Senin, 05 Desember 2011

Mental Kemandirian Anak-Anak Kita


Anak lelaki itu diam seribu bahasa. Akan tetapi, ia melakukannya dengan satu tujuan penting. Ia sedang mengumpulkan segenap keberaniannya. Karena sebentar lagi, ia dan juga sejumlah temannya akan memulai perburuan pertama.
Ia adalah satu dari sekian banyak anak lelaki yang mengikuti ujian perburuan di daerah pedalaman. Sebagaimana layaknya anak lelaki yang menginjak remaja, ia harus lulus di ujian perburuan ini. Karena dengan kelulusan ini, ia akan dianggap sebagai lelaki dewasa. Ia akan mendapatkan sejumlah hak, terutama hak sosial –diakui sebagai orang dewasa yang harus diajak dialog ketimbang hanya diperintah. Hak-hak ini sangat penting dan layak diperjuangkan. Sehingga, dalam diamnya, ia juga mengumpulkan sejuta doa agar lulus.
Di belahan dunia lainnya, tepatnya di daerah perkotaan, sejumlah anak berkonsentrasi penuh di depan layar komputer sembari mendengarkan sang guru berbicara. Semua indera digunakan untuk memproses semua informasi agar dapat memahami materi pelajaran saat itu. Karena bila tidak, otomatis mereka harus belajar dengan keras lagi di rumah.  
Di pelosok desa sana, kita menemukan sejumlah anak desa yang mencari rumput untuk kambing-kambing mereka. Mereka melakukannya karena sadar bahwa mereka juga harus bekerja demi keluarga. Paling tidak, untuk biaya sekolah mereka sendiri.
Gambaran-gambaran tersebut sarat nostalgia, dan saat ini, kita akan mendiskusikannya. Kita berharap mendapatkan perbandingan gambaran yang utuh dan sekaligus analisa yang baik. Dengan demikian, kita mengetahui apa yang terbaik bagi anak-anak kita yang sedang mengalami proses peralihan.
Di kehidupan ini, seorang anak mengalami fase hidup yang cukup lama sebelum mencapai usia remaja dan dewasa. 15 tahunan, itulah kurang lebih rentang waktunya. Dalam rentang waktu selama itu, seorang anak perlu belajar banyak hal. Tujuannya, agar ia bisa bertahan hidup. Lebih baik lagi, ia dapat mengembangkan dan mensejahterakan hidup.
Mungkin di antara kita, ada yang tidak setuju bahwa bertahan hidup adalah tujuan pembelajaran. Bila demikian adanya, bisakah kita menganggap bertahan hidup sebagai salah satu tujuan pembelajaran?
Jikalau kita mengamati lebih jauh, anak pedalaman perlu belajar berburu, karena demikianlah cara bertahan hidup di pedalaman. Demikian pula anak desa yang perlu belajar mencari rumput dan beternak. Anak yang hidup di kota? Mereka perlu belajar dengan fokus guna meningkatkan kompetensi. Dengan demikian, mereka dapat menyelesaikan masalah kompleks –sekompleks kehidupan di perkotaan- secepat dan seakurat mungkin.
Satu pertanyaan kemudian mengemuka, adakah satu mentalitas yang sama yang harus ada pada setiap anak di corak kehidupan yang berbeda?
Sebelum menjawabnya, ada pertanyaan yang mungkin bisa kita jadikan pijakan: Adakah mereka harus menjalani hidup mereka sendiri? Adakah mereka harus menyelesaikan masalah mereka sendiri?
Bila iya, maka jawaban atas pertanyaan di atas adalah mental kemandirian. Hal ini dikarenakan anak-anak kita akan menjalani semua kehidupannya sendirian. Kalaupun ia meminta bantuan orang lain, dia tetaplah yang bertanggung jawab.
Dengan demikian, kita perlu membincangkan langkah-langkah konkret dalam membangun kemandirian. Akan tetapi, insya Allah di lain waktu, kita melakukannya. Di kesempatan ini, kita cukupkan dengan membangun kesepakatan saja bahwa kemandirian sangat penting. Semoga masih ada umur panjang dan kemampuan di masa depan, amin.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar