Kamis, 12 April 2012

Senantiasa Merawat Jiwa


Besi perlu dijaga dan dirawat terus menerus. Ini dilakukan untuk mencegah karat. Biayanya relatif lebih murah ketimbang mengembalikan besi ke sedia kala, jika besi telah berkarat. Ini sesuai sekali dengan motto, ‘mencegah lebih baik daripada mengobati’.
Sebagian orang memang cenderung abai pada perawatan. Bila belum terlihat tanda-tanda kerusakan, biasanya mereka diam tanpa tindakan. Padahal, bila tanda-tanda sudah terlihat, upaya perbaikan cenderung lebih berat. Sekali lagi, energi dan biaya yang diperlukan jauh lebih banyak.
Kesibukan harian sering menjadi alasan. Ini mengalahkan pengetahuan dan pemahaman mereka akan pentingnya perawatan. Praktek memang sering berbeda dengan pengetahuan.
Kita juga tahu bahwa perawatan jiwa jauh lebih rumit ketimbang merawat benda. Minimal, benda dapat diindera dengan mudah. Kulit bisa meraba, mata bisa melihat, dan hidung bisa mencium. Ada juga lidah yang bisa merasa dan telinga yang bisa mendengar. Sementara itu, jiwa memiliki sinyal-sinyal halus. Getarannya sangat lembut. Setiap orang perlu kepekaan yang luar biasa guna merasakannya.
Begitu tingginya kepekaan yang diperlukan guna merasakan getaran jiwa, banyak orang yang abai. Mereka baru terkaget ketika kondisi jiwa telah jauh berubah, jauh dari yang mereka bayangkan. Merekapun hampir kehilangan daya dan harapan untuk membenarkan jiwa yang telah melenceng jauh.
Inilah yang membuat orang-orang terpilih begitu waspada pada getaran jiwa. kepekaan senantiasa dijaga. Berbagai amalan dilakukan. Meski berat, mereka tetap bersemangat. Karena mereka yakin inilah jalan terbaik agar getaran jiwa dapat senantiasa dideteksi. Sehingga, bila ada sedikit saja penyelewengan, jiwa bisa dibenarkan dengan segera.
Amalan-amalan yang dilakukan mencakup berbagai aspek kedirian. Akal, emosi, dan fisik, semuanya diarahkan. Akal diarahkan pada pemikiran yang benar. Sedikit saja ada pemikiran salah, akal langsung diluruskan. Emosi juga diasah, minimal kesabarannya. Segala sesuatu yang memancing amarah disikapi dengan penuh kedewasaan. Terkadang, ada kegagalan. Akan tetapi, pengulangan terus diupayakan. Demikian juga dengan fisik, terkadang kebutuhannya ditahan. Lapar dijalani dengan penuh keikhlasan. Libido dikelola dengan penuh kesadaran. Sakit disikapi dengan penuh ikhtiar.
Orang-orang terpilih ini senantiasa melakukan ini semua. Mereka proaktif, tidak menunggu tanda-tanda rusaknya jiwa. Karena mereka sangat sadar bahwa mereka hamba yang lemah. Sementara itu, setan senantiasa menunggu saat lengahnya hamba.
Seluruh alam ini akan teratur dan tenang selama dalam ketentuan-Nya. Penyelewengan sedikit saja akan melahirkan sejumlah masalah sistemik. Bukankah akan merepotkan bila matahari bergeser 1 km saja dari tempatnya semula?
Manusia adalah wakil Allah Ta’ala di muka bumi. Sedikit saja ia bergeser dari ketentuan-Nya, dengan membiarkan jiwa dalam kesesatan, berarti membiarkan masalah muncul dan mempengaruhi bumi dan seisinya ini. Masalahnya kemudian, berapa banyakkah manusia yang senantiasa waspada dengan jiwanya? Dan, apakah kita termasuk di dalamnya?
Wallaahu a’lam bishshawaab. (dufo abdurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar