Seorang
suami pulang kemalaman. Dia ketuk pintu rumahnya. Dia pun berharap agar pintu
segera dibuka. Akan tetapi, pintu terus tertutup. Rasanya ia semakin ingin
masuk rumah.
Akhirnya,
pintu pun terbuka. Yang dilihatnya adalah wajah istrinya yang cemberut. Ada
amarah yang jelas terasa.
Dia
merasa sangat tidak nyaman. Apalagi sejumlah kata umpatan yang terdengar sangat
jelas. “Mengapa istriku tidak bertanya terlebih dahulu? Tidakkah ia tahu bahwa
ban motorku bocor dan aku menuntun motorku cukup jauh sebelum akhirnya aku
menemukan tukang tambal ban?” demikian batinnya.
Hal
baiknya, tidak ada sedikitpun pikiran untuk bermalam di tempat lain. Ia tetap
berpikir bahwa ia harus pulang. Ia juga tidak marah dengan tindakan istrinya.
Bahkan, ia mencoba berpikir positif, “Mungkin istriku sedang kelelahan.”
Memang
benar, berpikir positif cukup sulit. Kita pun banyak dididik dan diasuh dengan
pikiran-pikiran negatif. Akan tetapi, sulit tidak berarti mustahil, bukan?
Di
batas minimal, kita bisa belajar untuk bebas dari praduga-praduga. Kita menahan
diri hingga ada bukti nyata. Bahkan, kita melakukan pengecekan terhadap
kebenaran bukti nyata itu. Ada kehati-hatian dalam diri kita.
Kita
tetap mendengarkan komentar terhadap sikap kita yang hati-hati. Kita memberikan
apresiasi. Bahkan, ini memacu kita untuk terus berhati-hati sekaligus
mempercepat penyelesaian masalah.
Kita
teguh dengan prinsip kehati-hatian dan mengutamakan konfirmasi serta konfrontasi
ketimbang menyimpan praduga-praduga. Kita sadar bahwa praduga-praduga yang
dipelihara / dipendam lebih banyak berakhir pada hubungan yang renggang
–bahkan, bisa jadi sangat rusak. Selain itu, seringkali ada pertimbangan yang
tersembunyi dalam sebuah tindakan. Ingat peristiwa Nabi Musa dan Nabi Khidir alaihimassalam
dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi, kan?
Selain
itu, memendam praduga mengakibatkan rasa sakit. Rasanya sangat tidak nyaman.
Bila diteruskan, rasa tidak nyaman ini bisa berujung pada penyakit fisik
sekaligus mental.
Tontonan
buruk membuat kita berpikiran buruk? Ada di antara kita yang mungkin menampik.
Bahkan, ada yang berpendapat bahwa tontonan buruk menumbuhkan kewaspadaan.
Sehingga, kita bisa terhindar dari berbagai tipu daya.
Kita
memberikan ruang terhadap pendapat ini. Kita juga setuju bahwa hidup diliputi
sejumlah tipu daya. Sebagiannya datang dari orang yang jelas-jelas jauh dengan kita,
sebagiannya berasal dari musuh dalam selimut.
Bila
pendapat ini menjadi pilihan, semoga batas kewaspadaan dijaga dengan konsisten.
Hal ini penting, karena orang lain bisa jadi merasa dicurigai. Alhasil, dia
tidak nyaman dalam bersosialisasi.
Adapun
bagi mereka yang setuju dengan akibat tontonan buruk serta terbiasa dengan kebebasan
diri dari praduga, semoga ketelitian terus melekat. Apalagi, ada orang-orang
yang siap memanipulasi dirinya agar selalu tampak baik. Tanpa ketelitian, bisa
jadi, jebakan segera menerkam.
Inilah
pilihan kita dalam bersikap, semoga kita dapat menentukan dengan bijak. Wallahu
a’lam bishshawab. (df abdurrohman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar