Selasa, 06 Desember 2011

Membangun Mental Kemandirian Anak-Anak Kita

Ketika kita berbuat salah, lalu mendapat marah dari orang-orang sekitar kita, apa yang kita rasakan? Perasaan positifkah atau sebaliknya? Adakah komentar orang-orang itu melahirkan semangat perbaikan?
Apabila kesalahan disikapi dengan cara tersebut berulang-ulang, apa yang akan mengendap dalam diri kita? Apakah kita akan nyaman untuk terus berada di lingkungan tersebut?
Kita sudah sama-sama tahu dan paham jawabannya. Rasa tidak nyaman dan tidak betah akan mengendap kuat. Ini kemudian melahirkan berbagai perilaku yang tidak menyenangkan, dan semuanya terjadi tanpa kita sadari. Ada semacam mekanisme internal untuk mempertahankan diri, sekalipun itu dengan cara yang sangat tidak kita sukai.
Bila kita yang sudah dewasa merasakan ketidaknyamanan, apalagi anak-anak kita yang sedang tumbuh. Mereka belum memahami betul kandungan dari sebuah sikap / perkataan. Yang mereka pahami adalah cara orang bersikap. Apabila sikap seseorang kepadanya negatif, yang dirasakannya juga negatif.
Ibarat tanaman yang sedang tumbuh untuk kokoh, demikian pula anak-anak kita. Mereka membutuhkan begitu banyak prasyarat dan sarana agar dapat tumbuh dengan baik. Mereka perlu disiram dengan kata-kata baik dari orang tua, dipupuk dengan motivasi-motivasi yang proporsional, sekaligus membutuhkan lingkungan yang penuh kasih sayang. Kekurangan pada satu unsur penumbuhan akan berakibat cukup fatal, yakni pertumbuhan yang tidak optimal.
Kenyamanan suasana merupakan tugas orang tua yang paling berat. Apalagi, orang tua saat ini cenderung mudah stres. Ada banyak tekanan yang mengarah padanya di satu sisi, dan kurangnya penghayatan ikhlas di sisi yang lain.
Akan tetapi, sebagai orang tua, insya Allah kita masih mampu mewujudkan kenyaman itu. Dengan segenap upaya dan doa, Allah SWT pasti membantu. Apalagi, kita memiliki teman-teman yang suportif.
Kenyamanan pada anak-anak akan memberikan ruang bagi mereka untuk terus bereksplorasi. Mereka tidak takut. Mereka memiliki keyakinan bahwa orang-orang dewasa sekelilingnya betul-betul aman dan nyaman bagi mereka.
Eksplorasi yang terus menerus, disertai refleksi dari orang dewasa, akan membantu anak-anak menguatkan kapasitas pikiran dan emosionalnya. Mereka menjadi taktis, cerdik, sekaligus berani. Mereka memiliki hitungan cermat, tanpa jadi peragu. Alhasil, lambat laun, orang tua dapat melepas mereka bermain sendiri. Orang tua yakin mereka mulai mandiri.
Memang benar, kata-kata terasa mudah diucapkan ketimbang dilaksanakan. Siapapun akan sepakat bahwa membangun kemandirian anak butuh waktu yang lama. Kesabaran yang ada terkadang tidak seimbang dengan waktu yang diperlukan.
Ataukah kita perlu belajar dari orang tua kita tentang kesabaran dan ikhlas? Ya, betapa mereka tidak menimpakan target apapun kepada kita. Yang mereka harapkan –sejauh ingatan kita- adalah kebiasaan ibadah. Selain ibadah, rasanya tidak ada.
Mungkinkah secara tidak sadar kita menimpakan target-target tertentu pada anak kita? Sehingga, kita menjadi tergesa-gesa? Bukankah tergesa-gesa dari setan –kecuali dalam kebaikan?
Semoga tidak ada yang marah dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena kita mungkin perlu lebih sabar lagi. Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar