tidak dilandasi pamer, tapi kesyukuran
kepada Allah Ta’ala.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar