Rabu, 15 Februari 2012

Saling Mendukung dalam Kebaikan


Perempuan itu tidak kunjung menyelesaikan laporan akhir kuliahnya. Akibatnya, ia tidak segera lulus. Ketertundaan ini hampir mencapai satu tahun.
Di tengah-tengah masa ketertundaan ini, seorang pria melamarnya. Sang pria juga ingin segera melangsungkan pernikahan dengannya. Walaupun dirinya telah berkali-kali menolak untuk segera menikah, sang pria tetap teguh pada pendiriannya.
Pernikahan pun terjadi. Tak lama kemudian, dirinya hamil. Tak lama juga, laporan akhirnya rampung dan diujikan. Dia lulus dengan baik.  
Di awal pernikahannya, begitu sang suami tahu bahwa laporan akhirnya tertunda, ia segera mendapat bantuan. Sang suami tidak sekedar membantu teknis, tapi benar-benar menjadi rekan diskusi yang intensif. Waktu penyelesaian laporan akhir pun terbilang cukup cepat.
Inilah salah satu gambaran mutual supportive. Setiap pasangan saling mendukung dalam kebaikan. Sehingga, keduanya dapat berkembang bersama-sama. Tidak ada yang maju sendirian, sementara yang satu tertinggal jauh sendirian.
Mutual supportive juga dapat diwujudkan pada keluarga secara umum –bahkan dalam satu komunitas. Tidak hanya satu anggota keluarga saja yang didukung dan mendukung kebaikan, misalnya ayah atau ibu, tapi semuanya. Ayah, ibu, serta anak-anak, semuanya bergerak memberi dan, secara bersamaan, juga menerima.
Apa yang terjadi bila yang mengalami kemajuan hanya satu orang? Bila yang mengalami kemajuan hanya ayah, maka ayah tidak akan mendapatkan lawan bicara yang seimbang dalam pemikiran. Sehingga, ayah dapat bosan dan bahkan merasakan kesendirian.
Selain itu, ibu dan anak-anak –secara sadar atau tidak- juga dapat mempermalukan ayah. Hal ini karena anggapan orang bahwa ibu dan anak-anak pasti memiliki tingkat pemikiran setingkat ayah. Dalam interaksi sosial, ketika ini diketahui, bukankah sedikit banyak dapat menimbulkan komentar yang kurang sedap?
Bila yang mengalami kemajuan hanya ibu, bisa jadi keluarga akan terlantar. Bukankah ibu dapat menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga dan profesional hanya dengan bantuan ayah dan anak-anak?
Adapun bila hanya anak yang mengalami kemajuan, maka anak bisa jadi terhambat  atau kurang laju kemajuannya. Ini terutama karena orang tua tidak memahami detail kemajuan anak. Dalam beberapa kasus, kemajuan anak bahkan terhenti.
Oleh karena itulah, ada baiknya, setiap orang dalam keluarga berinisiatif untuk terus belajar. Apalagi, bila ada saling belajar –memberi dan menerima ilmu, memancing dan dipancing untuk berkembang, mendorong dan didorong untuk lebih baik.
Inisiatif tidak pelu menunggu dari ayah atau ibu saja. Inisiatif anak-anak pun diapresiasi. Karena kebaikan bisa datang dari mana saja, bukan?
Cinta belajar, kemajuan, dan kebaikan adalah awalnya. Akhirnya, setiap orang dapat selalu menampilkan hal-hal terbaiknya dalam kehidupan ini. Tentu saja, ini tidak dilandasi pamer, tapi kesyukuran kepada Allah Ta’ala.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar