Selasa, 10 April 2012

Berkata Benar, Membangun Jiwa


Penolakan kerapkali bermuara pada perasaan negatif. Ada sesuatu yang sangat mengganjal dan menyesakkan dada. Beberapa orang bahkan merasakan pandangan yang kabur.
Penolakan yang terjadi satu atau dua kali mungkin hanya menyisakan sedikit guratan luka dalam hati. Hilang atau sembuhnya butuh waktu yang relatif sebentar. Dalam hitungan minggu, bahkan hari, guratan luka itu hampir tak berbekas.
Ini tentu saja berbeda dengan penolakan berkali-kali. Dampaknya jauh lebih dalam. Selain menimbulkan luka yang lebih sakit, penolakan berkali-kali ini dapat menimbulkan citra diri yang cenderung negatif. Bila diabaikan, citra diri negatif ini dapat berkembang pada kewaspadaan yang berlebihan dalam bersosialisasi.
Masalahnya kemudian, dunia ini penuh dengan penolakan. Dalam sehari, kita mungkin merasakan penolakan yang berkali-kali. Kita pun merasakan sakit yang amat sangat.
Meskipun demikian, sebagian orang menyatakan perasaan yang biasa saja bila ditolak. Sakit hati sudah terasa menguap. Semuanya berjalan seperti biasa.
Orang-orang ini memiliki ketahanan emosi yang luar biasa. Bagi mereka, penolakan bukanlah akhir, tapi sebuah awal yang baru. Sehingga, mereka senantiasa memulai –dan tentu saja penuh energi.
Di sisi lain, orang-orang tipe ini cenderung biasa saja ketika diterima. Mereka terlihat stabil. Kegembiraan nampak proporsional. Ada senyum dan mungkin tawa, tapi semuanya tidak terlihat norak.
Orang-orang yang berketahanan emosi ini memang terlatih dalam hidup. Sejumlah pengalaman telah membentuk mereka sedemikian rupa. Sehingga, dalam satu fase puncak hidupnya, ia sangat kokoh. Berbagai hal, buruk atau baik, semuanya terasa biasa saja.
Jauh lebih dalam, kita akan menemukan sesuatu yang lebih fundamental pada diri mereka. Dapat dikatakan inilah fondasi utama. Semakin kokoh fondasi ini, dalam keseharian, mereka semakin kuat.
Sebelumnya, marilah kita melihat masa lalu kita. Bukankah orangtua kita senantiasa memberikan nasehat dan pandangan-pandangannya terhadap kehidupan ini? Dan sadar atau tidak, bukankah kita hidup dengan pandangan-pandangan mereka?
Ya, pandangan orang tua yang benar terhadap hidup adalah fondasi utama dalam pembentukan kekuatan emosi anak. Apalagi, bila orangtua dapat menyampaikannya dengan cara komunikasi yang baik. Hasilnya tentu lebih dahsyat.
Orangtua memang dilarang keras untuk berbohong. Sekecil apapun, kebohongan dapat memperlemah jiwa anak. Sebagai misal, seringkali terdengar ungkapan, “Mejanya nakal,” padahal meja benda mati. Bagaimana meja bisa nakal? Bukankah ini akan memunculkan sikap melemparkan kesalahan pada pihak lain?
Maka, marilah kita berhenti sejenak. Bila kita terlanjur salah terdidik, mari kita menerima kenyataan guna membenahi diri. Adapun bila kita salah mendidik, mari kita mohon ampun kepada Allah Ta’ala sambil berdoa agar diberi kekuatan, sehingga kita bisa memperbaiki semuanya.
Allah Ta’ala pun berfirman,
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S. An-Nisa: 9)  

Wallaahu a’lam bishshawaab. (dufo abdurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar