Jumat, 13 Januari 2012

Haruskah Menikah dengan Cinta?


“Apakah pernikahan itu harus selalu dilandasi cinta?” demikian tanya Umar radhiyallahu anhu.
Kita mungkin heran dengan pertanyaan Umar. Apakah ini berkaitan dengan seseorang yang tidak ingin menikah atau menuntaskan pernikahan karena ketiadaan cinta?
Ya benar, pertanyaan Umar adalah responnya terhadap ucapan lelaki yang ingin bercerai karena ketiadaan cinta. Sang lelaki menganggap cinta adalah landasan yang harus ada dalam pernikahan. Tanpa itu, pernikahan harus berhenti ataupun dibatalkan.
Umar heran dengan ucapan lelaki itu. Hal ini dikarenakan ada begitu banyak landasan dalam pernikahan, demikian kurang lebih pendapat Umar. Minimal, ada landasan agama di situ.
Kita sering mendengar sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang kriteria memilih pasangan. Dalam sabda beliau, ada empat kriteria, yakni ketampanan/kecantikan, kekayaan, nasab, dan agama. Agama, demikian lanjutan sabda beliau, merupakan kriteria penting. Bahkan beliau menyampaikan, pilihan tanpa mempertimbangkan agama dapat mendatangkan keburukan.
Beliau sendiri menikahi janda-janda, kecuali Aisyah radhiyallahu anha. Kebanyakan janda tersebut adalah janda pejuang Islam. Mereka bukanlah janda kaya. Bahkan ada di antara mereka yang sudah berumur.
Cinta dalam pernikahan memang hal yang sangat indah. Motivasi yang lahir dari cinta juga sangat kuat. Di sisi lain, kita menemukan cukup banyak fakta bahwa sejumlah pasangan kesulitan melanggengkan cinta. Ada beberapa upaya yang luput, entah karena tidak ada ilmu ataupun tidak adanya keinginan.
Dengan demikian, motivasi pernikahan menjadi sesuatu yang sangat penting. Kita juga memahami bahwa cinta ternyata bukan motivasi paling baik dalam pernikahan. Ada motivasi yang lebih besar ketimbang cinta. Benar sekali, itu adalah keimanan, ketaatan, bahkan kecintaan kepada Allah ta’ala.
Dalam naungan motivasi spiritual ini, pernikahan diharapkan dapat berlabuh di dermaga barokah. Wujudnya adalah tumbuhnya cinta agung secara perlahan tapi terus menerus. Mengapa dinamakan cinta agung? Karena cinta ini dilandasi nilai-nilai spiritual, dengan salah satu indikator bahwa bahasa cinta tidak boleh melanggar ketentuan-Nya. Maka, kita akan mendapati cinta agung ini menahan pemiliknya untuk berpesta pora, berlebihan dalam hadiah, dan tindakan buruk lainnya dalam pembuktian adanya cinta. Yang ada adalah kesederhanaan, pengabdian, pelayanan, dan saling menasehati dalam kebaikan.
Dengan cinta agung ini, perjalanan hidup akan senantiasa diisi dengan banyak upaya menuju ridho-Nya. Sepanjang hari, segala yang ada adalah hal baik dengan niatan yang sangat baik. Tidak ada keburukan, tidak ada siasat, dan tidak ada upaya saling menghancurkan.
Akhirnya, kita berharap agar cinta agung dimiliki oleh siapapun yang hendak menikah, baru menikah, ataupun yang sudah lama menikah. Dengan demikian, kita berharap hidup ini akan selalu indah dalam kasih-Nya, selalu berenergi dalam kuasa-Nya, dan selalu syahdu dalam kebahagiaan yang telah dijanjikan-Nya.
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Kamis, 12 Januari 2012

Bertanya Langsung


Seorang lelaki terlihat tidak sabar. Berkali-kali, ia melihat jam tangannya. Ia merasa agak kesal. Ia merasa sudah terlalu lama menunggu sang istri yang berhias sedari tadi.
Sore itu, mereka menjadwalkan jalan-jalan keluarga. Dia dan anaknya sudah siap. Hanya sang istri yang belum siap.
Akhirnya, ia menyuruh anaknya untuk bertanya pada sang istri tentang kesiapan sang istri. Akan tetapi, alih-alih bertanya, sang anak yang mungkin juga kesal tidak melaksanakan perintah yang diberikan. Ia hanya melihat ibunya yang ternyata masih berhias, lalu segera kembali kepada sang ayah. Ia mengatakan kepada sang ayah bahwa ibunya tidak jadi ikut.
Semoga para ibu tidak tersinggung. Ilustrasi ini bukan ilustrasi untuk para ibu. Ilustrasi ini juga bukan untuk para ayah.
Yang ingin dipaparkan adalah apa yang kita sebut komunikasi langsung. Bentuk sederhananya, bertanya langsung. Kita tidak menggunakan atau memerintahkan pihak ketiga untuk menanyakan apa yang ingin kita ketahui dari orang lain. Kita mendatanginya langsung.
Kita mengakui ada sejumlah penghalang mental untuk bertanya langsung. Minder, sungkan, gengsi, dan hati adalah sejumlah contohnya. Meskipun demikian, kita tetap memberikan penekanan pada pentingnya bertanya langsung. Benar sekali, ini berarti kita perlu menghancurkan penghalang-penghalang mental yang ada. Minimal, kita perlu untuk melupakan sejenak.
Agar bisa melupakan penghalang-penghalang mental yang ada, kita mungkin perlu mempertimbangkan akibat positif dari bertanya langsung. Di sisi lain, tentu kita bisa memperkuatnya dengan mengingat akibat negatif dari bertanya tidak langsung.
Bagaimana bila ini tidak cukup untuk menghancurkan penghalang-penghalang mental yang ada? Tidak adakah jalan lain?
Jalan lain mungkin ada. Pihak ketiga bisa menjadi alternatif. Apalagi, bila masalahnya sudah sedemikian menghebat.
Akan tetapi, kita tentunya mempertimbangkan banyak hal sebelum mengundang pihak ketiga. Perlukah kita membuka permasalahan kita yang mungkin berarti membuka aib kita? Tidakkah kita khawatir aib itu akan menyebar secara tidak sengaja? Ataukah, kita sudah mencapai titik final kapasitas diri kita, sehingga kita pasrah dengan segala akibat?
Apapun pilihan kita, yang paling pokok adalah meyakinkan diri kita bahwa kita telah mempertimbangkan segalanya dengan baik. Tentu saja, kita siap dengan semua akibatnya, positif maupun negatifnya. Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Rabu, 11 Januari 2012

Membebaskan Diri dari Praduga


Seorang suami pulang kemalaman. Dia ketuk pintu rumahnya. Dia pun berharap agar pintu segera dibuka. Akan tetapi, pintu terus tertutup. Rasanya ia semakin ingin masuk rumah.
Akhirnya, pintu pun terbuka. Yang dilihatnya adalah wajah istrinya yang cemberut. Ada amarah yang jelas terasa.
Dia merasa sangat tidak nyaman. Apalagi sejumlah kata umpatan yang terdengar sangat jelas. “Mengapa istriku tidak bertanya terlebih dahulu? Tidakkah ia tahu bahwa ban motorku bocor dan aku menuntun motorku cukup jauh sebelum akhirnya aku menemukan tukang tambal ban?” demikian batinnya.
Hal baiknya, tidak ada sedikitpun pikiran untuk bermalam di tempat lain. Ia tetap berpikir bahwa ia harus pulang. Ia juga tidak marah dengan tindakan istrinya. Bahkan, ia mencoba berpikir positif, “Mungkin istriku sedang kelelahan.”
Memang benar, berpikir positif cukup sulit. Kita pun banyak dididik dan diasuh dengan pikiran-pikiran negatif. Akan tetapi, sulit tidak berarti mustahil, bukan?
Di batas minimal, kita bisa belajar untuk bebas dari praduga-praduga. Kita menahan diri hingga ada bukti nyata. Bahkan, kita melakukan pengecekan terhadap kebenaran bukti nyata itu. Ada kehati-hatian dalam diri kita.
Kita tetap mendengarkan komentar terhadap sikap kita yang hati-hati. Kita memberikan apresiasi. Bahkan, ini memacu kita untuk terus berhati-hati sekaligus mempercepat penyelesaian masalah.
Kita teguh dengan prinsip kehati-hatian dan mengutamakan konfirmasi serta konfrontasi ketimbang menyimpan praduga-praduga. Kita sadar bahwa praduga-praduga yang dipelihara / dipendam lebih banyak berakhir pada hubungan yang renggang –bahkan, bisa jadi sangat rusak. Selain itu, seringkali ada pertimbangan yang tersembunyi dalam sebuah tindakan. Ingat peristiwa Nabi Musa dan Nabi Khidir alaihimassalam dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi, kan?
Selain itu, memendam praduga mengakibatkan rasa sakit. Rasanya sangat tidak nyaman. Bila diteruskan, rasa tidak nyaman ini bisa berujung pada penyakit fisik sekaligus mental.
Tontonan buruk membuat kita berpikiran buruk? Ada di antara kita yang mungkin menampik. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa tontonan buruk menumbuhkan kewaspadaan. Sehingga, kita bisa terhindar dari berbagai tipu daya.
Kita memberikan ruang terhadap pendapat ini. Kita juga setuju bahwa hidup diliputi sejumlah tipu daya. Sebagiannya datang dari orang yang jelas-jelas jauh dengan kita, sebagiannya berasal dari musuh dalam selimut.
Bila pendapat ini menjadi pilihan, semoga batas kewaspadaan dijaga dengan konsisten. Hal ini penting, karena orang lain bisa jadi merasa dicurigai. Alhasil, dia tidak nyaman dalam bersosialisasi.
Adapun bagi mereka yang setuju dengan akibat tontonan buruk serta terbiasa dengan kebebasan diri dari praduga, semoga ketelitian terus melekat. Apalagi, ada orang-orang yang siap memanipulasi dirinya agar selalu tampak baik. Tanpa ketelitian, bisa jadi, jebakan segera menerkam.
Inilah pilihan kita dalam bersikap, semoga kita dapat menentukan dengan bijak. Wallahu a’lam bishshawab. (df abdurrohman)

Selasa, 10 Januari 2012

Menyiapkan Diri dalam Bertanya


Mari perhatikan orang-orang di sekitar kita. Mari kita saksikan dan amati cara-cara komunikasi mereka. Adakah yang menarik?
Sedikit agak mendalam, dapatkah kita mengamati bagaimana mereka mengajukan pertanyaan? Adakah orang yang menggunakan cara bertanya ala interogator –terus bertanya dengan terus menerus mendesak? Adakah orang yang menggunakan cara bertanya ala pengajar –yang bertanya untuk mengetahui kondisi dan tingkat pemahaman muridnya? Ataukah ada orang yang menggunakan cara bertanya ala jurnalis –yang terus menerus mengajukan pertanyaan secara mendalam?
Nah, sekarang, mari kita perhatikan cara kita sendiri dalam bertanya. Seperti apakah kita biasanya bertanya?
Sebagaimana kita ketahui, cara kita bertanya dapat menggambarkan perasaan –bahkan watak kita. Bukankah cara bertanya interograsi mencerminkan kecurigaan, yang otomatis membuat orang lain menggangap kita memiliki sedikit banyak kecurigaan kepadanya? Demikian pula, bila cara bertanya kita agak mendalam, orang biasanya berkomentar, “Kamu mau tahu saja!”
Oleh karena itu, ada baiknya kita mengatur diri kita sebelum bertanya. Kita perlu bertanya kepada diri kita terlebih dahulu, “Mengapa saya harus bertanya?”
Ada baiknya juga bila dilakukan pengamatan sebelum bertanya. Kita perlu tahu dan yakin bahwa yang ditanya sedang dalam kondisi siap menerima pertanyaan. Kesibukan, kesedihan, dan konsentrasi adalah kondisi-kondisi yang membuat seseorang sangat sulit diganggu. Akan tetapi, bila sangat terpaksa, kita mungkin bisa mengucapkan permintaan maaf sebelumnya. Kita berharap ini dapat menjadi pembukaan yang baik, sehingga mengurangi sedikit rasa tidak nyaman.
Hal lain yang penting adalah keterbukaan. Dengan kata lain, kita berusaha mengurangi praduga-praduga di dalam hati. Apalagi, praduga yang tidak memiliki bukti sedikitpun. Mengapa demikian? Adanya praduga membuat kita memiliki satu sudut pandang ataupun dugaan kuat, sehingga secara tidak sadar kita memiliki keinginan untuk membuktikan kebenaran dugaan kita. Ini berakibat pada adanya ‘pemaksaan’. Yang ditanya digiring untuk menjawab sebagaimana keinginan kita. Tentu saja, tidak semua orang suka. Akibatnya, sebuah masalah dapat lahir antara kita dan dia.
Kata-kata pertanyaan juga perlu dipilih sedemikian rupa. Bila kita memilih kata tanya yang sifatnya tertutup, kemungkinan besar kita menutup eksplorasi dalam komunikasi. Padahal, suatu hal biasanya memiliki sifat multiperspektif. Dengan pertanyaan terbuka, kita berharap dapat mengeksplorasi sesuatu secara mendalam, sehingga suatu hal dapat dipahami dengan utuh.
Intonasi suara mungkin satu aspek bertanya yang sering terabaikan. Memang benar, aspek budaya memberikan perbedaan yang cukup signifikan dalam komunikasi bertanya. Akan tetapi, secara umum, ada baiknya menjaga intonasi suara sedemikian rupa agar komunikasi dapat berjalan dengan penuh kenyamanan.
Well, kita mungkin perlu banyak bekal lagi dalam komunikasi bertanya. Selamat mencari ilmunya. Semoga Allah SWT memudahkan, amin.
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)

Minggu, 08 Januari 2012

Bertanya Mendalam, Mengapa Tidak?


Kepada sang suami, seorang istri menceritakan anjuran pimpinannya agar setiap staf memiliki laptop. Alasan yang dikemukakan atasannya adalah kecepatan kerja. Dengan memiliki laptop, demikian asumsi pimpinan sang istri, setiap staf bisa bekerja dimanapun. Sehingga, pekerjaan bisa selesai lebih cepat.
Akan tetapi, sang istri melanjutkan, dirinya tidak ingin membeli laptop. Hal ini dikarenakan besarnya uang untuk membeli laptop. Selain itu, di tempat kerja, ada banyak komputer yang bisa digunakan. Sayang sekali, komputer sebanyak itu tidak digunakan optimal. Toh, komputer-komputer itu digunakan untuk urusan pekerjaan juga.
Alasan lain yang diungkapkan oleh sang istri adalah pembagian waktu. Di jam kerja, ia ingin fokus pada masalah kerja. Di jam rumah, ia ingin fokus pada masalah rumah. Ia tidak ingin pikirannya terpecah belah. “Hasil akhirnya kurang baik”, demikian sang istri berujar.
“Lalu, apa keputusanmu, sayang?”, sang suami bertanya.
“Aku beli flashdisc saja, lebih irit dan mobile. Asal ada komputer, aku bisa pakai,” jawab sang istri.
Ya....
Kita sangat mungkin berbeda pendapat dengan sang istri. Ada yang setuju dengan pembelian laptop untuk penunjang kerja. Ada juga yang tidak setuju. Setiap kelompok pro-kontra memiliki asumsi dan argumennya masing-masing.
Akan tetapi, sepertinya kita akan sepakat –minimal, kita bisa mengurangi pro-kontra- setelah memahami kondisi dan lingkungan kerjanya lebih dekat dan komprehensif. Insya Allah, kita lebih siap mengambil sikap tegas setelah memperoleh berbagai informasi yang diperlukan.
Oleh karena itu, marilah kita mengajukan sejumlah pertanyaan kepada sang istri. Misalnya: Apakah pekerjaannya memerlukan alat yang moblie terus menerus ataukah insidental saja? Mungkinkah ada alat yang bisa menggantikannya? Bila memang harus memiliki alat kerja tersebut, mungkinkah tempat kerja memberikan bantuan fasilitasi keuangan yang memperingan keuangan individu?
Kita juga bisa memperdalam dengan menanyakan, misalnya: Apakah ada insentif bagi yang bekerja dengan cepat? Adakah insentif ini dapat meringankan beban berikutnya –misalnya insentif keuangan yang mengurangi beban keuangan invidu? Adakah fasilitasi dari tempat kerja dalam hal kerusakan alat kerja –misalnya fasilitasi peminjaman uang untuk perbaikan alat kerja?
Daftar pertanyaan ini bisa lebih panjang. Tentu saja, kita memperhatikan kebutuhan. Bila memang perlu diperpanjang, kita akan memperpanjangnya. Sebaliknya, bila perlu sedikit saja, kita hanya menanyakan sedikit saja.
Keterampilan membuat dan mengajukan pertanyaan sangat penting. Hal ini karena kita sering dituntut untuk menilai sesuatu secara akurat sebagai dasar tindakan yang tepat. Dengan bertanya, kita mampu memperoleh jawaban yang menggambarkan sesuatu dengan sangat menyeluruh.
Meskipun demikian, ada banyak orang yang kesulitan bertanya. Mengapa demikian? Ada baiknya, kita bahas di kesempatan lain. Semoga Allah SWT memberikan kita kesempatan itu. Amin.
Wallahu a’lam bishshawab. (dufo abdurrohman)