Seorang
lelaki terlihat tidak sabar. Berkali-kali, ia melihat jam tangannya. Ia merasa
agak kesal. Ia merasa sudah terlalu lama menunggu sang istri yang berhias sedari
tadi.
Sore
itu, mereka menjadwalkan jalan-jalan keluarga. Dia dan anaknya sudah siap. Hanya
sang istri yang belum siap.
Akhirnya,
ia menyuruh anaknya untuk bertanya pada sang istri tentang kesiapan sang istri.
Akan tetapi, alih-alih bertanya, sang anak yang mungkin juga kesal tidak
melaksanakan perintah yang diberikan. Ia hanya melihat ibunya yang ternyata
masih berhias, lalu segera kembali kepada sang ayah. Ia mengatakan kepada sang
ayah bahwa ibunya tidak jadi ikut.
Semoga
para ibu tidak tersinggung. Ilustrasi ini bukan ilustrasi untuk para ibu. Ilustrasi
ini juga bukan untuk para ayah.
Yang
ingin dipaparkan adalah apa yang kita sebut komunikasi langsung. Bentuk sederhananya,
bertanya langsung. Kita tidak menggunakan atau memerintahkan pihak ketiga untuk
menanyakan apa yang ingin kita ketahui dari orang lain. Kita mendatanginya
langsung.
Kita
mengakui ada sejumlah penghalang mental untuk bertanya langsung. Minder, sungkan,
gengsi, dan hati adalah sejumlah contohnya. Meskipun demikian, kita tetap
memberikan penekanan pada pentingnya bertanya langsung. Benar sekali, ini
berarti kita perlu menghancurkan penghalang-penghalang mental yang ada. Minimal,
kita perlu untuk melupakan sejenak.
Agar
bisa melupakan penghalang-penghalang mental yang ada, kita mungkin perlu
mempertimbangkan akibat positif dari bertanya langsung. Di sisi lain, tentu
kita bisa memperkuatnya dengan mengingat akibat negatif dari bertanya tidak
langsung.
Bagaimana
bila ini tidak cukup untuk menghancurkan penghalang-penghalang mental yang ada?
Tidak adakah jalan lain?
Jalan
lain mungkin ada. Pihak ketiga bisa menjadi alternatif. Apalagi, bila
masalahnya sudah sedemikian menghebat.
Akan
tetapi, kita tentunya mempertimbangkan banyak hal sebelum mengundang pihak
ketiga. Perlukah kita membuka permasalahan kita yang mungkin berarti membuka
aib kita? Tidakkah kita khawatir aib itu akan menyebar secara tidak sengaja? Ataukah,
kita sudah mencapai titik final kapasitas diri kita, sehingga kita pasrah
dengan segala akibat?
Apapun
pilihan kita, yang paling pokok adalah meyakinkan diri kita bahwa kita telah
mempertimbangkan segalanya dengan baik. Tentu saja, kita siap dengan semua
akibatnya, positif maupun negatifnya. Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar