Minggu, 01 Januari 2012

Mencegah Kesalahan Kecil Menjadi Besar


Seorang siswa dengan enaknya menggeser posisi sepatu temannya. Lalu, ia meletakkan sepasang sepatunya di tempat tersebut. Tentu saja, perilakunya mengundang keheranan sang guru. Bukankah masih ada tempat yang cukup leluasa di sekitarnya?
Dialog antara keduanya terjadi. Sang siswa mengakui kesalahannya. Ia pun berharap tidak mengulangi perbuatannya.
Apa yang salah dari perilaku tersebut? Bukankah perilakunya biasa saja? Bukankah sepatu siswa lain masih ada, tidak diambil?
Dilihat sekilas, perilakunya memang aman. Semuanya seperti sediakala. Tempatnya yang bergeser, itu saja.
Pertanyaannya, apa yang terjadi bila yang digeser bukan sandal –sesuatu yang lebih penting? Orang yang dibenci di tempat kerja, misalnya?
Ya, perilaku salah yang kecil dapat menjadi besar bila dibiarkan. Sedihnya, begitu banyak orang tua dan pendidik yang abai terhadap hal ini. Mereka masih kecil, begitu dalihnya. Sehingga, antisipasi kesalahan yang lebih besar dirasakan belum mendesak.
Apa yang terjadi? Benar, perilaku salah yang lebih besar sangat mudah terjadi. Ini kemudian membuat orang tua dan pendidik terkesima. Mereka pun tergagap meluruskan perilaku-perilaku salah ini. Berbagai cara akhirnya dilakukan. Akan tetapi, karena cara-cara ini dilakukan dengan emosi yang berkelebihan, suasana yang ada tentunya tidak nyaman. Yang menegur merasakan sesak di dada karena memendam frustasi dan amarah. Yang ditegur juga tidak nyaman. Ada perasaan terburu-buru. Bukankah perubahan membutuhkan waktu yang cukup panjang, agar dilakukan perlahan-lahan?
Dengan demikian, kita bisa merumuskan dua hal penting dalam pendidikan anak-anak kita. Yang pertama adalah visi, sedangkan yang kedua adalah cara yang penuh tahapan dan sistematis.
Visi adalah gambaran suasana / situasi yang kita inginkan di masa depan. Adapun kata-kata, itu semua adalah alat bantu untuk menggambarkan atau menceritakan visi.
Visi membuat seseorang memiliki dua hal sekaligus, yakni usaha serta kepekaan. Usaha mendorong seseorang untuk mengeluarkan segenap energi untuk mewujudkannya. Adapun kepekaan mencegah berbagai perilaku yang bisa menghalangi terwujudnya visi yang hendak diwujudkan.
Sementara itu, cara yang penuh tahapan dan sistematis membuat visi lebih mudah diwujudkan. Ibarat membuat rumah, tahapannya harus penuh urutan. Bukankah lantai akan lebih baik diselesaikan setelah atap, agar lantai tidak rusak oleh hujan dan sinar matahari?
Cara yang penuh tahapan dan sistematis juga menghemat energi. Seseorang bisa bekerja dengan urutan maju. Setelah menyelesaikan tahapan pertama, dia bisa menyelesaikan yang kedua, dan seterusnya.
Bila seseorang mengerjakan semaunya, ia akan sibuk dengan penyelesaian masalah-masalah. Sebagaimana contoh tadi, ketika lantai sudah rusak, mungkin atap belum jadi. Daftar masalah bertambah, bukan?
Ah, mungkinkah kita sudah memiliki visi dan cara yang penuh tahapan?
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar