Rabu, 11 April 2012

Memupus Iri Dengki


Kesenangan yang digenggam orang lain kerapkali melahirkan iri dengki. Sedikit atau banyak, rasa itu menyelinap. Pada sebagian orang yang lalai, rasa itu membesar. Ada yang membutuhkan waktu yang perlahan, dan ada pula yang cepat.
Dalam suasana penuh iri dengki, hidup terasa semakin berat. Bagaimana tidak, bila dalam rasa dengki ada kufur nikmat kepada-Nya? Ya, seseorang yang dengki memiliki perasaan bahwa Allah Ta’ala tidak adil. Ia merasa bahwa dirinya juga pantas menerima nikmat yang digenggam orang lain tersebut.
Kondisi hidup akan bertambah berat ketika orang-orang dalam satu lingkungan terjangkiti penyakit hati yang satu ini. Masing-masing merasa dirinya paling layak menerima kebaikan. Dalam pemahaman yang lain, ada perasaan bahwa orang lain seharusnya merasakan beban berat dirasakan. Ada perasaan yang begitu menyiksa manakala orang lain terlihat bahagia dengan senyum yang mengembang.
Lingkungan yang terjangkiti iri dengki akan melahirkan orang-orang yang berperilaku saling menyerang dan menjatuhkan. Di sisi lain, guna mempertahankan diri, perilaku-perilaku mempertahankan diri bermunculan. Ada perilaku menjaga imej, membentuk kubu-kubu / kelompok, dan sekaligus hipokrit (mencari muka).
Siapapun yang memiliki mata hati tentu resah dengan kondisi ini. Hal ini dikarenakan iri dengki menutup pintu-pintu kebaikan hakiki. Bahkan, sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW, iri dengki dapat memakan semua kebaikan –layaknya api memakan kayu bakar.
Lalu, bagaimanakah bila iri dengki sudah terlanjur mewabah? Pertama, di tingkat individu, seseorang seharusnya mempertahankan kejernihan mata hatinya. Ia perlu menguatkan pertahanan diri agar terus kokoh dalam ‘arus deras’ iri dengki. Berbagai ibadah dan kajian merupakan contoh upaya nyatanya.  Kedua, di tingkat lingkungan, sangat baik bila orang-orang dalam lingkungan itu menyadari bahwa iri dengki telah mewabah. Sehingga, setiap orang perlu menguatkan pertahanan diri sekaligus berpartisipasi aktif dalam menjernihkan lingkungannya.
Sebenarnya, jika ditelaah lebih mendalam, iri dengki berawal dari hilangnya rasa syukur. Nikmat Allah Ta’ala yang sangat banyak itu disikapi dengan pengabaian. Semuanya dianggap rendah. Akibatnya, yang dilihat di mana-mana adalah kekurangan saja. Kebaikan hampir menguap.
Selanjutnya, muncullah perasaan tidak disayang oleh Allah Ta’ala –perasaan yang membuat seseorang tidak merasakan kebaikan Allah Ta’ala sedikitpun. Ia pun mulai melirik kanan kirinya, mencari tahu apakah orang lain sama dengan dirinya. Apabila orang lain sama, diam-diam, ia bersyukur. Apabila orang lain lebih baik, diam-diam, ia mulai terbakar cemburu. Tanpa penyucian jiwa, perasaan ini pun menggunung dan mengobarkan hawa tidak nyaman ke sekitarnya.
Penyucian jiwa memang perkara yang berat. Ada cukup banyak amalan guna mencapainya. Wajar saja, sedikit sekali orang yang mau menjalaninya. Mereka yang abai atau enggan kerapkali mencari pembenaran.
Meskipun demikian, sebagaimana berulang-ulang disampaikan dalam sejumlah firman-Nya dalam Al-Qur’an, kebaikan itu untuk pemiliknya, bukan orang lain. Siapa saja yang menjalankan amalan kebaikan, dialah yang merasakan nikmatnya.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Selasa, 10 April 2012

Berkata Benar, Membangun Jiwa


Penolakan kerapkali bermuara pada perasaan negatif. Ada sesuatu yang sangat mengganjal dan menyesakkan dada. Beberapa orang bahkan merasakan pandangan yang kabur.
Penolakan yang terjadi satu atau dua kali mungkin hanya menyisakan sedikit guratan luka dalam hati. Hilang atau sembuhnya butuh waktu yang relatif sebentar. Dalam hitungan minggu, bahkan hari, guratan luka itu hampir tak berbekas.
Ini tentu saja berbeda dengan penolakan berkali-kali. Dampaknya jauh lebih dalam. Selain menimbulkan luka yang lebih sakit, penolakan berkali-kali ini dapat menimbulkan citra diri yang cenderung negatif. Bila diabaikan, citra diri negatif ini dapat berkembang pada kewaspadaan yang berlebihan dalam bersosialisasi.
Masalahnya kemudian, dunia ini penuh dengan penolakan. Dalam sehari, kita mungkin merasakan penolakan yang berkali-kali. Kita pun merasakan sakit yang amat sangat.
Meskipun demikian, sebagian orang menyatakan perasaan yang biasa saja bila ditolak. Sakit hati sudah terasa menguap. Semuanya berjalan seperti biasa.
Orang-orang ini memiliki ketahanan emosi yang luar biasa. Bagi mereka, penolakan bukanlah akhir, tapi sebuah awal yang baru. Sehingga, mereka senantiasa memulai –dan tentu saja penuh energi.
Di sisi lain, orang-orang tipe ini cenderung biasa saja ketika diterima. Mereka terlihat stabil. Kegembiraan nampak proporsional. Ada senyum dan mungkin tawa, tapi semuanya tidak terlihat norak.
Orang-orang yang berketahanan emosi ini memang terlatih dalam hidup. Sejumlah pengalaman telah membentuk mereka sedemikian rupa. Sehingga, dalam satu fase puncak hidupnya, ia sangat kokoh. Berbagai hal, buruk atau baik, semuanya terasa biasa saja.
Jauh lebih dalam, kita akan menemukan sesuatu yang lebih fundamental pada diri mereka. Dapat dikatakan inilah fondasi utama. Semakin kokoh fondasi ini, dalam keseharian, mereka semakin kuat.
Sebelumnya, marilah kita melihat masa lalu kita. Bukankah orangtua kita senantiasa memberikan nasehat dan pandangan-pandangannya terhadap kehidupan ini? Dan sadar atau tidak, bukankah kita hidup dengan pandangan-pandangan mereka?
Ya, pandangan orang tua yang benar terhadap hidup adalah fondasi utama dalam pembentukan kekuatan emosi anak. Apalagi, bila orangtua dapat menyampaikannya dengan cara komunikasi yang baik. Hasilnya tentu lebih dahsyat.
Orangtua memang dilarang keras untuk berbohong. Sekecil apapun, kebohongan dapat memperlemah jiwa anak. Sebagai misal, seringkali terdengar ungkapan, “Mejanya nakal,” padahal meja benda mati. Bagaimana meja bisa nakal? Bukankah ini akan memunculkan sikap melemparkan kesalahan pada pihak lain?
Maka, marilah kita berhenti sejenak. Bila kita terlanjur salah terdidik, mari kita menerima kenyataan guna membenahi diri. Adapun bila kita salah mendidik, mari kita mohon ampun kepada Allah Ta’ala sambil berdoa agar diberi kekuatan, sehingga kita bisa memperbaiki semuanya.
Allah Ta’ala pun berfirman,
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S. An-Nisa: 9)  

Wallaahu a’lam bishshawaab. (dufo abdurrohman)

Memulai Yang Kecil, Mempertahankan Konsistensi


Kita sering bertemu atau menemukan orang-orang yang sudah berusia lanjut. Dalam ketuaan yang sama-sama mereka jalani, mereka memiliki jalan yang berbeda-beda. Minimal, di aspek ibadah, ada yang tambah taat kepada ajaran agama dan ada pula yang  tambah jauh.
Menilik masa lalu, kita akan mendapatkan data bahwa sebagian mereka memang sudah taat selagi muda. Kini, mereka tinggal melanjutkan. Bahkan, ada yang semakin baik ketaatannya.
Ada pula yang masa lalunya buruk, tapi kini bertaubat. Mereka menjadi insan yang baik. Kebaikannya tidak hanya di masjid, tapi pula di rumah dan tempat-tempat publik. Mereka menyebarkan kebaikan di mana-mana.
Ada pula orang tua yang dari dulu hingga sekarang memiliki catatan perilaku yang buruk. Ada saja keburukan mereka. Bisa jadi, keburukan itu mewujud dalam emosi yang meluap-luap, ataupun nafsu yang terarahkan sembarangan.
Mungkin, yang paling menyedihkan adalah masa lalu baik yang diakhiri dengan buruk. Di masa lalu, seseorang begitu baik. Ya, ia baik dalam banyak aspek. Akan tetapi, seiring waktu, dengan berbagai faktor, ia terjebak dalam keburukan perilaku.
Inilah tantangan konsistensi: mempertahankan segala sesuatu yang baik dari awal hingga akhir. Inipun berat, sebagaimana diakui dan dinyatakan banyak orang. Ini jugalah yang sering dikeluhkan. Minimal, ada perkataan, “Mendapatkan lebih mudah ketimbang mempertahankan.”
Lalu, bagaimanakah kita mempertahankan konsistensi?
Ada satu resep dari Rasulullah SAW. Dalam salah satu haditsnya, sebagaimana diriwayatkan Bukhari Muslim, beliau bersabda, “Amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten, walaupun sedikit.”
Nah, kita menemukan kata-kata ‘walaupun sedikit.’ Maknanya, ada baiknya kita memulai segala sesuatu dari kecil. Lalu, kita merawatnya. Sehingga, yang kita rawat akan terus dan terus membesar. Seiring waktu, tanpa terasa, yang kita rawat telah kokoh –bahkan menyatu dengan diri kita.
Ini juga memberikan satu arahan kepada kita. Ya, hasrat terburu-buru untuk langsung besar memang sangat menggoda. Bila kita terhanyut dalam hasrat ini, kita perlu siap-siap terhanyut dalam ketidakkonsistenan. Bukankah sangat berat mengatur arus air yang besar, ketimbang memperbesar arus air perlahan-lahan?
Di titik ini, kitapun menyadari satu hal: pengendalian diri. Berbagai keinginan yang menghantui pikiran perlu diatur, ditata, dan diprioritaskan. Kita bisa saja meraih banyak hal. Insya Allah, ini hanyalah masalah waktu. Seiring waktu berjalan, dengan pengaturan yang baik, kita dapat meraih segalanya.
Sungguh, akan ada kesedihan manakala konsistensi kita kalah, runtuh pula yang dipertahankan. Sebelum itu terjadi, bisakah kita lebih mengendalikan diri?
Wallaahu a’lam bishshawaab. (dufo abdurrohman)

Selasa, 03 April 2012

Santunan Jiwa bagi Yang Lemah


Setiap kali ada berita penggusuran, ataupun berita-berita lain yang menyangkut orang-orang lemah, hati kita selalu tergerak. Kita pun selalu bertanya, “Tidak adakah alternatif lain dalam penyelesaian masalah yang ada?”
Pertanyaan tersebut kita munculkan karena kita memahami bahwa orang-orang lemah tidak selalu benar. Ada saat-saat mereka berbuat salah, baik kesalahan yang bersifat individual ataupun kolektif. Tidak jarang, mereka paham bahwa mereka telah berbuat kesalahan.
Di sisi lain, kita memahami bahwa orang-orang lemah ini memiliki sedikit sekali sumber daya hidup. Sehingga, tidak jarang, mereka kalap manakala hidup mereka terganggu. Apalagi, bila gangguan itu menyangkut kebutuhan-kebutuhan hidup yang mendasar.
Oleh karena itu, alangkah baiknya bila orang-orang lemah ini dipahami, diberikan empati dan sekaligus fasilitasi penyelesaian masalah dengan banyak pilihan. Sehingga, mereka dapat berpikir dengan lebih jernih. Selanjutnya, mereka diharapkan dapat membuat sebuah keputusan yang mantap.
Orang-orang lemah memang bisa dihadapi dengan kekuatan. Sekali sikat, mereka bisa habisi. Ini merupakan jalan pintas, hemat waktu dan energi. Yang melakukan ini juga cukup banyak.
Akan tetapi, selalu ada luka dalam penyelesaian masalah dengan kekuasaan. Amarah dan dendam dapat tumbuh dengan mudah. Seiring waktu, semuanya tertumpuk dan terpupuk, lalu muncul menjadi ledakan sosial yang cukup, bahkan sangat berat.
Orang-orang lemah memang butuh santunan jiwa yang jauh lebih luas, dan ini sangat berat bagi sebagian orang. Mereka beranggapan sia-sia saja memberikan lebih banyak pilihan solusi dan waktu. Apalagi, bila ada kepentingan ekonomis di sana.
Inilah tantangan orang-orang kuat. Mereka, dengan segenap sumber daya hidup yang ada, diharapkan sabar dan sadar. Bukankah orang-orang lemah saat ini dapat tumbuh kuat? Dan bukankah orang-orang kuat dapat saja ditakdirkan oleh Allah Ta’ala menjadi orang-orang lemah?
Sebenarnya, bila direnungkan lebih dalam, santunan jiwa dapat membawa manfaat yang besar bagi orang-orang kuat. Ya, mereka akan dikenal masyarakat sebagai orang baik. Mitra bisnis insya Allah akan membanjir, berbondong-bondong ingin mengajak kerja sama.
Lebih jauh, mereka akan dinilai Allah Ta’ala sebagai hamba yang baik. Allah Ta’ala pun akan membukakan banyak pintu kemudahan bagi mereka, di dunia maupun di akherat. Di dunia, rezekinya lapang. Di akherat, hidupnya nikmat.
Akan tetapi, bila semua manfaat itu tidak memotivasi orang-orang kuat untuk memberikan santunan jiwa, sebuah hadits perlu dicamkan baik-baik. Rasulullah SAW,
“Takutlah doa orang-orang yang terzhalimi, karena antara dirinya (doanya) dengan Allah tidak ada penghalang.” (H.R. Bukhari Muslim)

Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Selasa, 13 Maret 2012

Menghargai Pendahulu


Seorang anak yang tumbuh menuju keremajaan biasanya mengalami tekanan psikologis yang cukup berat. Badan yang tadinya kecil mulai membesar. Tekanan sosial yang tadinya hampir tiada, kini semakin menguat. Tadinya, mungkin, ia dibiarkan bermain-main. Akan tetapi, beranjak remaja, ia dituntut untuk lebih berpikir matang dan berkontribusi pada kehidupan sosial.
Begitu pula ketika seorang remaja menuju kedewasaan. Ia akan menemukan begitu banyak hal baru, dan juga tuntutan baru. Saat ini, ia dituntut lebih berkontribusi lagi dalam kehidupan sosial. Bahkan, mungkin memimpin sebuah perkumpulan / komunitas. Paling tidak, bagi seorang lelaki, ia diharapkan mampu memimpin perkumpulan yang bernama keluarga.
Hidup memang terus melaju kea rah depan. Kecil menjadi besar, muda menjadi tua, dan yang sejenisnya. Demikian Allah Ta’ala telah membuat ketetapan.
Satu hal yang sangat perlu digarisbawahi adalah menjaga keseimbangan hidup dalam fase kehidupan yang baru. Seorang anak kecil memiliki batasan yang longgar berkaitan dengan lawan jenis. Akan tetapi, ini sangat berbeda dengan seorang remaja yang memiliki batasan cukup ketat berkaitan dengan lawan jenis. Pada contoh yang lain, seorang bujang yang telah menikah tentu memiliki batasan-batasan yang lebih berat setelah menikah.
Pengetahuan dan pemahaman terhadap peran-peran  dan tugas-tugas sosial pada fase kehidupan berikutnya merupakan bekal yang sangat penting untuk dimiliki. Ibarat hutan belantara, tanpa kompas, tentu kita akan tersesat dengan mudah.
Selain itu, ada satu hal lagi yang sangat penting, yakni penghargaan pada orang yang lebih dulu menjalani fase kehidupan berikut. Anak muda perlu menghargai orang tua, bujang perlu menghargai orang yang sudah menikah, staf perlu menghargai pimpinan, dan lain sejenisnya. Sekilas, penghargaan tidak memberikan efek apapun. Bahkan, penghargaan dapat dianggap sebagai upaya pengekalan budaya senioritas –yang lebih bawah tingkatannya mengutamakan yang lebih tinggi.
Akan tetapi, bila direnungkan lebih dalam, sesuatu yang bernilai dapat menjadi pembenaran. Bukankah mereka yang lebih dulu menapaki jalan telah memiliki kesan? Lalu, bukankah kesan dapat berubah atau meningkat menjadi pelajaran mental?
Memang, mereka yang lebih dulu menempuh jalan tidak selalu benar. Ada kesalahan-kesalahan yang dilakukan. Akan tetapi, bukankah ada baiknya bila kesalahan-kesalahan itu diambil hikmahnya guna menjadi pedoman?
Ya, perlu diakui, ada sesuatu yang sulit diterima: senioritas belum tentu benar. Dan satu pertanyaan yang bisa ditanyakan: akankah kesalahan yang sama akan diulang kembali?
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman) 

Senin, 05 Maret 2012

Menyelami Hidup, Menyeimbangkan Hidup


Para penceramah sering menyampaikan sindiran, “Betapa banyak orang yang memiliki harta, tapi tidak bisa merasakan nikmatnya. Mereka memiliki rumah, tapi yang tinggal di situ adalah pembantu. Begitu pula dengan kendaraan, para supirlah yang lebih sering menggunakannya. Kepergian ke luar kota atau luar negeri membuat orang-orang kaya ini meninggalkan dan menitipkan hartanya kepada para pembantu dan supir ... dan yang lebih tragis lagi, mereka mampu membeli makanan-makanan lezat, tapi mereka dilarang dokter untuk merasakan makanan-makanan tersebut.”
Memang, sindiran dan sekaligus nasehat itu klasik. Selain itu, pengulangannya sangat sering terjadi. Sehingga, beberapa orang yang bosan menimpali, “Kalau begitu, mari kita jadi orang kaya dan bisa menikmatinya.”
Menjadi orang kaya dan sekaligus bisa menikmati kekayaan merupakan harapan orang kebanyakan. Sedikit sekali orang yang menolak ini sebagai mimpinya. Apalagi, agama memperbolehkannya. Bahkan, menurut sejumlah pendapat, menjadi kaya merupakan anjuran. Bagaimana mungkin kita bisa bersedekah bila kita miskin?
Kita bisa setuju ataupun tidak setuju dengan pemahaman tersebut. Yang jelas, insya Allah, kita sepakat bahwa hidup seimbang merupakan sesuatu yang baik. Kita memiliki iman yang bisa menguatkan dan memandu kehidupan, harta yang bisa mensejahterakan, serta perilaku baik yang bisa membuat orang lain aman dan nyaman.
Lalu, kita menemukan dua pertanyaan: Bagaimanakah cara meraih dan cara merawatnya? Bukankah harta lebih sering membuat kita lalai terhadap urusan spiritual, sementara urusan spiritual sering membuat kita enggan memikirkan harta? Intinya, bukankah keduanya saling bertentangan, tidak mungkin bersatu?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu menelaah satu pertanyaan retoris: Bukankah sebelum mati, seseorang hidup terlebih dahulu?
Maknanya, ada begitu banyak hal yang sebenarnya menyatu secara hakiki. Kitalah yang masih perlu belajar untuk memahami hakikat semua ini, sehingga mampu membuat hubungan-hubungan yang tersambung. Sekali saja, kita mampu membuat ketersambungan, insya Allah, kita akan mampu hidup dengan seimbang.
Dengan demikian, belajar dan menyelami hakikat hidup merupakan langkah awal. Inipun perlu dilakukan terus menerus, dan sekaligus membutuhkan waktu yang lama. Berbagai momen atau peristiwa yang dijalani merupakan mozaik-mozaik yang butuh dibingkai untuk mendapatkan satu gambaran besar yang utuh –yang dengan gambaran utuh itu, kita benar-benar mendapatkan hakikatnya.
Di sinilah, ketekunan dan ketahanan kita diuji. Seberapa kuat jiwa kita bertahan atas serangan hidup yang terus menerus?
Kerendahan hati kita pun diuji. Karena terkadang pelajaran datang dari orang yang remehkan. Dengan kerendahan hati, tentu kita dapat meraih semua yang bermanfaat itu.
Maka, sudahkah kita memetik pelajaran hari ini?
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)