Seorang
siswa dengan enaknya menggeser posisi sepatu temannya. Lalu, ia meletakkan
sepasang sepatunya di tempat tersebut. Tentu saja, perilakunya mengundang
keheranan sang guru. Bukankah masih ada tempat yang cukup leluasa di
sekitarnya?
Dialog
antara keduanya terjadi. Sang siswa mengakui kesalahannya. Ia pun berharap
tidak mengulangi perbuatannya.
Apa
yang salah dari perilaku tersebut? Bukankah perilakunya biasa saja? Bukankah sepatu
siswa lain masih ada, tidak diambil?
Dilihat
sekilas, perilakunya memang aman. Semuanya seperti sediakala. Tempatnya yang
bergeser, itu saja.
Pertanyaannya,
apa yang terjadi bila yang digeser bukan sandal –sesuatu yang lebih penting? Orang
yang dibenci di tempat kerja, misalnya?
Ya,
perilaku salah yang kecil dapat menjadi besar bila dibiarkan. Sedihnya, begitu
banyak orang tua dan pendidik yang abai terhadap hal ini. Mereka masih kecil,
begitu dalihnya. Sehingga, antisipasi kesalahan yang lebih besar dirasakan belum
mendesak.
Apa
yang terjadi? Benar, perilaku salah yang lebih besar sangat mudah terjadi. Ini kemudian
membuat orang tua dan pendidik terkesima. Mereka pun tergagap meluruskan
perilaku-perilaku salah ini. Berbagai cara akhirnya dilakukan. Akan tetapi,
karena cara-cara ini dilakukan dengan emosi yang berkelebihan, suasana yang ada
tentunya tidak nyaman. Yang menegur merasakan sesak di dada karena memendam
frustasi dan amarah. Yang ditegur juga tidak nyaman. Ada perasaan terburu-buru.
Bukankah perubahan membutuhkan waktu yang cukup panjang, agar dilakukan perlahan-lahan?
Dengan
demikian, kita bisa merumuskan dua hal penting dalam pendidikan anak-anak kita.
Yang pertama adalah visi, sedangkan yang kedua adalah cara yang penuh tahapan
dan sistematis.
Visi
adalah gambaran suasana / situasi yang kita inginkan di masa depan. Adapun kata-kata,
itu semua adalah alat bantu untuk menggambarkan atau menceritakan visi.
Visi
membuat seseorang memiliki dua hal sekaligus, yakni usaha serta kepekaan. Usaha
mendorong seseorang untuk mengeluarkan segenap energi untuk mewujudkannya. Adapun
kepekaan mencegah berbagai perilaku yang bisa menghalangi terwujudnya visi yang
hendak diwujudkan.
Sementara
itu, cara yang penuh tahapan dan sistematis membuat visi lebih mudah
diwujudkan. Ibarat membuat rumah, tahapannya harus penuh urutan. Bukankah
lantai akan lebih baik diselesaikan setelah atap, agar lantai tidak rusak oleh
hujan dan sinar matahari?
Cara
yang penuh tahapan dan sistematis juga menghemat energi. Seseorang bisa bekerja
dengan urutan maju. Setelah menyelesaikan tahapan pertama, dia bisa menyelesaikan
yang kedua, dan seterusnya.
Bila
seseorang mengerjakan semaunya, ia akan sibuk dengan penyelesaian
masalah-masalah. Sebagaimana contoh tadi, ketika lantai sudah rusak, mungkin
atap belum jadi. Daftar masalah bertambah, bukan?
Ah,
mungkinkah kita sudah memiliki visi dan cara yang penuh tahapan?
Wallahu
a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar