Senin, 05 Maret 2012

Menyelami Hidup, Menyeimbangkan Hidup


Para penceramah sering menyampaikan sindiran, “Betapa banyak orang yang memiliki harta, tapi tidak bisa merasakan nikmatnya. Mereka memiliki rumah, tapi yang tinggal di situ adalah pembantu. Begitu pula dengan kendaraan, para supirlah yang lebih sering menggunakannya. Kepergian ke luar kota atau luar negeri membuat orang-orang kaya ini meninggalkan dan menitipkan hartanya kepada para pembantu dan supir ... dan yang lebih tragis lagi, mereka mampu membeli makanan-makanan lezat, tapi mereka dilarang dokter untuk merasakan makanan-makanan tersebut.”
Memang, sindiran dan sekaligus nasehat itu klasik. Selain itu, pengulangannya sangat sering terjadi. Sehingga, beberapa orang yang bosan menimpali, “Kalau begitu, mari kita jadi orang kaya dan bisa menikmatinya.”
Menjadi orang kaya dan sekaligus bisa menikmati kekayaan merupakan harapan orang kebanyakan. Sedikit sekali orang yang menolak ini sebagai mimpinya. Apalagi, agama memperbolehkannya. Bahkan, menurut sejumlah pendapat, menjadi kaya merupakan anjuran. Bagaimana mungkin kita bisa bersedekah bila kita miskin?
Kita bisa setuju ataupun tidak setuju dengan pemahaman tersebut. Yang jelas, insya Allah, kita sepakat bahwa hidup seimbang merupakan sesuatu yang baik. Kita memiliki iman yang bisa menguatkan dan memandu kehidupan, harta yang bisa mensejahterakan, serta perilaku baik yang bisa membuat orang lain aman dan nyaman.
Lalu, kita menemukan dua pertanyaan: Bagaimanakah cara meraih dan cara merawatnya? Bukankah harta lebih sering membuat kita lalai terhadap urusan spiritual, sementara urusan spiritual sering membuat kita enggan memikirkan harta? Intinya, bukankah keduanya saling bertentangan, tidak mungkin bersatu?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu menelaah satu pertanyaan retoris: Bukankah sebelum mati, seseorang hidup terlebih dahulu?
Maknanya, ada begitu banyak hal yang sebenarnya menyatu secara hakiki. Kitalah yang masih perlu belajar untuk memahami hakikat semua ini, sehingga mampu membuat hubungan-hubungan yang tersambung. Sekali saja, kita mampu membuat ketersambungan, insya Allah, kita akan mampu hidup dengan seimbang.
Dengan demikian, belajar dan menyelami hakikat hidup merupakan langkah awal. Inipun perlu dilakukan terus menerus, dan sekaligus membutuhkan waktu yang lama. Berbagai momen atau peristiwa yang dijalani merupakan mozaik-mozaik yang butuh dibingkai untuk mendapatkan satu gambaran besar yang utuh –yang dengan gambaran utuh itu, kita benar-benar mendapatkan hakikatnya.
Di sinilah, ketekunan dan ketahanan kita diuji. Seberapa kuat jiwa kita bertahan atas serangan hidup yang terus menerus?
Kerendahan hati kita pun diuji. Karena terkadang pelajaran datang dari orang yang remehkan. Dengan kerendahan hati, tentu kita dapat meraih semua yang bermanfaat itu.
Maka, sudahkah kita memetik pelajaran hari ini?
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar