Penolakan kerapkali bermuara pada perasaan negatif.
Ada sesuatu yang sangat mengganjal dan menyesakkan dada. Beberapa orang bahkan
merasakan pandangan yang kabur.
Penolakan yang terjadi satu atau dua kali mungkin
hanya menyisakan sedikit guratan luka dalam hati. Hilang atau sembuhnya butuh
waktu yang relatif sebentar. Dalam hitungan minggu, bahkan hari, guratan luka
itu hampir tak berbekas.
Ini tentu saja berbeda dengan penolakan
berkali-kali. Dampaknya jauh lebih dalam. Selain menimbulkan luka yang lebih
sakit, penolakan berkali-kali ini dapat menimbulkan citra diri yang cenderung
negatif. Bila diabaikan, citra diri negatif ini dapat berkembang pada kewaspadaan
yang berlebihan dalam bersosialisasi.
Masalahnya kemudian, dunia ini penuh dengan
penolakan. Dalam sehari, kita mungkin merasakan penolakan yang berkali-kali.
Kita pun merasakan sakit yang amat sangat.
Meskipun demikian, sebagian orang menyatakan
perasaan yang biasa saja bila ditolak. Sakit hati sudah terasa menguap.
Semuanya berjalan seperti biasa.
Orang-orang ini memiliki ketahanan emosi yang luar
biasa. Bagi mereka, penolakan bukanlah akhir, tapi sebuah awal yang baru.
Sehingga, mereka senantiasa memulai –dan tentu saja penuh energi.
Di sisi lain, orang-orang tipe ini cenderung biasa
saja ketika diterima. Mereka terlihat stabil. Kegembiraan nampak proporsional.
Ada senyum dan mungkin tawa, tapi semuanya tidak terlihat norak.
Orang-orang yang berketahanan emosi ini memang
terlatih dalam hidup. Sejumlah pengalaman telah membentuk mereka sedemikian
rupa. Sehingga, dalam satu fase puncak hidupnya, ia sangat kokoh. Berbagai hal,
buruk atau baik, semuanya terasa biasa saja.
Jauh lebih dalam, kita akan menemukan sesuatu yang
lebih fundamental pada diri mereka. Dapat dikatakan inilah fondasi utama. Semakin
kokoh fondasi ini, dalam keseharian, mereka semakin kuat.
Sebelumnya, marilah kita melihat masa lalu kita. Bukankah
orangtua kita senantiasa memberikan nasehat dan pandangan-pandangannya terhadap
kehidupan ini? Dan sadar atau tidak, bukankah kita hidup dengan
pandangan-pandangan mereka?
Ya, pandangan orang tua yang benar terhadap hidup
adalah fondasi utama dalam pembentukan kekuatan emosi anak. Apalagi, bila
orangtua dapat menyampaikannya dengan cara komunikasi yang baik. Hasilnya tentu
lebih dahsyat.
Orangtua memang dilarang keras untuk berbohong. Sekecil
apapun, kebohongan dapat memperlemah jiwa anak. Sebagai misal, seringkali
terdengar ungkapan, “Mejanya nakal,” padahal meja benda mati. Bagaimana meja
bisa nakal? Bukankah ini akan memunculkan sikap melemparkan kesalahan pada
pihak lain?
Maka, marilah kita berhenti sejenak. Bila kita
terlanjur salah terdidik, mari kita menerima kenyataan guna membenahi diri. Adapun
bila kita salah mendidik, mari kita mohon ampun kepada Allah Ta’ala sambil
berdoa agar diberi kekuatan, sehingga kita bisa memperbaiki semuanya.
Allah Ta’ala pun berfirman,
“Dan hendaklah
takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab
itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.” (Q.S. An-Nisa: 9)
Wallaahu a’lam bishshawaab. (dufo abdurrohman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar