Ada gurat penyesalan yang jelas di wajahnya. Semangat
dan ambisi yang tinggi terlihat meredup. Sakit yang menimpanya memang
mengejutkan. Bukan hanya dirinya saja, orang-orang di sekitarnya juga merasakan
hal yang sama.
Dia memang dikenal sebagai pimpinan yang penuh semangat
dan ambisi. Seluruh gerak aktivitasnya diakui banyak orang sebagai
langkah-langkah berani dan penuh energi. Penghormatan dan rasa segan pun
disematkan padanya. Ketenaran juga melekat pada dirinya.
Akan tetapi, dirinya kini memiliki pandangan yang
sedikit berbeda. Perubahan itu hampir seratus delapan puluh derajat. Karena
saat ini, ia sangat memperhatikan sesuatu yang dulunya dianggap biasa –sesuatu yang
sebenarnya sangat fundamental dalam kehidupan ini.
Dia memang sedikit melalaikan kegiatan-kegiatan
spiritual. Ibadah-ibadah yang seharusnya diperhatikan, diletakkan dalam
prioritas yang cukup rendah. Adapun di prioritas pertama, ia meletakkan
kegiatan-kegiatan profesionalnya –dan juga mimpi-mimpinya.
Kepada orang muda yang menengoknya, ia menyampaikan
satu pesan. “Ingatlah kegiatan-kegiatan spiritual,” katanya. “Seringkali kita mengagungkan
rasionalitas, dan mengabaikan kegiatan-kegiatan spiritual. Tapi, kita baru tersadar,
manakala maut mulai terasa dekat.”
Kita mungkin setuju, dan mungkin juga tidak setuju
dengan beliau. Karena ini urusan perasaan dan keyakinan. Pengalaman orang
berbeda-beda. Kesimpulan yang dihasilkan pun dapat berbeda-beda.
Satu hal yang dapat kita sepakati adalah kepastian
kematian dalam kehidupan manusia. Setiap orang pasti mati. Tidak ada satupun
yang dapat menghindarinya.
Yang menjadi PR kita masing-masing adalah
penyikapan yang tepat terhadap kematian. Disebutkan ‘penyikapan yang tepat’,
karena ada penyikapan yang sangat salah. Sebagai misal, kita bisa mengajukan
anggapan salah pada orang-orang yang bunuh diri. Bagi mereka, kematian adalah
akhir dari segalanya. Tidak ada lagi rasa sakit, kecewa, dan hal-hal buruk
lainnya. Tutup buku, mungkin itu anggapan mereka.
Padahal, kita tahu bahwa kematian bukan akhir
segalanya. Bukan saja bagi yang mati, kematian juga bisa menjadi awal bagi yang
hidup –yakni keluarga yang ditinggalkan. Bila kematian seseorang adalah
kematian yang baik, maka nama keluarga dapat terangkat. Sebaliknya, bila
kematiannya buruk, nama keluarga tentu akan tercoreng.
Sekarang ini, bagaimana bila kita fokus untuk
mengingat orang-orang di sekitar kita? Mari membayangkan wajah-wajah mereka! Dapatkah
kita membedakan orang-orang yang positif dan negatif? Bagaimana pandangan
orang-orang positif terhadap kematian, dan bagaimana pandangan orang-orang
negatif terhadap kematian?
Kita tentu memiliki gambaran. Kita pun dapat
menyimpulkan bahwa orang-orang positif, –seperti apapun perbedaan pandangan di
antara mereka, cenderung memiliki pandangan yang relatif positif terhadap
kematian. Di sisi lain, pandangan positif terhadap kematian ini juga memberikan
imbas yang cukup signifikan pada kehidupan mereka. Minimal, ada imbas pada
kehidupan pribadinya.
Pada akhirnya, kitalah yang memilih, apakah kita
akan meningkatkan spiritualitas kita ataukah hanya cukup dengan apa yang sudah
ada. Yang pasti, kitalah yang akan menanggung semua konsekuensinya, dan kita
pulalah yang akan mempertanggungjawabkannya.
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar