Rabu, 11 Januari 2012

Membebaskan Diri dari Praduga


Seorang suami pulang kemalaman. Dia ketuk pintu rumahnya. Dia pun berharap agar pintu segera dibuka. Akan tetapi, pintu terus tertutup. Rasanya ia semakin ingin masuk rumah.
Akhirnya, pintu pun terbuka. Yang dilihatnya adalah wajah istrinya yang cemberut. Ada amarah yang jelas terasa.
Dia merasa sangat tidak nyaman. Apalagi sejumlah kata umpatan yang terdengar sangat jelas. “Mengapa istriku tidak bertanya terlebih dahulu? Tidakkah ia tahu bahwa ban motorku bocor dan aku menuntun motorku cukup jauh sebelum akhirnya aku menemukan tukang tambal ban?” demikian batinnya.
Hal baiknya, tidak ada sedikitpun pikiran untuk bermalam di tempat lain. Ia tetap berpikir bahwa ia harus pulang. Ia juga tidak marah dengan tindakan istrinya. Bahkan, ia mencoba berpikir positif, “Mungkin istriku sedang kelelahan.”
Memang benar, berpikir positif cukup sulit. Kita pun banyak dididik dan diasuh dengan pikiran-pikiran negatif. Akan tetapi, sulit tidak berarti mustahil, bukan?
Di batas minimal, kita bisa belajar untuk bebas dari praduga-praduga. Kita menahan diri hingga ada bukti nyata. Bahkan, kita melakukan pengecekan terhadap kebenaran bukti nyata itu. Ada kehati-hatian dalam diri kita.
Kita tetap mendengarkan komentar terhadap sikap kita yang hati-hati. Kita memberikan apresiasi. Bahkan, ini memacu kita untuk terus berhati-hati sekaligus mempercepat penyelesaian masalah.
Kita teguh dengan prinsip kehati-hatian dan mengutamakan konfirmasi serta konfrontasi ketimbang menyimpan praduga-praduga. Kita sadar bahwa praduga-praduga yang dipelihara / dipendam lebih banyak berakhir pada hubungan yang renggang –bahkan, bisa jadi sangat rusak. Selain itu, seringkali ada pertimbangan yang tersembunyi dalam sebuah tindakan. Ingat peristiwa Nabi Musa dan Nabi Khidir alaihimassalam dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi, kan?
Selain itu, memendam praduga mengakibatkan rasa sakit. Rasanya sangat tidak nyaman. Bila diteruskan, rasa tidak nyaman ini bisa berujung pada penyakit fisik sekaligus mental.
Tontonan buruk membuat kita berpikiran buruk? Ada di antara kita yang mungkin menampik. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa tontonan buruk menumbuhkan kewaspadaan. Sehingga, kita bisa terhindar dari berbagai tipu daya.
Kita memberikan ruang terhadap pendapat ini. Kita juga setuju bahwa hidup diliputi sejumlah tipu daya. Sebagiannya datang dari orang yang jelas-jelas jauh dengan kita, sebagiannya berasal dari musuh dalam selimut.
Bila pendapat ini menjadi pilihan, semoga batas kewaspadaan dijaga dengan konsisten. Hal ini penting, karena orang lain bisa jadi merasa dicurigai. Alhasil, dia tidak nyaman dalam bersosialisasi.
Adapun bagi mereka yang setuju dengan akibat tontonan buruk serta terbiasa dengan kebebasan diri dari praduga, semoga ketelitian terus melekat. Apalagi, ada orang-orang yang siap memanipulasi dirinya agar selalu tampak baik. Tanpa ketelitian, bisa jadi, jebakan segera menerkam.
Inilah pilihan kita dalam bersikap, semoga kita dapat menentukan dengan bijak. Wallahu a’lam bishshawab. (df abdurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar