Kesenangan yang digenggam orang lain kerapkali
melahirkan iri dengki. Sedikit atau banyak, rasa itu menyelinap. Pada sebagian
orang yang lalai, rasa itu membesar. Ada yang membutuhkan waktu yang perlahan,
dan ada pula yang cepat.
Dalam suasana penuh iri dengki, hidup terasa
semakin berat. Bagaimana tidak, bila dalam rasa dengki ada kufur nikmat
kepada-Nya? Ya, seseorang yang dengki memiliki perasaan bahwa Allah Ta’ala
tidak adil. Ia merasa bahwa dirinya juga pantas menerima nikmat yang digenggam
orang lain tersebut.
Kondisi hidup akan bertambah berat ketika
orang-orang dalam satu lingkungan terjangkiti penyakit hati yang satu ini. Masing-masing
merasa dirinya paling layak menerima kebaikan. Dalam pemahaman yang lain, ada
perasaan bahwa orang lain seharusnya merasakan beban berat dirasakan. Ada
perasaan yang begitu menyiksa manakala orang lain terlihat bahagia dengan
senyum yang mengembang.
Lingkungan yang terjangkiti iri dengki akan
melahirkan orang-orang yang berperilaku saling menyerang dan menjatuhkan. Di
sisi lain, guna mempertahankan diri, perilaku-perilaku mempertahankan diri
bermunculan. Ada perilaku menjaga imej, membentuk kubu-kubu / kelompok, dan
sekaligus hipokrit (mencari muka).
Siapapun yang memiliki mata hati tentu resah dengan
kondisi ini. Hal ini dikarenakan iri dengki menutup pintu-pintu kebaikan
hakiki. Bahkan, sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW, iri dengki dapat
memakan semua kebaikan –layaknya api memakan kayu bakar.
Lalu, bagaimanakah bila iri dengki sudah terlanjur
mewabah? Pertama, di tingkat individu, seseorang seharusnya mempertahankan
kejernihan mata hatinya. Ia perlu menguatkan pertahanan diri agar terus kokoh dalam
‘arus deras’ iri dengki. Berbagai ibadah dan kajian merupakan contoh upaya
nyatanya. Kedua, di tingkat lingkungan,
sangat baik bila orang-orang dalam lingkungan itu menyadari bahwa iri dengki
telah mewabah. Sehingga, setiap orang perlu menguatkan pertahanan diri
sekaligus berpartisipasi aktif dalam menjernihkan lingkungannya.
Sebenarnya, jika ditelaah lebih mendalam, iri
dengki berawal dari hilangnya rasa syukur. Nikmat Allah Ta’ala yang sangat
banyak itu disikapi dengan pengabaian. Semuanya dianggap rendah. Akibatnya,
yang dilihat di mana-mana adalah kekurangan saja. Kebaikan hampir menguap.
Selanjutnya, muncullah perasaan tidak disayang oleh
Allah Ta’ala –perasaan yang membuat seseorang tidak merasakan kebaikan Allah Ta’ala
sedikitpun. Ia pun mulai melirik kanan kirinya, mencari tahu apakah orang lain
sama dengan dirinya. Apabila orang lain sama, diam-diam, ia bersyukur. Apabila
orang lain lebih baik, diam-diam, ia mulai terbakar cemburu. Tanpa penyucian
jiwa, perasaan ini pun menggunung dan mengobarkan hawa tidak nyaman ke
sekitarnya.
Penyucian jiwa memang perkara yang berat. Ada cukup
banyak amalan guna mencapainya. Wajar saja, sedikit sekali orang yang mau menjalaninya.
Mereka yang abai atau enggan kerapkali mencari pembenaran.
Meskipun demikian, sebagaimana berulang-ulang
disampaikan dalam sejumlah firman-Nya dalam Al-Qur’an, kebaikan itu untuk
pemiliknya, bukan orang lain. Siapa saja yang menjalankan amalan kebaikan, dialah
yang merasakan nikmatnya.
Wallaahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar