Senin, 06 Februari 2012

Membangun Ibadah, Menghapus Resah


Dia selalu mengingat masa lalunya. Rasa pedih masih dirasakannya. Ketiadaan ibu sejak kecil, dan keacuhan sang ayah di masa remajanya, semua itu menjadikan hidupnya dulu penuh dengan nestapa.
Ia selalu ingin menghapus semua kenangan buruknya. Toh, kini ia hidup dalam situasi yang penuh bahagia. Pekerjaan sudah dimilikinya. Teman-teman yang baik pun tak terhitung jumlahnya.
Bila kesedihan masa lalu itu masih membayangi, mungkin itu karena trauma yang masih mengendap. Alam bawah sadarnya masih mempersepsi masa lalunya sebagai situasi yang sulit, belum mempersepsi bahwa kesulitan masa lalunya merupakan titik tolak pengembangan hidupnya. Ia masih belum mengakui dan sekaligus mengisi ruang jiwa bahwa masa lalunya yang penuh kesulitan adalah awal ia belajar –belajar tentang hidup, dan bagaimana mengatasi semua kesulitan hidup.
Dalam beberapa kesempatan, ia telah mengakui bahwa masa lalunya sebenarnya aset berharga dalam hidupnya. Ia banyak belajar. Akan tetapi, di sisi lain, ia masih kesulitan untuk melupakan atau bahkan mengubah persepsi yang telah ada.
Kabar baiknya, ia menyadari pentingnya spiritualitas dalam mengatasi trauma masa lalu. Ia pun belajar tentang lapang dada atas takdir Allah Ta’ala. Ia berusaha keras berdialog dengan jiwanya bahwa Allah Ta’ala amat sayang kepadanya. Apapun yang ditakdirkan-Nya, di masa lalu dan masa depannya, adalah kasih sayang-Nya. Bila takdir yang ada terkesan buruk, itu berarti belum ada kemampuan inderawi dan akal untuk mencapai hikmah-Nya. Dalam hal ini, kesabaran adalah kunci. Semuanya dijalani saja, insya Allah, hikmah-Nya akan terlihat dengan segera.
Iapun menyadari betapa tanpa spiritualitas yang baik, manusia akan banyak menderita. Derita jiwa yang tidak ringan akan selalu membebani hidupnya. Manusia akan senantiasa sedih dengan masa lalunya, sekaligus takut dengan masa depannya.
Ia juga tidak lupa mendorong orang lain agar kuat pula menghadapi beban hidup. Segala cita-cita yang baik sangat perlu diperjuangkan, jangan sampai ada kata putus asa.
Seberapa inspiratifkah kisahnya? Masing-masing kita memiliki jawaban yang berbeda-beda. Ada yang tergerak, ada yang biasa saja. Hal ini dapat dimaklumi, karena cerita masa lalu kita berbeda-beda. Bisa jadi, salah satu dari kita memiliki kisah yang lebih dahsyat dan inspiratif.
Yang jelas, kita dapat menyepakati bahwa spiritualitas sangat penting bagi kehidupan. Tanpanya, kita kehilangan pijakan kokoh kehidupan. Kita, ibarat kapal, akan oleng, lalu jatuh terhempas tanpa terselamatkan lagi.
Spiritualitas, sebagaimana kita ketahui, adalah tali penyambung manusia dengan Allah Ta’ala, pencipta sekaligus pemilik alam semesta ini. Dengan kokohnya tali penyambung ini, manusia dapat berdialog dengan-Nya, mengadukan segala urusan yang ada, meminta segala solusi atas masalah-masalah, serta sekaligus memanjatkan syukur atas semua yang telah dikaruniakan.
Dengan kokohnya tali penyambung ini pula, manusia dapat mengisi ruang jiwanya dengan pemahaman-pemahaman yang baik –pemahaman bahwa Allah Ta’ala benar-benar mengasihinya, bahwa segala sesuatu yang dikirimkan oleh-Nya adalah kebaikan semata. Sehingga, ia akan menjalani hidup dengan pikiran yang super positif. Selanjutnya, dapat ditebak, ia akan senantiasa bahagia kapanpun dan dimanapun ia hidup.
Selalu ada kesenjangan antara kita dengan Allah Ta’ala. Semakin kecil usaha kita untuk mendekatkan kesenjangan itu, semakin kecil pula pemahaman hidup dan kebahagiaan yang akan kita kecap. Adapun energi yang besar untuk mendekatkan kesenjangan ini, kita dapat menganggapnya sebagai investasi. Bukankah tidak ada ruginya berinvestasi kepada Pemilik kehidupan?
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar