Dia selalu mengingat masa lalunya. Rasa pedih masih
dirasakannya. Ketiadaan ibu sejak kecil, dan keacuhan sang ayah di masa
remajanya, semua itu menjadikan hidupnya dulu penuh dengan nestapa.
Ia selalu ingin menghapus semua kenangan buruknya.
Toh, kini ia hidup dalam situasi yang penuh bahagia. Pekerjaan sudah
dimilikinya. Teman-teman yang baik pun tak terhitung jumlahnya.
Bila kesedihan masa lalu itu masih membayangi,
mungkin itu karena trauma yang masih mengendap. Alam bawah sadarnya masih
mempersepsi masa lalunya sebagai situasi yang sulit, belum mempersepsi bahwa
kesulitan masa lalunya merupakan titik tolak pengembangan hidupnya. Ia masih
belum mengakui dan sekaligus mengisi ruang jiwa bahwa masa lalunya yang penuh
kesulitan adalah awal ia belajar –belajar tentang hidup, dan bagaimana
mengatasi semua kesulitan hidup.
Dalam beberapa kesempatan, ia telah mengakui bahwa
masa lalunya sebenarnya aset berharga dalam hidupnya. Ia banyak belajar. Akan
tetapi, di sisi lain, ia masih kesulitan untuk melupakan atau bahkan mengubah
persepsi yang telah ada.
Kabar baiknya, ia menyadari pentingnya
spiritualitas dalam mengatasi trauma masa lalu. Ia pun belajar tentang lapang
dada atas takdir Allah Ta’ala. Ia berusaha keras berdialog dengan jiwanya bahwa
Allah Ta’ala amat sayang kepadanya. Apapun yang ditakdirkan-Nya, di masa lalu
dan masa depannya, adalah kasih sayang-Nya. Bila takdir yang ada terkesan
buruk, itu berarti belum ada kemampuan inderawi dan akal untuk mencapai
hikmah-Nya. Dalam hal ini, kesabaran adalah kunci. Semuanya dijalani saja,
insya Allah, hikmah-Nya akan terlihat dengan segera.
Iapun menyadari betapa tanpa spiritualitas yang
baik, manusia akan banyak menderita. Derita jiwa yang tidak ringan akan selalu
membebani hidupnya. Manusia akan senantiasa sedih dengan masa lalunya,
sekaligus takut dengan masa depannya.
Ia juga tidak lupa mendorong orang lain agar kuat
pula menghadapi beban hidup. Segala cita-cita yang baik sangat perlu
diperjuangkan, jangan sampai ada kata putus asa.
Seberapa inspiratifkah kisahnya? Masing-masing kita
memiliki jawaban yang berbeda-beda. Ada yang tergerak, ada yang biasa saja. Hal
ini dapat dimaklumi, karena cerita masa lalu kita berbeda-beda. Bisa jadi,
salah satu dari kita memiliki kisah yang lebih dahsyat dan inspiratif.
Yang jelas, kita dapat menyepakati bahwa
spiritualitas sangat penting bagi kehidupan. Tanpanya, kita kehilangan pijakan
kokoh kehidupan. Kita, ibarat kapal, akan oleng, lalu jatuh terhempas tanpa
terselamatkan lagi.
Spiritualitas, sebagaimana kita ketahui, adalah
tali penyambung manusia dengan Allah Ta’ala, pencipta sekaligus pemilik alam
semesta ini. Dengan kokohnya tali penyambung ini, manusia dapat berdialog
dengan-Nya, mengadukan segala urusan yang ada, meminta segala solusi atas
masalah-masalah, serta sekaligus memanjatkan syukur atas semua yang telah
dikaruniakan.
Dengan kokohnya tali penyambung ini pula, manusia
dapat mengisi ruang jiwanya dengan pemahaman-pemahaman yang baik –pemahaman
bahwa Allah Ta’ala benar-benar mengasihinya, bahwa segala sesuatu yang
dikirimkan oleh-Nya adalah kebaikan semata. Sehingga, ia akan menjalani hidup
dengan pikiran yang super positif. Selanjutnya, dapat ditebak, ia akan
senantiasa bahagia kapanpun dan dimanapun ia hidup.
Selalu ada kesenjangan antara kita dengan Allah
Ta’ala. Semakin kecil usaha kita untuk mendekatkan kesenjangan itu, semakin
kecil pula pemahaman hidup dan kebahagiaan yang akan kita kecap. Adapun energi
yang besar untuk mendekatkan kesenjangan ini, kita dapat menganggapnya sebagai
investasi. Bukankah tidak ada ruginya berinvestasi kepada Pemilik kehidupan?
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar