Kamis, 12 Januari 2012

Bertanya Langsung


Seorang lelaki terlihat tidak sabar. Berkali-kali, ia melihat jam tangannya. Ia merasa agak kesal. Ia merasa sudah terlalu lama menunggu sang istri yang berhias sedari tadi.
Sore itu, mereka menjadwalkan jalan-jalan keluarga. Dia dan anaknya sudah siap. Hanya sang istri yang belum siap.
Akhirnya, ia menyuruh anaknya untuk bertanya pada sang istri tentang kesiapan sang istri. Akan tetapi, alih-alih bertanya, sang anak yang mungkin juga kesal tidak melaksanakan perintah yang diberikan. Ia hanya melihat ibunya yang ternyata masih berhias, lalu segera kembali kepada sang ayah. Ia mengatakan kepada sang ayah bahwa ibunya tidak jadi ikut.
Semoga para ibu tidak tersinggung. Ilustrasi ini bukan ilustrasi untuk para ibu. Ilustrasi ini juga bukan untuk para ayah.
Yang ingin dipaparkan adalah apa yang kita sebut komunikasi langsung. Bentuk sederhananya, bertanya langsung. Kita tidak menggunakan atau memerintahkan pihak ketiga untuk menanyakan apa yang ingin kita ketahui dari orang lain. Kita mendatanginya langsung.
Kita mengakui ada sejumlah penghalang mental untuk bertanya langsung. Minder, sungkan, gengsi, dan hati adalah sejumlah contohnya. Meskipun demikian, kita tetap memberikan penekanan pada pentingnya bertanya langsung. Benar sekali, ini berarti kita perlu menghancurkan penghalang-penghalang mental yang ada. Minimal, kita perlu untuk melupakan sejenak.
Agar bisa melupakan penghalang-penghalang mental yang ada, kita mungkin perlu mempertimbangkan akibat positif dari bertanya langsung. Di sisi lain, tentu kita bisa memperkuatnya dengan mengingat akibat negatif dari bertanya tidak langsung.
Bagaimana bila ini tidak cukup untuk menghancurkan penghalang-penghalang mental yang ada? Tidak adakah jalan lain?
Jalan lain mungkin ada. Pihak ketiga bisa menjadi alternatif. Apalagi, bila masalahnya sudah sedemikian menghebat.
Akan tetapi, kita tentunya mempertimbangkan banyak hal sebelum mengundang pihak ketiga. Perlukah kita membuka permasalahan kita yang mungkin berarti membuka aib kita? Tidakkah kita khawatir aib itu akan menyebar secara tidak sengaja? Ataukah, kita sudah mencapai titik final kapasitas diri kita, sehingga kita pasrah dengan segala akibat?
Apapun pilihan kita, yang paling pokok adalah meyakinkan diri kita bahwa kita telah mempertimbangkan segalanya dengan baik. Tentu saja, kita siap dengan semua akibatnya, positif maupun negatifnya. Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar