Para penceramah sering menyampaikan sindiran,
“Betapa banyak orang yang memiliki harta, tapi tidak bisa merasakan nikmatnya.
Mereka memiliki rumah, tapi yang tinggal di situ adalah pembantu. Begitu pula
dengan kendaraan, para supirlah yang lebih sering menggunakannya. Kepergian ke
luar kota atau luar negeri membuat orang-orang kaya ini meninggalkan dan
menitipkan hartanya kepada para pembantu dan supir ... dan yang lebih tragis
lagi, mereka mampu membeli makanan-makanan lezat, tapi mereka dilarang dokter
untuk merasakan makanan-makanan tersebut.”
Memang, sindiran dan sekaligus nasehat itu klasik.
Selain itu, pengulangannya sangat sering terjadi. Sehingga, beberapa orang yang
bosan menimpali, “Kalau begitu, mari kita jadi orang kaya dan bisa
menikmatinya.”
Menjadi orang kaya dan sekaligus bisa menikmati
kekayaan merupakan harapan orang kebanyakan. Sedikit sekali orang yang menolak
ini sebagai mimpinya. Apalagi, agama memperbolehkannya. Bahkan, menurut
sejumlah pendapat, menjadi kaya merupakan anjuran. Bagaimana mungkin kita bisa
bersedekah bila kita miskin?
Kita bisa setuju ataupun tidak setuju dengan
pemahaman tersebut. Yang jelas, insya Allah, kita sepakat bahwa hidup seimbang
merupakan sesuatu yang baik. Kita memiliki iman yang bisa menguatkan dan memandu
kehidupan, harta yang bisa mensejahterakan, serta perilaku baik yang bisa
membuat orang lain aman dan nyaman.
Lalu, kita menemukan dua pertanyaan: Bagaimanakah
cara meraih dan cara merawatnya? Bukankah harta lebih sering membuat kita lalai
terhadap urusan spiritual, sementara urusan spiritual sering membuat kita
enggan memikirkan harta? Intinya, bukankah keduanya saling bertentangan, tidak
mungkin bersatu?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
kita perlu menelaah satu pertanyaan retoris: Bukankah sebelum mati, seseorang hidup
terlebih dahulu?
Maknanya, ada begitu banyak hal yang sebenarnya
menyatu secara hakiki. Kitalah yang masih perlu belajar untuk memahami hakikat
semua ini, sehingga mampu membuat hubungan-hubungan yang tersambung. Sekali
saja, kita mampu membuat ketersambungan, insya Allah, kita akan mampu hidup
dengan seimbang.
Dengan demikian, belajar dan menyelami hakikat
hidup merupakan langkah awal. Inipun perlu dilakukan terus menerus, dan sekaligus
membutuhkan waktu yang lama. Berbagai momen atau peristiwa yang dijalani
merupakan mozaik-mozaik yang butuh dibingkai untuk mendapatkan satu gambaran
besar yang utuh –yang dengan gambaran utuh itu, kita benar-benar mendapatkan
hakikatnya.
Di sinilah, ketekunan dan ketahanan kita diuji. Seberapa
kuat jiwa kita bertahan atas serangan hidup yang terus menerus?
Kerendahan hati kita pun diuji. Karena terkadang pelajaran
datang dari orang yang remehkan. Dengan kerendahan hati, tentu kita dapat
meraih semua yang bermanfaat itu.
Maka, sudahkah kita memetik pelajaran hari ini?
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar