Kamis, 08 Desember 2011

Ketergantungan Teknologi


Masihkah kita ingat kegiatan para orang tua di pagi hari? Benar sekali, ada banyak jawaban. Salah satunya, membaca koran dan minum kopi ya? Kita amati mereka sangat santai. Mereka menikmati betul kegiatan ini, seakan-akan hidup ini bebas dari masalah.
Bagaimana dengan kita? Apa yang biasa kita lakukan di pagi hari? Menonton TV, pegang HP, atau buka internet? Terasa santaikah?
Perkembangan zaman memang menawarkan gaya hidup yang berbeda-beda. Apa yang dilakukan dulu bisa jadi tidak lagi dilakukan sekarang. Apabila ada yang masih dilakukan, mungkin maknanya sudah beda.
Ada satu pengalaman yang mungkin berharga. Suatu ketika, dalam sebuah pelatihan, tiba-tiba listrik mati. Sejumlah peserta kebingungan, karena mereka merasakan kesulitan bila presentasi tanpa LCD. Akan tetapi, ini tidak terjadi pada seorang peserta. Dengan tenang, ia maju dan berdiri di tengah-tengah forum. Ia pun menyampaikan presentasi dengan baik, meskipun tanpa LCD. Ia –seorang guru yang sudah mengajar lebih dari 20 tahun- sempat menyentil peserta yang rata-rata masih muda, “Inilah satu keunggulan guru zaman dulu, bisa tampil walaupun tanpa LCD.”
Para peserta pun tertawa. Mereka menertawakan diri sendiri, ah, betapa tinggi ketergantungan kepada teknologi. Sehingga, rasanya setengah mati tanpa bantuan teknologi.
Seorang guru pernah menyepakati satu hal bahwa anak sekarang memiliki tingkat baca yang rendah. Apalagi, saat ini teknologi mesin pencari informasi di internet sangat canggih. Pemakai tinggal menuliskan kata kunci, sejumlah informasi akan keluar.
Rata-rata tingkat konsentrasi anak pun mulai menurun. Apalagi, bila sang anak sering bermain game. Rentang konsentrasinya lebih pendek lagi.
Di sisi lain, sejumlah anak terinspirasi oleh teknologi. Mereka melanjutkan studi di bidang-bidang kreatif yang berhubungan dengan teknologi. Contohnya, seorang anak belajar menggambar setelah terinspirasi teknologi film kartun Jepang.
Kita bisa menyebut fenomena-fenomena tersebut dengan dilema teknologi. Di sisi lain, ada hal positif. Di sisi lain, ada hal negatif.
Seorang penulis di surat kabar menyarankan, “Mungkin inilah saat yang tepat bagi kita untuk mengukur proporisonalitas teknologi.”
Seandainya tanpa teknologi tertentu, seseorang tidak lagi mampu mengerjakan sesuatu, mungkin dia sudah mengalami ketergantungan teknologi. Sebagai misal, saat ini, sebagian teman sudah malas menulis dengan tangan. Mereka lebih suka menulis dengan komputer. “Lebih rapih,” alasannya. Misal yang lain adalah telepon genggam. Bila telepon genggam tertinggal, kita sepertinya terbelit masalah hebat. Ada sms masuk, langsung kita ingin membukanya, tanpa peduli sedang apa dan di mana.
Tulisan ini mungkin ada baiknya dicukupkan dulu. Penulisnya perlu merenung agar terhindar dari ketergantungan teknologi. Bagaimana dengan pembaca?
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Rabu, 07 Desember 2011

Tiga Dimensi Pembuatan Keputusan


Dalam membuat keputusan, sadar atau tidak sadar, kita mempertimbangkan tiga dimensi. Pertama, ada dimensi masa lalu. Paling tidak, kita sering menggunakan pengalaman masa lalu sebagai pertimbangan, baik pengalaman sendiri ataupun orang lain. Kedua, ada dimensi masa kini. Bukankah keputusan diambil sekarang dan di sini? Ketiga, ada dimensi masa depan. Benar sekali, karena sebuah keputusan memiliki dampak yang terkadang cukup bermakna di masa depan.
Dari hal yang kecil hingga besar, kita menggunakan ketiga dimensi ini. Sebuah contoh adalah membeli baju. Kita mempertimbangkan pengalaman membeli baju di sebuah toko. Jika menyenangkan, kita akan kembali ke toko itu. Bila tidak, kita tidak akan kembali. Kita juga mempertimbangkan perkembangan fashion masa kini. Kita khawatir seandainya baju yang kita pilih tidak up to date. Kita juga sangat perhatian pada kemungkinan tubuh kita melar, hingga terkadang membeli baju yang ukurannya lebih besar dari ukuran  badan kita saat ini.
Bagaimana dengan memilih jodoh? Ada kemungkinan kita akan sepakat bahwa perlu banyak hal yang dipertimbangkan. Selain ketiga dimensi yang sudah disebutkan, dimensi-dimensi lain juga diperhatikan. Selain pengalaman masa lalu dan kemungkinan masa depan, kita juga akan mempertimbangkan aspek kesukuan, keluarga, dan lain sebagainya.
Dikarenakan tiga dimensi ini sangat penting, ada baiknya kita terus mengembangkan kapasitas kita di ketiganya. Aspek pengalaman, misalnya, dapat dibangun dengan mempelajari sejarah bangsa-bangsa. Pengalaman-pengalaman mereka –baik positif maupun negatif- dapat dijadikan referensi penting, terutama bila konteks kondisi kita saat ini tidak jauh beda dengan masa lalu. Seorang sejarahwan, Ibnu Khaldun, menyatakan pentingnya ilmu sejarah. Apalagi bagi seorang pengambil keputusan, sejarah menjadi lebih penting lagi.
Mengamati dan mempelajari kemajuan suatu bangsa dapat dikategorikan sebagai upaya meningkatkan kapasitas pengalaman. Melihat –baik langsung maupun tidak- serta mengambil hikmah kemajuannya dapat mengantarkan kita memiliki kemampuan strategis, yakni sekumpulan ide untuk melakukan pengembangan atas diri maupun lingkungan kita.
Selanjutnya, meningkatkan kapasitas dimensi masa kini. Kita dapat melakukannya dengan meningkatkan akurasi kita dalam menilai diri atau lingkungan kita. Ibarat membuat baju, kita perlu memastikan ukurannya pas sesuai harapan kita. Ukuran yang terlalu besar atau kecil, keduanya sama-sama membuat kita tidak nyaman.
Ada banyak metode yang diperkenalkan untuk dapat menilai diri secara akurat. Sebagai misal, ada model SWOT dan 4C’s diamond. Masing-masing model memiliki spesifikasi tersendiri, tergantung kebutuhan saja.
Menilai diri secara akurat sangat penting. Karena inilah pijakan kita dalam mengambil keputusan dan tindakan. Apapun yang akan kita lakukan, tidak mungkin kan melebihi kemampuan yang ada?  
Terakhir adalah dimensi masa depan. Ya, benar, keberlanjutan sebuah keputusan sangat penting diperhatikan. Istilahnya adalah ‘sustainability’, yakni sebuah upaya agar keputusan masa kini dapat berdampak pada pembuatan keputusan yang lebih mudah di masa depan. Kita tidak berharap keputusan masa kini direvisi di masa depan. Bukan berarti tidak boleh ada revisi keputusan, tetapi revisi keputusan seringkali menunjukkan visi yang lemah. Hal ini dapat mengurangi kredibilitas di mata publik. Adapun keberlanjutan keputusan, selain mempermudah pekerjaan, juga mempermudah impelementasi visi.
Well, ada kata ‘visi’ di sini. Mungkin ada yang bisa menjelaskan maknanya?
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Selasa, 06 Desember 2011

Membangun Mental Kemandirian Anak-Anak Kita

Ketika kita berbuat salah, lalu mendapat marah dari orang-orang sekitar kita, apa yang kita rasakan? Perasaan positifkah atau sebaliknya? Adakah komentar orang-orang itu melahirkan semangat perbaikan?
Apabila kesalahan disikapi dengan cara tersebut berulang-ulang, apa yang akan mengendap dalam diri kita? Apakah kita akan nyaman untuk terus berada di lingkungan tersebut?
Kita sudah sama-sama tahu dan paham jawabannya. Rasa tidak nyaman dan tidak betah akan mengendap kuat. Ini kemudian melahirkan berbagai perilaku yang tidak menyenangkan, dan semuanya terjadi tanpa kita sadari. Ada semacam mekanisme internal untuk mempertahankan diri, sekalipun itu dengan cara yang sangat tidak kita sukai.
Bila kita yang sudah dewasa merasakan ketidaknyamanan, apalagi anak-anak kita yang sedang tumbuh. Mereka belum memahami betul kandungan dari sebuah sikap / perkataan. Yang mereka pahami adalah cara orang bersikap. Apabila sikap seseorang kepadanya negatif, yang dirasakannya juga negatif.
Ibarat tanaman yang sedang tumbuh untuk kokoh, demikian pula anak-anak kita. Mereka membutuhkan begitu banyak prasyarat dan sarana agar dapat tumbuh dengan baik. Mereka perlu disiram dengan kata-kata baik dari orang tua, dipupuk dengan motivasi-motivasi yang proporsional, sekaligus membutuhkan lingkungan yang penuh kasih sayang. Kekurangan pada satu unsur penumbuhan akan berakibat cukup fatal, yakni pertumbuhan yang tidak optimal.
Kenyamanan suasana merupakan tugas orang tua yang paling berat. Apalagi, orang tua saat ini cenderung mudah stres. Ada banyak tekanan yang mengarah padanya di satu sisi, dan kurangnya penghayatan ikhlas di sisi yang lain.
Akan tetapi, sebagai orang tua, insya Allah kita masih mampu mewujudkan kenyaman itu. Dengan segenap upaya dan doa, Allah SWT pasti membantu. Apalagi, kita memiliki teman-teman yang suportif.
Kenyamanan pada anak-anak akan memberikan ruang bagi mereka untuk terus bereksplorasi. Mereka tidak takut. Mereka memiliki keyakinan bahwa orang-orang dewasa sekelilingnya betul-betul aman dan nyaman bagi mereka.
Eksplorasi yang terus menerus, disertai refleksi dari orang dewasa, akan membantu anak-anak menguatkan kapasitas pikiran dan emosionalnya. Mereka menjadi taktis, cerdik, sekaligus berani. Mereka memiliki hitungan cermat, tanpa jadi peragu. Alhasil, lambat laun, orang tua dapat melepas mereka bermain sendiri. Orang tua yakin mereka mulai mandiri.
Memang benar, kata-kata terasa mudah diucapkan ketimbang dilaksanakan. Siapapun akan sepakat bahwa membangun kemandirian anak butuh waktu yang lama. Kesabaran yang ada terkadang tidak seimbang dengan waktu yang diperlukan.
Ataukah kita perlu belajar dari orang tua kita tentang kesabaran dan ikhlas? Ya, betapa mereka tidak menimpakan target apapun kepada kita. Yang mereka harapkan –sejauh ingatan kita- adalah kebiasaan ibadah. Selain ibadah, rasanya tidak ada.
Mungkinkah secara tidak sadar kita menimpakan target-target tertentu pada anak kita? Sehingga, kita menjadi tergesa-gesa? Bukankah tergesa-gesa dari setan –kecuali dalam kebaikan?
Semoga tidak ada yang marah dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena kita mungkin perlu lebih sabar lagi. Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman) 

Senin, 05 Desember 2011

Mental Kemandirian Anak-Anak Kita


Anak lelaki itu diam seribu bahasa. Akan tetapi, ia melakukannya dengan satu tujuan penting. Ia sedang mengumpulkan segenap keberaniannya. Karena sebentar lagi, ia dan juga sejumlah temannya akan memulai perburuan pertama.
Ia adalah satu dari sekian banyak anak lelaki yang mengikuti ujian perburuan di daerah pedalaman. Sebagaimana layaknya anak lelaki yang menginjak remaja, ia harus lulus di ujian perburuan ini. Karena dengan kelulusan ini, ia akan dianggap sebagai lelaki dewasa. Ia akan mendapatkan sejumlah hak, terutama hak sosial –diakui sebagai orang dewasa yang harus diajak dialog ketimbang hanya diperintah. Hak-hak ini sangat penting dan layak diperjuangkan. Sehingga, dalam diamnya, ia juga mengumpulkan sejuta doa agar lulus.
Di belahan dunia lainnya, tepatnya di daerah perkotaan, sejumlah anak berkonsentrasi penuh di depan layar komputer sembari mendengarkan sang guru berbicara. Semua indera digunakan untuk memproses semua informasi agar dapat memahami materi pelajaran saat itu. Karena bila tidak, otomatis mereka harus belajar dengan keras lagi di rumah.  
Di pelosok desa sana, kita menemukan sejumlah anak desa yang mencari rumput untuk kambing-kambing mereka. Mereka melakukannya karena sadar bahwa mereka juga harus bekerja demi keluarga. Paling tidak, untuk biaya sekolah mereka sendiri.
Gambaran-gambaran tersebut sarat nostalgia, dan saat ini, kita akan mendiskusikannya. Kita berharap mendapatkan perbandingan gambaran yang utuh dan sekaligus analisa yang baik. Dengan demikian, kita mengetahui apa yang terbaik bagi anak-anak kita yang sedang mengalami proses peralihan.
Di kehidupan ini, seorang anak mengalami fase hidup yang cukup lama sebelum mencapai usia remaja dan dewasa. 15 tahunan, itulah kurang lebih rentang waktunya. Dalam rentang waktu selama itu, seorang anak perlu belajar banyak hal. Tujuannya, agar ia bisa bertahan hidup. Lebih baik lagi, ia dapat mengembangkan dan mensejahterakan hidup.
Mungkin di antara kita, ada yang tidak setuju bahwa bertahan hidup adalah tujuan pembelajaran. Bila demikian adanya, bisakah kita menganggap bertahan hidup sebagai salah satu tujuan pembelajaran?
Jikalau kita mengamati lebih jauh, anak pedalaman perlu belajar berburu, karena demikianlah cara bertahan hidup di pedalaman. Demikian pula anak desa yang perlu belajar mencari rumput dan beternak. Anak yang hidup di kota? Mereka perlu belajar dengan fokus guna meningkatkan kompetensi. Dengan demikian, mereka dapat menyelesaikan masalah kompleks –sekompleks kehidupan di perkotaan- secepat dan seakurat mungkin.
Satu pertanyaan kemudian mengemuka, adakah satu mentalitas yang sama yang harus ada pada setiap anak di corak kehidupan yang berbeda?
Sebelum menjawabnya, ada pertanyaan yang mungkin bisa kita jadikan pijakan: Adakah mereka harus menjalani hidup mereka sendiri? Adakah mereka harus menyelesaikan masalah mereka sendiri?
Bila iya, maka jawaban atas pertanyaan di atas adalah mental kemandirian. Hal ini dikarenakan anak-anak kita akan menjalani semua kehidupannya sendirian. Kalaupun ia meminta bantuan orang lain, dia tetaplah yang bertanggung jawab.
Dengan demikian, kita perlu membincangkan langkah-langkah konkret dalam membangun kemandirian. Akan tetapi, insya Allah di lain waktu, kita melakukannya. Di kesempatan ini, kita cukupkan dengan membangun kesepakatan saja bahwa kemandirian sangat penting. Semoga masih ada umur panjang dan kemampuan di masa depan, amin.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Minggu, 04 Desember 2011

Menghargai Kehidupan

Wanita itu menangisi kematian suaminya. Ia baru menyadari bahwa suaminya begitu berarti. Ia juga begitu menyesal karena merasa belum memberikan yang terbaik.
Sebenarnya, ia telah menyadari kebaikan suaminya jauh-jauh hari sebelum suaminya wafat. Hanya saja, rasa kehilangan itu ternyata memberikan hentakan psikologis yang sangat berat. Seakan-akan separuh jiwa ikut melayang.
Ia pun berpesan kepada setiap pentakziyah agar menyayangi pasangannya. Menyia-nyiakan pasangan, pesannya, hanya akan menimbulkan rasa sakit yang sangat dalam pada saat perpisahan –sebuah rasa sakit yang menggelapkan hampir seluruh harapan kehidupan.
Inilah yang mungkin dimaksud dengan ‘menghargai kehidupan’, sebuah sikap menghargai setiap kebaikan yang diberikan makhluk hidup sekitar kita. Mungkin makhluk hidup itu bernama burung, dan ia hanya dapat bernyanyi merdu setiap harinya. Mungkin makhluk hidup itu bernama cacing, dan ia hanya mampu menyuburkan tanah setiap detiknya. Mungkin makhluk hidup itu bernama manusia –dan juga orang yang terdekat dengan kita, dan ia hanya mampu memberikan sebuah senyuman kepada kita.
Ketika kita menghargai kehidupan, kita akan berupaya melihat segala sesuatu yang hidup dengan penglihatan yang positif. Kita memang melihat sisi negatif atau kekurangannya, tapi kita selalu fokus –atau bahkan- memperbesar pada sisi positifnya. Dengan demikian, kita dapat berharap bahwa sisi positif itu akan lebih banyak berdampak kepada kita daripada negatifnya.
Ada begitu banyak teman yang berpisah dengan kita, sedari kita kecil hingga dewasa. Sebagian teman itu berpindah tempat. Sebagian lainnya sudah dipanggil oleh Yang Kuasa.
Dalam perpisahan itu, adakah penyesalan kita karena kita belum sempat mengungkapkan cinta? Ungkapan itu tidak melulu harus romantis. Ungkapan itu juga bukan berarti adanya hadiah atau kata-kata indah. Yang paling penting adalah sikap positif yang benar-benar lahir dari dalam lubuk jiwa. Sesuatu yang berasal dari jiwa akan menyentuh jiwa yang lain, itulah prinsipnya.
Oleh karena itu, rasanya tidak perlu malu untuk mengakui cinta dalam hati kita, sekaligus berusaha melihat yang dicinta dengan pandangan positif. Selanjutnya, biarlah jiwa kita bergerak untuk menyatakan cinta itu. Secara refleks, jiwa akan bekerja dengan baik. Dan ketika itu semua terjadi, marilah kita berdoa, semoga orang yang kita cinta tetap hidup –paling tidak, ia selalu hidup dalam kenangan manis kita. Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Kamis, 01 Desember 2011

Membuka Ruang Toleransi Untuk Orang Lain

Anak kita yang nilainya hanya naik satu poin, adakah ia memberikan kebahagiaan mendalam pada diri kita?
Pembantu yang bekerja ala kadarnya setelah sakit, adakah ia mendatangkan haru yang luar biasa di dada kita?
Semoga tidak ada yang tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tidak ada sedikitpun maksud menghakimi. Yang ada adalah harapan untuk saling mengevaluasi diri.
Sebagian kita memang terbiasa dengan kesempurnaan. Rumah yang bagus, fasilitas yang aman, dan makanan yang enak merupakan hal yang mudah kita nikmati. Di sisi lain, sebagian kita terbiasa dengan segala sesuatu yang serba sederhana. Sehingga, dengan perlahan, kita memiliki ambisi pada kesempurnaan. Kita bertekad bahwa hidup kita di masa depan haruslah sempurna.
Tidak ada maksud untuk menjelekkan cara hidup yang perfesionis. Siapapun boleh berpikir perfeksionis. Masalahnya, apakah hidup ini selalu sempurna?
Bila kita menuntut diri kita sempurna, kita bisa memiliki motivasi yang bagus. Kita bisa memiliki energi yang luar biasa untuk memiliki peningkatan kualitas hidup. Kita insya Allah dapat meraih banyak hal dalam hidup, baik material maupun nonmaterial.
Sementara itu, apabila kita menuntut orang lain untuk selalu sempurna, apa yang akan terjadi? Terkadang kita menemukan orang yang nyaris sempurna. Dia memiliki kepribadian yang baik, kinerja yang baik, serta cara komunikasi yang baik. Tidak jarang pula kita menemukan orang yang biasa saja di semua aspek dirinya. Kepribadian, kinerja, maupun cara komunikasi, semuanya biasa.
Apabila bertemu dengan orang yang hampir sempurna, kita tentu bahagia. Lalu, bagaimana perasaan kita manakala bertemu dengan orang biasa-biasa saja?
Jawaban kita tentu beragam. Yang jelas, bisakah kita sepakat bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT? Adapun makhluk-Nya pasti ada kekurangan dan kesalahan.
Dan, bisakah kita membuka ruang toleransi kepada orang lain? Bukan berarti kita membiarkan orang lain bersalah. Akan tetapi, kita memberikan ruang psikologis yang cukup nyaman untuk orang lain membenahi segala sesuatunya. Kita berharap kenyamanan yang kita berikan dapat berdampak perbaikan berjangka panjang. Meminjam istilah seorang ustadz, ‘Potensi manusia ibarat kuncup bunga. Bila dipaksa dengan cepat untuk mekar, kuncup itu akan hancur. Dengan memberikan cukup waktu dan kenyamanan, kita bisa berharap kuncup itu akan mekar dengan segala keindahannya.’ Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman) 

Rabu, 30 November 2011

Memperhatikan 'Isi' Diri Kita Secara Seimbang

Bendanya kecil dan ringan. Akan tetapi, perannya sangat besar. Kita membutuhkannya untuk membuka pintu atau apapun yang terkunci. Ya, itu adalah anak kunci.
Benda ini, secara umum, dimanjakan oleh pemiliknya. Paling tidak, aksesoris yang berkaitan dengannya terus membanjir di pasaran. Ada yang berukuran mungil, besar, halus, kasar, berwarna lembut, ataupun berwarna mencolok. Ada juga yang mirip boneka –bentuk dan juga bahannya. 
Seseorang bisa stres manakala kunci tidak diketemukan, padahal ada kepentingan mendesak. Tidak jarang, seseorang stres sebelum berangkat aktivitas, karena kunci kendaraan tidak kunjung diketemukan.
Peran kunci yang penting membuatnya memiliki tempat khusus. Paling tidak, ada sebagian orang yang memberikan tempat khusus, bisa berupa paku di dinding, kotak di meja, ataupun laci di lemari. Pemiliknya juga cenderung berdisiplin ketat tentang penyimpanan kunci ini, dan juga memberikan pengetatan kepada orang lain. Selesai pakai, kunci bisa disimpan di tempatnya kembali.
Peranan kunci yang begitu penting ini memberikan satu inspirasi kepada kita: Sesuatu itu tidak hanya dilihat dari wujud fisiknya, tapi lebih pada fungsinya. Ada hal yang lebih mendasar ketimbang hanya tampilan luarnya.
Dengan demikian, bagaimana jika kita mulai memperhatikan ‘isi’ dan ‘fungsi’ diri kita? Apakah sudah baik?
Biasanya, isi diri seseorang dikaitkan dengan intelektualitasnya. Dia cerdas dan terus mengikuti perkembangan zaman. Anggapan ini mendorong banyak orang untuk membaca buku dan media massa.
Di sisi lain, ada yang menyatakan bahwa isi diri seseorang dilihat dari emosionalnya. Ia orang yang tenang dalam kondisi apapun, termasuk dalam situasi yang genting.
Ada juga yang menyatakan bahwa isi diri seseorang dilihat dari konsistensi beribadah. Ia juga memperhatikan ajaran-ajaran agama, perintah dan larangannya. Ia kokoh memegang prinsip-prinsip agamanya.
Kalau kita dalami, isi diri manusia terdiri dari banyak aspek. Ibaratnya, aspek-aspek kedirian ini adalah bata untuk sebuah bangunan yang bernama ‘manusia’. Jika satu aspek kedirian ini hilang atau kurang berkualitas, seluruh bangunan kemanusiaan kita juga kurang baik.
Jika membangun kesempurnaan diri adalah mustahil, maka kita masih memiliki peluang untuk membangun keseimbangan. Karena bila fokus kita adalah keseimbangan, kita dapat terus menjalani hidup dengan stabil. Kita dapat memperbaiki aspek diri yang kurang, seiring dengan peningkatan aspek diri yang lain. Sebagai misal, kita dapat terus memperbaiki emosional kita, seiring dengan peningkatan spiritual kita. Bahkan kita yakin bahwa perbaikan spiritual akan memberikan dampak yang cukup besar kepada emosional.
Baiklah, bagaimana jika kita mulai hidup seimbang?
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)