Selasa, 13 Desember 2011

Kita dan Keaslian Kita


Siang itu, cuaca tidak terlalu terik. Kipas angin menyala dengan baik. Apalagi pergerakan kereta dengan kecepatan sedang menghembuskan angin yang semilir. Rasanya benar-benar nyaman.
Para penumpang di kereta terlihat asyik berbincang. Siapapun akan menikmati situasi itu bukan? Termasuk dua wanita di salah satu kursi penumpang. Mereka asyik bicara, padahal baru saja berjumpa.
Entah karena benar-benar ingin bicara atau hanya basa-basi, mereka terus asyik berbincang sepanjang jalan. Senyum sering mengembang di wajah keduanya. Terkadang, mimik serius juga terlihat. Sebuah perbincangan yang komunikatif?
Bila komunikatif hanya diartikan dengan sampainya pesan, perbincangan kedua wanita itu dapat dikategorikan komunikatif. Ada ketersambungan perbincangan. Akan tetapi, bila komunikatif diartikan lebih jauh, yakni tersambungnya perasaan antarindividu secara mendalam, perbincangan keduanya perlu ditinjau lagi sebelum dinyatakan komunikatif. Indikator tersambungnya hati tidak terlihat di sana. Tidak ada sama sekali kontak mata, apalagi kontak fisik. Padahal, antarkeduanya tidak ada penghalang berarti.
Ah, sebenarnya, apa yang dilakukan kedua wanita itu sama dengan apa yang sering kita lakukan. Bahkan, yang kita –atau sebagian dari kita- lakukan bisa lebih buruk lagi. Bukankah sering ada komentar buruk setelah perbincangan yang terlihat manis?
Mimik manis memang sering dijadikan topeng. Sehingga, perbincangan menjadi terasa hangat. Padahal, dalam hati, ada sejuta keinginan untuk mengakhiri kalam perbincangan.
Inilah salah satu problem serius komunikasi. Perasaan terdalam sering tertutupi oleh mimik yang sangat berbeda. Dengan demikian, tidak ada ketersambungan. Dalam kata lain, tidak ada keaslian –untuk tidak menyebut ‘tidak ada kejujuran’.
Keaslian yang hilang pada waktu singkat mungkin cukup ringan. Senyum selama 15 menitan masih dapat dilakukan dengan baik. Akan tetapi, adakah yang sanggup lebih dari itu?
Keaslian yang hilang membuat banyak pihak tidak nyaman. Yang bicara dan yang diajak bicara, keduanya sama-sama tidak nyaman. Hal ini wajar saja, karena manusia mempunyai kebutuhan untuk mengekspresikan dirinya secara lugas, apa adanya. Pengekangan ekspresi berarti pengekangan keinginan. Bila keinginan makan hanya dapat diselesaikan dengan makan, demikian pula dengan keinginan ekspresi. Tanpa kebebasan ekspresi, yang ada hanya tumpukan rasa frustasi dan marah.
Inilah tantangan komunikasi. Kita semua dituntut untuk selalu menampilkan keaslian kita. Apapun yang kita rasakan, itu pulalah yang kita ekpresikan, dan kita melakukannya dengan sangat nyaman. Kita pun siap bertanggung jawab dengan ekspresi kita. Hal ini dikarenakan kita selalu mengukur diri dan lingkungan kita sebelum menampilkan ekspresi, tidak sembarangan dan lepas tanggung jawab.
Hilangnya keaslian dapat berakibat fatal bila kita biarkan. Paling tidak, kebohongan akan terus kita lakukan. Parahnya, kita tahu dan paham bahwa kita sedang berbohong. Ada perilaku bohong yang dibudayakan.
Kalau sudah demikian, kepada siapakah kita akan memberikan kepercayaan? Kepada diri kita? Bukankah kita sudah tahu dan paham bahwa kita sering berbohong?
Bila daftar pertanyaannya diteruskan, kita akan mendapat pertanyaan, bagaimanakah rasanya hidup tanpa percaya kepada siapapun?
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar